
Selamat, Rupiah Kini Terkuat di Asia!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 December 2018 09:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Bahkan rupiah menjelma menjadi mata uang terkuat di Asia.
Pada Selasa (18/12/2018) pukul 09:06 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.495. Rupiah menguat 0,51% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Dolar AS sudah berada di bawah Rp 14.500.
Kala pembukaan pasar, penguatan rupiah 'hanya' 0,14%. Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin galak dan balik mem-bully dolar AS.
Pagi ini sebagian besar mata uang Asia juga menguat terhadap dolar AS. Namun dengan penguatan 0,49% rupiah jadi yang terbaik di Benua Kuning. Dalam hal penguatan di hadapan greenback, tidak ada yang lebih baik dari mata uang Tanah Air.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 09:10 WIB:
Bagi Indonesia, penurunan harga minyak adalah berkah. Sebagai negara net importir migas, koreksi harga si emas hitam tentu akan membantu mengurangi beban impor.
Pada November 2018, Indonesia mencatat defisit perdagangan migas sebesar US$ 1,46 miliar. Ini sangat berperan dalam menyebabkan defisit perdagangan yang mencapai US$ 2,05 miliar, terdalam sejak Juli 2013.
Saat harga minyak turun, maka biaya impor juga akan berkurang sehingga defisit migas juga mampu ditekan. Akibatnya, lebih sedikit devisa yang terpakai untuk impor migas sehingga rupiah punya pijakan yang lebih kuat.
Selain itu, faktor eksternal juga menguntungkan bagi rupiah. Kebetulan dolar AS memang sedang tertekan, di mana Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,04%.
Seiring hampir berakhirnya 2018, investor mulai meneropong prospek 2019. Sepertinya The Federal Reserve/The Fed tidak akan terlalu agresif pada 2019, tidak seperti tahun ini yang kemungkinan menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali.
Sebab, sepertinya perekonomian AS memang sudah melambat pada 2019. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,9% tahun ini dan melambat menjadi 2,5% tahun depan.
Oleh karena itu, sebenarnya tujuan pengetatan moneter sudah tercapai yaitu mengerem laju ekonomi untuk menghindari overheating. Kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif sudah semakin mengecil. Sehingga dalam jangka menengah-panjang, dolar AS akan lebih sedikit diminati.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Selasa (18/12/2018) pukul 09:06 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.495. Rupiah menguat 0,51% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Dolar AS sudah berada di bawah Rp 14.500.
Kala pembukaan pasar, penguatan rupiah 'hanya' 0,14%. Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin galak dan balik mem-bully dolar AS.
Pagi ini sebagian besar mata uang Asia juga menguat terhadap dolar AS. Namun dengan penguatan 0,49% rupiah jadi yang terbaik di Benua Kuning. Dalam hal penguatan di hadapan greenback, tidak ada yang lebih baik dari mata uang Tanah Air.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 09:10 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Faktor penting yang membuat rupiah melesat adalah harga minyak. Pada pukul 09:12 WIB, harga minyak jenis brent turun 1% sementara light sweet anjlok 1,04%. Bagi Indonesia, penurunan harga minyak adalah berkah. Sebagai negara net importir migas, koreksi harga si emas hitam tentu akan membantu mengurangi beban impor.
Pada November 2018, Indonesia mencatat defisit perdagangan migas sebesar US$ 1,46 miliar. Ini sangat berperan dalam menyebabkan defisit perdagangan yang mencapai US$ 2,05 miliar, terdalam sejak Juli 2013.
Saat harga minyak turun, maka biaya impor juga akan berkurang sehingga defisit migas juga mampu ditekan. Akibatnya, lebih sedikit devisa yang terpakai untuk impor migas sehingga rupiah punya pijakan yang lebih kuat.
Selain itu, faktor eksternal juga menguntungkan bagi rupiah. Kebetulan dolar AS memang sedang tertekan, di mana Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,04%.
Seiring hampir berakhirnya 2018, investor mulai meneropong prospek 2019. Sepertinya The Federal Reserve/The Fed tidak akan terlalu agresif pada 2019, tidak seperti tahun ini yang kemungkinan menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali.
Sebab, sepertinya perekonomian AS memang sudah melambat pada 2019. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,9% tahun ini dan melambat menjadi 2,5% tahun depan.
Oleh karena itu, sebenarnya tujuan pengetatan moneter sudah tercapai yaitu mengerem laju ekonomi untuk menghindari overheating. Kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif sudah semakin mengecil. Sehingga dalam jangka menengah-panjang, dolar AS akan lebih sedikit diminati.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular