
Impor Turun, Komitmen Jokowi Mulai Buahkan Hasil?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
17 December 2018 17:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit yang sangat dalam pada November 2018, mencapai US$ 2,05 miliar.
Hari ini, Senin (17/12/2018), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor pada November terkontraksi alias minus 3,28% secara tahunan (year-on-year/YoY). Lalu impor masih melesat dengan pertumbuhan 11,68% YoY.
Perkembangan tersebut membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang dalam yaitu US$ 2,05 miliar. Ini menjadi defisit paling dalam sejak Juli 2013.
Namun demikian, ada perkembangan yang sebenarnya cukup positif. Nilai impor untuk seluruh golongan penggunaan barang mengalami penurunan secara bulanan (month-to-month/MtM) pada bulan November 2018.
Penurunan terbesar dibukukan impor barang modal, yakni -5,92% MtM. Capaian itu disusul oleh kontraksi impor barang konsumsi dan bahan baku, masing-masing sebesar -4,7% MtM dan -4,14% MtM.
Adapun secara tahunan, impor barang modal di bulan November 2018 juga tercatat minus 2,13% YoY. Padahal, pada periode November 2017, pertumbuhan impor barang modal mampu mencapai 27,6% YoY.
Hal senada juga ditunjukkan oleh impor barang konsumsi yang "hanya" tumbuh 6,79% YoY pada November 2018. Padahal, di November 2017, pertumbuhannya bisa mencapai 30,78% YoY.
Sementara ity, pertumbuhan tahunan impor bahan baku juga melambat (meskipun tipis), dari 16,26% YoY (November 2017) menjadi 15,56% YoY (November 2018).
Data impor di bulan lalu lantas mengindikasikan bahwa komitmen pemerintah dalam mengendalikan impor mulai membuahkan hasil.
Seperti diketahui, sejak September 2018 lalu, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengambil sejumlah kebijakan untuk mengerem derasnya laju impor, dalam rangka menjaga nilai tukar rupiah dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
Setidaknya ada 3 kebijakan yang nampaknya memengaruhi penurunan impor, khususnya di golongan barang konsumsi dan barang modal.
Pertama, pemerintah mengumumkan kenaikan PPh Pasal 22 terhadap 1.147 item senilai US$ 6,6 miliar (nila tahun 2017). Regulasi ini berlaku mulai hari Rabu (5/9/2018). Sebagai informasi, mayoritas dari item yang mengalami kenaikan PPh Pasal 22 adalah golongan barang konsumsi.
Kedua, dari infrastruktur energi, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM (Kepmen) nomor 1953 K/06/MEM/2018. Kepmen itu berisi penggunaan barang operasi, barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya yang diproduksi di dalam negeri pada sektor ESDM. Keputusan tersebut sudah ditandatangani oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan dan mulai berlaku sejak 5 September 2018.
Dalam keputusan tersebut pada intinya menjelaskan, semua barang yang sudah diproduksi di dalam negeri wajib digunakan oleh badan usaha yang bergerak di sektor energi dan sumber daya mineral. Hal itu tidak hanya untuk sektor migas, tetapi juga sektor listrik, batu bara, dan energi baru, terbarukan, dan konservasi energi.
Ketiga, masih dari sektor energi, pemerintah memundurkan target dan jadwal operasional pembangkit listrik sebanyak 15.200 Megawatt.
Menteri ESDM Ignasius Jonan memaparkan 15.200 MW proyek listrik yang ditunda ini merupakan bagian dari 35 ribu MW yang digagas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, dan dijalankan oleh PT PLN (Persero).
"Ini yang dari 35 ribu MW yang direncanakan dan belum mencapai finansial closing, dan sudah digeser ke tahun-tahun berikutnya adalah sebesar 15.200 MW," ujarnya di Kementerian ESDM, Selasa (4/9/2018).
Proyek 15.200 MW ini pada mulanya diharapkan bisa selesai di 2019, namun kini ditunda sampai ke 2021 bahkan 2026 sesuai dengan permintaan kelistrikan. Mundurnya target operasional ini sekaligus untuk menyesuaikan pertumbuhan konsumsi listrik yang di kuartal II-2018 yang hanya sebesar 4,7%.
Apabila dihitung selama periode September-November 2018, atau sejak berbagai kebijakan di atas berlaku, pertumbuhan impor barang modal memang melambat. Dari sebesar 17,4% YoY (September-November 2017) menjadi 12,11% YoY (September-November 2018).
Di periode yang sama, perlambatan impor barang konsumsi malah lebih besar lagi. Dari sebesar 24,18% YoY (September-November 2017) menjadi 14,84% YoY (September-November 2018). Kebijakan kenaikan PPH Pasal 22 untuk impor barang-barang konsumsi nampaknya memberikan dampak yang lebih signifikan.
Meski demikian, akibat ekspor yang masih lesu, akhirnya defisit perdagangan yang lebar pun tidak tertahankan.
Pemerintah memang harus diapresiasi dalam melakukan langkah-langkah pengendalian impor. Akan tetapi, pemerintah masih punya Pekerjaan Rumah (PR) besar dalam meningkatkan nilai tambah bagi produk-produk ekspor tanah air. Sudah saatnya lepas dari ketergantungan ekspor barang komoditas.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/dru) Next Article Duh, Neraca Perdagangan Indonesia Tekor US$ 1,16 M
Hari ini, Senin (17/12/2018), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor pada November terkontraksi alias minus 3,28% secara tahunan (year-on-year/YoY). Lalu impor masih melesat dengan pertumbuhan 11,68% YoY.
Perkembangan tersebut membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang dalam yaitu US$ 2,05 miliar. Ini menjadi defisit paling dalam sejak Juli 2013.
Namun demikian, ada perkembangan yang sebenarnya cukup positif. Nilai impor untuk seluruh golongan penggunaan barang mengalami penurunan secara bulanan (month-to-month/MtM) pada bulan November 2018.
Penurunan terbesar dibukukan impor barang modal, yakni -5,92% MtM. Capaian itu disusul oleh kontraksi impor barang konsumsi dan bahan baku, masing-masing sebesar -4,7% MtM dan -4,14% MtM.
Adapun secara tahunan, impor barang modal di bulan November 2018 juga tercatat minus 2,13% YoY. Padahal, pada periode November 2017, pertumbuhan impor barang modal mampu mencapai 27,6% YoY.
Hal senada juga ditunjukkan oleh impor barang konsumsi yang "hanya" tumbuh 6,79% YoY pada November 2018. Padahal, di November 2017, pertumbuhannya bisa mencapai 30,78% YoY.
Sementara ity, pertumbuhan tahunan impor bahan baku juga melambat (meskipun tipis), dari 16,26% YoY (November 2017) menjadi 15,56% YoY (November 2018).
Data impor di bulan lalu lantas mengindikasikan bahwa komitmen pemerintah dalam mengendalikan impor mulai membuahkan hasil.
Seperti diketahui, sejak September 2018 lalu, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengambil sejumlah kebijakan untuk mengerem derasnya laju impor, dalam rangka menjaga nilai tukar rupiah dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
Setidaknya ada 3 kebijakan yang nampaknya memengaruhi penurunan impor, khususnya di golongan barang konsumsi dan barang modal.
Pertama, pemerintah mengumumkan kenaikan PPh Pasal 22 terhadap 1.147 item senilai US$ 6,6 miliar (nila tahun 2017). Regulasi ini berlaku mulai hari Rabu (5/9/2018). Sebagai informasi, mayoritas dari item yang mengalami kenaikan PPh Pasal 22 adalah golongan barang konsumsi.
Kedua, dari infrastruktur energi, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM (Kepmen) nomor 1953 K/06/MEM/2018. Kepmen itu berisi penggunaan barang operasi, barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya yang diproduksi di dalam negeri pada sektor ESDM. Keputusan tersebut sudah ditandatangani oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan dan mulai berlaku sejak 5 September 2018.
Dalam keputusan tersebut pada intinya menjelaskan, semua barang yang sudah diproduksi di dalam negeri wajib digunakan oleh badan usaha yang bergerak di sektor energi dan sumber daya mineral. Hal itu tidak hanya untuk sektor migas, tetapi juga sektor listrik, batu bara, dan energi baru, terbarukan, dan konservasi energi.
Ketiga, masih dari sektor energi, pemerintah memundurkan target dan jadwal operasional pembangkit listrik sebanyak 15.200 Megawatt.
Menteri ESDM Ignasius Jonan memaparkan 15.200 MW proyek listrik yang ditunda ini merupakan bagian dari 35 ribu MW yang digagas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, dan dijalankan oleh PT PLN (Persero).
"Ini yang dari 35 ribu MW yang direncanakan dan belum mencapai finansial closing, dan sudah digeser ke tahun-tahun berikutnya adalah sebesar 15.200 MW," ujarnya di Kementerian ESDM, Selasa (4/9/2018).
Proyek 15.200 MW ini pada mulanya diharapkan bisa selesai di 2019, namun kini ditunda sampai ke 2021 bahkan 2026 sesuai dengan permintaan kelistrikan. Mundurnya target operasional ini sekaligus untuk menyesuaikan pertumbuhan konsumsi listrik yang di kuartal II-2018 yang hanya sebesar 4,7%.
Apabila dihitung selama periode September-November 2018, atau sejak berbagai kebijakan di atas berlaku, pertumbuhan impor barang modal memang melambat. Dari sebesar 17,4% YoY (September-November 2017) menjadi 12,11% YoY (September-November 2018).
Di periode yang sama, perlambatan impor barang konsumsi malah lebih besar lagi. Dari sebesar 24,18% YoY (September-November 2017) menjadi 14,84% YoY (September-November 2018). Kebijakan kenaikan PPH Pasal 22 untuk impor barang-barang konsumsi nampaknya memberikan dampak yang lebih signifikan.
Meski demikian, akibat ekspor yang masih lesu, akhirnya defisit perdagangan yang lebar pun tidak tertahankan.
Pemerintah memang harus diapresiasi dalam melakukan langkah-langkah pengendalian impor. Akan tetapi, pemerintah masih punya Pekerjaan Rumah (PR) besar dalam meningkatkan nilai tambah bagi produk-produk ekspor tanah air. Sudah saatnya lepas dari ketergantungan ekspor barang komoditas.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/dru) Next Article Duh, Neraca Perdagangan Indonesia Tekor US$ 1,16 M
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular