
Awal Pekan, Bayangan Koreksi Masih Menyelimuti IHSG
Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
17 December 2018 08:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan awal pekan ini secara teknikal berpotensi mengalami tekanan dan terkonsolidasi setelah mencapai target FR161.8% wave 3.
Menurut Analis Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi, hal ini tampak dari candlestick membentuk pola tweezers top dengan potensi terkoreksi jangka pendek. Indikator Stochastic dan RSI berada pada area jenuh beli sehingga tekanan pelemahan masih cenderung lebih kuat dari dorongan penguatan.
"Sehingga diperkirakan IHSG akan bergerak cenderung melemah menutup gap diawal pekan dengan support resistance 6110-6180," kata Lanjar.
Pelaku pasa berekspektasi bisa naik ke leve 8.8%. Pada saat yang sama produk industri turun 5.4% menandakan pelemahan dalam ekonomi China yang berkelanjutan menjadi alasan investor untuk melakukan aksi profit taking diakhir pekan.
Bursa Eropa dibuka melemah lebih dari sepersen mengiringi pelemahan bursa saham Asia. Indeks Eurostoxx (-1.41%), FTSE (-1.12%) dan DAX (-1.53%) turun dengan semua sektor di merah. Euro dan Poundsterling melemah setelah para pemimpin Eropa menolak PM Theresa May untuk membantunya menjual perjanjian Brexit ke Parlemen Inggris. Sentimen selanjutnya pada pekan depan diantaranya; Pertemuan kebijakan moneter the Fed akhir tahun dan Tingkat inflasi di Eropa.
Koreksi yang lumayan dalam di Wall Street akhir pekan lalu dikhawatirkan dampak kejatuhan Wall Street masih terasa dan membuat investor di pasar keuangan Asia ketar-ketir.
Demikian pula dengan nilai tukar dolar AS yang berpotensi menguat seiring tingginya risiko perekonomian global. Potensi resesi di AS serta perlambatan ekonomi di China dan Eropa membuat investor lebih memilih bermain aman ketimbang uang mereka 'hangus'.
Dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) periode November. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% YoY dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$ 990 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,82 miliar.
Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa. Jadi sepertinya data perdagangan bisa menjadi sentimen yang memberatkan rupiah.
(hps) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Menurut Analis Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi, hal ini tampak dari candlestick membentuk pola tweezers top dengan potensi terkoreksi jangka pendek. Indikator Stochastic dan RSI berada pada area jenuh beli sehingga tekanan pelemahan masih cenderung lebih kuat dari dorongan penguatan.
"Sehingga diperkirakan IHSG akan bergerak cenderung melemah menutup gap diawal pekan dengan support resistance 6110-6180," kata Lanjar.
Sementara itu, Panis Sekuritas menilai setelah IHSG ditutup menurun sebesar 7,8 poin (-0.12%) ke 6.169,84 pada perdagangan hari Jumat 14 Desember 2018 kemarin. IHSG masih terus dipertahankan di tengah maraknya sentimen resesi AS.
Namun pada pekan ini diprediksi akan terjadi penurunan cukup dalam karena secara teknikal IHSG meninggalkan gap pada 6.115 yang bisa dimanfaatkan untuk timing beli pada saat gap tersebut telah terisi.
"Hari ini IHSG berpotensi bergerak mixed cenderung menguat dalam range 6.100- 6.180," perediksi Panin Sekuritas dalam Risetnya.
Sementara itu sentimen fundametal dari dalam dan luar negeri yang akan mempengaruhi ekspektasi pemodal di bursa domestik antara lain, rilus data pertumbuhan penjualan ritel China turun dibawah ekspektasi yaitu sebesa 8,1% dari 8,6% pada periode sebelumnya."Hari ini IHSG berpotensi bergerak mixed cenderung menguat dalam range 6.100- 6.180," perediksi Panin Sekuritas dalam Risetnya.
Pelaku pasa berekspektasi bisa naik ke leve 8.8%. Pada saat yang sama produk industri turun 5.4% menandakan pelemahan dalam ekonomi China yang berkelanjutan menjadi alasan investor untuk melakukan aksi profit taking diakhir pekan.
Bursa Eropa dibuka melemah lebih dari sepersen mengiringi pelemahan bursa saham Asia. Indeks Eurostoxx (-1.41%), FTSE (-1.12%) dan DAX (-1.53%) turun dengan semua sektor di merah. Euro dan Poundsterling melemah setelah para pemimpin Eropa menolak PM Theresa May untuk membantunya menjual perjanjian Brexit ke Parlemen Inggris. Sentimen selanjutnya pada pekan depan diantaranya; Pertemuan kebijakan moneter the Fed akhir tahun dan Tingkat inflasi di Eropa.
Koreksi yang lumayan dalam di Wall Street akhir pekan lalu dikhawatirkan dampak kejatuhan Wall Street masih terasa dan membuat investor di pasar keuangan Asia ketar-ketir.
Demikian pula dengan nilai tukar dolar AS yang berpotensi menguat seiring tingginya risiko perekonomian global. Potensi resesi di AS serta perlambatan ekonomi di China dan Eropa membuat investor lebih memilih bermain aman ketimbang uang mereka 'hangus'.
Dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) periode November. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% YoY dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$ 990 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,82 miliar.
Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa. Jadi sepertinya data perdagangan bisa menjadi sentimen yang memberatkan rupiah.
(hps) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Most Popular