Duh, Pagi-pagi Rupiah Sudah Terlemah Ketiga di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 December 2018 08:27
Faktor Global Tak Dukung Rupiah
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Dolar AS masih belum tertandingi. Sepanjang pekan lalu, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,96%. 

Investor sedang sayang-sayangnya kepada dolar AS karena tingginya risiko global. sepertinya pelaku pasar menilai risiko resesi di perekonomian AS semakin nyata. Risiko ini terlihat di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam. 

Akhir pekan lalu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7372%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,7262% dan 5 tahun yaitu 2,734%. 

Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. 

Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020. 


Tidak hanya di AS, investor juga mencemaskan risiko perlambatan ekonomi global. Data-data ekonomi di China dan Eropa yang mengecewakan membuat persepsi itu muncul. 

Di China, penjualan ritel pada November tumbuh 8,1% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 8,6% YoY. Pencapaian November juga menjadi yang terendah sejak Mei 2003. 

Kemudian pertumbuhan produksi industri Negeri Panda pada November tercatat 5,4% YoY. Juga melambat dibandingkan Oktober yang tumbuh 5,9% YoY. 

Sementara di Eropa, suasana suram semakin terasa saat rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) November versi IHS Markit yang sebesar 51,3. Angka ini menjadi yang paling rendah sejak November 2014. 

Sebelumnya Bank Sentral Uni Eropa (ECB) juga menyebarkan aura negatif dengan merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru. Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9%, di mana perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%. 

Perkembangan-perkembangan tersebut membuat investor tentu memlih bermain aman. Instrumen berisiko seperti saham ditinggalkan, dan aliran modal mengarah ke instrumen aman (safe haven) dalam hal ini adalah dolar AS. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular