
Makin Parah! Harga Minyak Jatuh ke Rekor Terendah 16 Bulan
Muhamad Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
20 December 2018 17:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Kamis (20/12/2018) sore hingga pukul 16:13 WIB, harga minyak mentah dunia tergerus semakin dalam.
Harga minyak jenis Brent bergerak ke US$ 55,03 per barel atau anjlok sebesar 3,86% dari penutupan perdangan sesi kemarin (19/12/2018). Padahal pada siang ini (11:28 WIB), harga minyak ini hanya turun sebesar 1,59% dari sesi kemarin.
Sama halnya dengan harga minyak jenis lightsweet (WTI) yang sore ini terjerumus semakin dalam ke posisi US$ 46,22 per barel atau amblas sebesar 4,05%. Sebagai informasi, pagi ini harga minyak WTI "baru" jatuh sebesar 2,20% pada siang tadi.
Harga light sweet kembali menyentuh rekor terendah sejak Agustus 2017, sementara harga kembali jeblok ke level terendah sejak September 2017.
"Kenaikan harga pada hari rabu adalah short-covering. Investor dengan cepat mengalihkan perhatian mereka ke hal fundamental pada pasar minyak dunia, yaitu menguatnya sinyal perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun depan, jumlah produksi, dan rendahnya kepercayaan terhadap rencana OPEC yang akan memperketat produksinya," kata kepala analis minyak konsultan JLC, Xi Jiarui, seperti dilansir oleh Reuters.
Perlu diketahui bahwa Rabu kemarin, The Federal Reserve/The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%. Kemudian, The Fed kemungkinan masih akan menaikkan suku bunganya 2 kali lagi di tahun depan.
Meski kenaikannya suku bunga di tahun depan masih lebih sedikit daripada perkiraan sebelumnya sebanyak 3 kali, namun ada pernyataan The Fed yang membuat pelaku pasar grogi.
BACA: The Fed Sepertinya Masih Hawkish, Harga Minyak Terkikis
Gubernur The Fed, Jerome 'Jay' Powell, mengumumkan akan melanjutkan normalisasi neraca The Fed dengan melepas surat-surat berharga, yang banyak dibeli The Fed sejak krisis keuangan global 1 dekade lalu.
Padahal, The Fed memprediksi ekonomi AS hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019, melambat cukup jauh dari pertumbuhan tahun ini yang berada di kisaran 3%.
Proyeksi perlambatan ekonomi juga dikemukakan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat di tahun depan, yaitu sebesar 3,5% dari 3,7% pada tahun ini.
Dari sisi produksi, kapasitas produksi minyak mentah Arab Saudi, Amerika Serikat (AS), dan Rusia saat ini sudah/hampir menyentuh rekor tertingginya.
Pemerintah Negeri Paman Sam mengatakan bahwa pada akhir Desember mendatang, produksi minyak serpih AS akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari. Sedangkan Rusia mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,42 juta barel ber hari pada bulan ini, yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Beruang Merah.
Sementara itu, beberapa analis mengatakan bahwa sejauh ini rencana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia) untuk memangkas keran produksi pada Januari mendatang, masih belum bisa membawa sentimen positif di pasar minyak mentah dunia.
Sebagai informasi, pada awal bulan ini OPEC bersama Rusia telah bersepakat untuk menurunkan jumlah produksi sebesar 1,2 juta barel/hari pada Januari 2019. Namun, selain kesepakatan ini baru akan dieksekusi pada awal Januari 2019, sebagian analis juga masih meragukan volume pemangkasan tidak akan mampu mengompensasi banjirnya pasokan saat ini.
Pelemahan harga emas hitam di sore ini makin menjadi setelah Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih mengeluarkan pernyataan bahwa pasar minyak dunia masih tetap akan rentan terhadap isu politik, ekonomi, dan spekulasi, seperti yang dilansir oleh Reuters.
Untuk sedikit meredam sentimen negatif, Khalid menambahkan bahwa stok minyak global akan jatuh pada akhir kuartal I-2019. "Kami akan tetap fokus pada hal fundamental. Saya dapat mengatakan bahwa kita akan mencapai keseimbangan supply-demand di 2019".
Namun, sepertinya prediksi al-Falih tersebut tidak memiliki dampak signifikan terhadap kepercayaan pasar. Sentimen negatif fundamental sudah terlalu banyak, dan membenamkan harga minyak sore ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Harga minyak jenis Brent bergerak ke US$ 55,03 per barel atau anjlok sebesar 3,86% dari penutupan perdangan sesi kemarin (19/12/2018). Padahal pada siang ini (11:28 WIB), harga minyak ini hanya turun sebesar 1,59% dari sesi kemarin.
Sama halnya dengan harga minyak jenis lightsweet (WTI) yang sore ini terjerumus semakin dalam ke posisi US$ 46,22 per barel atau amblas sebesar 4,05%. Sebagai informasi, pagi ini harga minyak WTI "baru" jatuh sebesar 2,20% pada siang tadi.
"Kenaikan harga pada hari rabu adalah short-covering. Investor dengan cepat mengalihkan perhatian mereka ke hal fundamental pada pasar minyak dunia, yaitu menguatnya sinyal perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun depan, jumlah produksi, dan rendahnya kepercayaan terhadap rencana OPEC yang akan memperketat produksinya," kata kepala analis minyak konsultan JLC, Xi Jiarui, seperti dilansir oleh Reuters.
Perlu diketahui bahwa Rabu kemarin, The Federal Reserve/The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%. Kemudian, The Fed kemungkinan masih akan menaikkan suku bunganya 2 kali lagi di tahun depan.
Meski kenaikannya suku bunga di tahun depan masih lebih sedikit daripada perkiraan sebelumnya sebanyak 3 kali, namun ada pernyataan The Fed yang membuat pelaku pasar grogi.
BACA: The Fed Sepertinya Masih Hawkish, Harga Minyak Terkikis
Gubernur The Fed, Jerome 'Jay' Powell, mengumumkan akan melanjutkan normalisasi neraca The Fed dengan melepas surat-surat berharga, yang banyak dibeli The Fed sejak krisis keuangan global 1 dekade lalu.
Padahal, The Fed memprediksi ekonomi AS hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019, melambat cukup jauh dari pertumbuhan tahun ini yang berada di kisaran 3%.
Proyeksi perlambatan ekonomi juga dikemukakan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat di tahun depan, yaitu sebesar 3,5% dari 3,7% pada tahun ini.
Dari sisi produksi, kapasitas produksi minyak mentah Arab Saudi, Amerika Serikat (AS), dan Rusia saat ini sudah/hampir menyentuh rekor tertingginya.
Pemerintah Negeri Paman Sam mengatakan bahwa pada akhir Desember mendatang, produksi minyak serpih AS akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari. Sedangkan Rusia mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,42 juta barel ber hari pada bulan ini, yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Beruang Merah.
Sementara itu, beberapa analis mengatakan bahwa sejauh ini rencana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia) untuk memangkas keran produksi pada Januari mendatang, masih belum bisa membawa sentimen positif di pasar minyak mentah dunia.
Sebagai informasi, pada awal bulan ini OPEC bersama Rusia telah bersepakat untuk menurunkan jumlah produksi sebesar 1,2 juta barel/hari pada Januari 2019. Namun, selain kesepakatan ini baru akan dieksekusi pada awal Januari 2019, sebagian analis juga masih meragukan volume pemangkasan tidak akan mampu mengompensasi banjirnya pasokan saat ini.
Pelemahan harga emas hitam di sore ini makin menjadi setelah Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih mengeluarkan pernyataan bahwa pasar minyak dunia masih tetap akan rentan terhadap isu politik, ekonomi, dan spekulasi, seperti yang dilansir oleh Reuters.
Untuk sedikit meredam sentimen negatif, Khalid menambahkan bahwa stok minyak global akan jatuh pada akhir kuartal I-2019. "Kami akan tetap fokus pada hal fundamental. Saya dapat mengatakan bahwa kita akan mencapai keseimbangan supply-demand di 2019".
Namun, sepertinya prediksi al-Falih tersebut tidak memiliki dampak signifikan terhadap kepercayaan pasar. Sentimen negatif fundamental sudah terlalu banyak, dan membenamkan harga minyak sore ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular