
Duh, Pagi-pagi Rupiah Sudah Terlemah Ketiga di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 December 2018 08:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka stagnan di perdagangan pasar spot awal pekan ini. Namun seiring perjalanan pasar, rupiah malah melemah.
Pada Senin (17/12/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar spot sama dengan Rp 14.580. Tidak berubah dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Namun pada pukul 08:11 WIB, rupiah melemah 0,24%. Kini dolar AS dihargai Rp 14.615.
Akhir pekan lalu, rupiah berakhir dengan pelemahan 0,62% di hadapan greenback. Sementara secara mingguan, rupiah melemah 0,79%.
Pagi ini, rupiah bergerak searah dengan mayoritas mata uang Asia yang juga terdepresiasi melawan dolar AS. Hanya dolar Singapura, baht Thailand, dan dolar Taiwan yang masih mampu menguat.
Dengan pelemahan 0,24%, rupiah menjadi mata uang terlemah ketiga di Asia. Rupiah hanya lebih baik dibandingkan rupee India dan yuan China.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:12 WIB:
Investor sedang sayang-sayangnya kepada dolar AS karena tingginya risiko global. sepertinya pelaku pasar menilai risiko resesi di perekonomian AS semakin nyata. Risiko ini terlihat di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.
Akhir pekan lalu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7372%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,7262% dan 5 tahun yaitu 2,734%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Tidak hanya di AS, investor juga mencemaskan risiko perlambatan ekonomi global. Data-data ekonomi di China dan Eropa yang mengecewakan membuat persepsi itu muncul.
Di China, penjualan ritel pada November tumbuh 8,1% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 8,6% YoY. Pencapaian November juga menjadi yang terendah sejak Mei 2003.
Kemudian pertumbuhan produksi industri Negeri Panda pada November tercatat 5,4% YoY. Juga melambat dibandingkan Oktober yang tumbuh 5,9% YoY.
Sementara di Eropa, suasana suram semakin terasa saat rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) November versi IHS Markit yang sebesar 51,3. Angka ini menjadi yang paling rendah sejak November 2014.
Sebelumnya Bank Sentral Uni Eropa (ECB) juga menyebarkan aura negatif dengan merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru. Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9%, di mana perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%.
Perkembangan-perkembangan tersebut membuat investor tentu memlih bermain aman. Instrumen berisiko seperti saham ditinggalkan, dan aliran modal mengarah ke instrumen aman (safe haven) dalam hal ini adalah dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, pelaku pasar menduga data perdagangan internasional yang dirilis hari ini kurang memuaskan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% YoY dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$ 990 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,82 miliar.
Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan berada di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa. Sepertinya data perdagangan bisa menjadi sentimen yang memberatkan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (17/12/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar spot sama dengan Rp 14.580. Tidak berubah dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Namun pada pukul 08:11 WIB, rupiah melemah 0,24%. Kini dolar AS dihargai Rp 14.615.
Pagi ini, rupiah bergerak searah dengan mayoritas mata uang Asia yang juga terdepresiasi melawan dolar AS. Hanya dolar Singapura, baht Thailand, dan dolar Taiwan yang masih mampu menguat.
Dengan pelemahan 0,24%, rupiah menjadi mata uang terlemah ketiga di Asia. Rupiah hanya lebih baik dibandingkan rupee India dan yuan China.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:12 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dolar AS masih belum tertandingi. Sepanjang pekan lalu, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,96%. Investor sedang sayang-sayangnya kepada dolar AS karena tingginya risiko global. sepertinya pelaku pasar menilai risiko resesi di perekonomian AS semakin nyata. Risiko ini terlihat di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.
Akhir pekan lalu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7372%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,7262% dan 5 tahun yaitu 2,734%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Tidak hanya di AS, investor juga mencemaskan risiko perlambatan ekonomi global. Data-data ekonomi di China dan Eropa yang mengecewakan membuat persepsi itu muncul.
Di China, penjualan ritel pada November tumbuh 8,1% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 8,6% YoY. Pencapaian November juga menjadi yang terendah sejak Mei 2003.
Kemudian pertumbuhan produksi industri Negeri Panda pada November tercatat 5,4% YoY. Juga melambat dibandingkan Oktober yang tumbuh 5,9% YoY.
Sementara di Eropa, suasana suram semakin terasa saat rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) November versi IHS Markit yang sebesar 51,3. Angka ini menjadi yang paling rendah sejak November 2014.
Sebelumnya Bank Sentral Uni Eropa (ECB) juga menyebarkan aura negatif dengan merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru. Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9%, di mana perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%.
Perkembangan-perkembangan tersebut membuat investor tentu memlih bermain aman. Instrumen berisiko seperti saham ditinggalkan, dan aliran modal mengarah ke instrumen aman (safe haven) dalam hal ini adalah dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, pelaku pasar menduga data perdagangan internasional yang dirilis hari ini kurang memuaskan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% YoY dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$ 990 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,82 miliar.
Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan berada di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa. Sepertinya data perdagangan bisa menjadi sentimen yang memberatkan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular