
IHSG Terpeleset 0,13%, Semua Salah AS!
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 December 2018 16:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat tipis 0,01%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri sesi 2 dengan membukukan pelemahan sebesar 0,13% ke level 6.169,84.
Nasib IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan regional yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 2,02%, indeks Shanghai turun 1,53%, indeks Hang Seng turun 1,62%, indeks Strait Times turun 1,04%, dan indeks Kospi turun 1,25%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 9,65 triliun dengan volume sebanyak 10,02 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 365.931 kali.
Terpelesetnya pasar saham dalam negeri hari ini bisa dibilang merupakan kesalahan AS. Pasalnya, sentimen negatif yang datang dari sana berkontribusi paling besar bagi pelemahan IHSG.
Sinyal resesi yang masih keras digaungkan dari pasar obligasi AS membuat pasar saham Asia, termasuk Indonesia, ditinggalkan investor. Pada perdagangan tanggal 4 Desember, terjadi inversi spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps). Hal ini merupakan indikasi awal dari datangnya resesi di AS.
Lebih lanjut, konfirmasi datang-tidaknya resesi bisa berasal dari inversi atas obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Pada perdagangan hari ini, spread yield antara kedua tenor tersebut adalah sebesar -46 bps. Memang belum terjadi inversi, tapi nilainya menipis dari posisi kemarin (13/12/2018) yang sebesar -49 bps atau semakin mengarah ke inversi.
Sebagai informasi, inversi pada spread yield obligasi AS tenor 3-5 tahun dan 3 bulan-10 tahun terjadi pada 3 resesi terakhir yang dialami oleh AS. Wajar jika pelaku pasar merespons pergerakan saat ini dengan melakukan aksi jual besar-besaran.
Celakanya, di saat yang bersamaan pelaku pasar justru kian yakin bahwa The Fed akan mengeksekusi rencana kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 14 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan ini adalah 80,1%, naik dari posisi 1 hari sebelumnya yang sebesar 79,2%.
Semakin kuatnya persepsi terkait kenaikan suku bunga acuan pada bulan ini datang seiring dengan positifnya data tenaga kerja di AS. Kemarin, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 8 Desember turun 27.000 menjadi 206.000, lebih rendah ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 225.000.
Ditengah potensi resesi yang terus digaungkan, kenaikan suku bunga acuan tentu menjadi kabar yang luar biasa buruk. Tak hanya bank sentral AS yang melakukan pengetatan, bank sentral Eropa pun mengadopsi langkah serupa. Kemarin (13/12/2018), European Central Bank (ECB) secara resmi mengakhiri program stimulus berupa pembelian surat-surat berharga (quantitative easing) yang selama ini dilakukan guna mendongkrak laju perekonomian Benua Biru.
Pengetatan ini dilakukan kala di saat yang bersamaan ECB merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru untuk 2018 dan 2019. Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9% sementara perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%.
"Risiko di Eropa masih relatif seimbang. Namun memang ada potensi ke bawah (downside risk) akibat faktor ketegangan geopolitik, proteksionisme, kerentanan di negara-negara berkembang, dan volatilitas di pasar keuangan," kata Gubernur ECB Mario Draghi dalam jumpa pers usai rapat, mengutip Reuters.
Dikhawatirkan, pengetatan yang dilakukan ECB akan menjadi blunder dengan memukul perekonomian Eropa lebih dalam dari yang diperkirakan. Apalagi, ketidakpastian mengenai proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) juga masih lekat menempel perekonomian Eropa. Dari kawasan regional, data ekonomi China yang mengecewakan membuat aksi jual menjadi kian tak terbendung.
Kemarin siang, investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) di China diumumkan terkontraksi sebesar 1,3% YoY hingga bulan November, seperti dilansir dari Trading Economics. Capaian ini jauh lebih buruk dari capaian hingga bulan Oktober yakni ekspansi sebesar 3,3% YoY.
Kemudian pada hari ini, pertumbuhan produksi industri China periode November diumumkan sebesar 5,4% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 5,9% YoY.
Pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode yang sama diumumkan tumbuh hanya sebesar 8,1% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 8,8% YoY.
Perang dagang dengan AS terlihat benar-benar menyakiti perekonomian Negeri Panda. Walaupun ada berbagai perkembangan positif yang menyelimuti perang dagang, tetap saja belum ada kesepakatan hitam di atas putih yang ditandatangani kedua belah pihak. Perang dagang masih sangat jauh dari kata usai dan tekanan terhadap perekonomian China bisa terus berlangsung. Mencuatnya persepsi terkait kenaikan suku bunga acuan pada bulan ini oleh The Fed sukses memukul mundur rupiah. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,62% di pasar spot ke level Rp 14.580/dolar AS.
Merespons pelemahan rupiah, saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) anjlok hingga 1,62%, mendorong indeks sektor jasa keuangan melemah 0,23%. Sektor jasa keuangan lantas menjadi sektor dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG.
Selain itu, pelemahan rupiah juga memicu aksi jual oleh investor asing. Hingga sore hari, investor asing mencatatkan jual bersih senilai Rp 84,5 miliar di pasar saham Indonesia.
5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 250,3 miliar), PT Bank Tabungan Negara Tbk/BBTN (Rp 54,8 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 42,1 miliar), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (Rp 37,2 miliar), dan PT Media Nusantara Citra Tbk/MNCN (Rp 23 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000
Nasib IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan regional yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 2,02%, indeks Shanghai turun 1,53%, indeks Hang Seng turun 1,62%, indeks Strait Times turun 1,04%, dan indeks Kospi turun 1,25%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 9,65 triliun dengan volume sebanyak 10,02 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 365.931 kali.
Sinyal resesi yang masih keras digaungkan dari pasar obligasi AS membuat pasar saham Asia, termasuk Indonesia, ditinggalkan investor. Pada perdagangan tanggal 4 Desember, terjadi inversi spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps). Hal ini merupakan indikasi awal dari datangnya resesi di AS.
Lebih lanjut, konfirmasi datang-tidaknya resesi bisa berasal dari inversi atas obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Pada perdagangan hari ini, spread yield antara kedua tenor tersebut adalah sebesar -46 bps. Memang belum terjadi inversi, tapi nilainya menipis dari posisi kemarin (13/12/2018) yang sebesar -49 bps atau semakin mengarah ke inversi.
Sebagai informasi, inversi pada spread yield obligasi AS tenor 3-5 tahun dan 3 bulan-10 tahun terjadi pada 3 resesi terakhir yang dialami oleh AS. Wajar jika pelaku pasar merespons pergerakan saat ini dengan melakukan aksi jual besar-besaran.
Celakanya, di saat yang bersamaan pelaku pasar justru kian yakin bahwa The Fed akan mengeksekusi rencana kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 14 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan ini adalah 80,1%, naik dari posisi 1 hari sebelumnya yang sebesar 79,2%.
Semakin kuatnya persepsi terkait kenaikan suku bunga acuan pada bulan ini datang seiring dengan positifnya data tenaga kerja di AS. Kemarin, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 8 Desember turun 27.000 menjadi 206.000, lebih rendah ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 225.000.
Ditengah potensi resesi yang terus digaungkan, kenaikan suku bunga acuan tentu menjadi kabar yang luar biasa buruk. Tak hanya bank sentral AS yang melakukan pengetatan, bank sentral Eropa pun mengadopsi langkah serupa. Kemarin (13/12/2018), European Central Bank (ECB) secara resmi mengakhiri program stimulus berupa pembelian surat-surat berharga (quantitative easing) yang selama ini dilakukan guna mendongkrak laju perekonomian Benua Biru.
Pengetatan ini dilakukan kala di saat yang bersamaan ECB merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru untuk 2018 dan 2019. Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9% sementara perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%.
"Risiko di Eropa masih relatif seimbang. Namun memang ada potensi ke bawah (downside risk) akibat faktor ketegangan geopolitik, proteksionisme, kerentanan di negara-negara berkembang, dan volatilitas di pasar keuangan," kata Gubernur ECB Mario Draghi dalam jumpa pers usai rapat, mengutip Reuters.
Dikhawatirkan, pengetatan yang dilakukan ECB akan menjadi blunder dengan memukul perekonomian Eropa lebih dalam dari yang diperkirakan. Apalagi, ketidakpastian mengenai proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) juga masih lekat menempel perekonomian Eropa. Dari kawasan regional, data ekonomi China yang mengecewakan membuat aksi jual menjadi kian tak terbendung.
Kemarin siang, investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) di China diumumkan terkontraksi sebesar 1,3% YoY hingga bulan November, seperti dilansir dari Trading Economics. Capaian ini jauh lebih buruk dari capaian hingga bulan Oktober yakni ekspansi sebesar 3,3% YoY.
Kemudian pada hari ini, pertumbuhan produksi industri China periode November diumumkan sebesar 5,4% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 5,9% YoY.
Pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode yang sama diumumkan tumbuh hanya sebesar 8,1% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 8,8% YoY.
Perang dagang dengan AS terlihat benar-benar menyakiti perekonomian Negeri Panda. Walaupun ada berbagai perkembangan positif yang menyelimuti perang dagang, tetap saja belum ada kesepakatan hitam di atas putih yang ditandatangani kedua belah pihak. Perang dagang masih sangat jauh dari kata usai dan tekanan terhadap perekonomian China bisa terus berlangsung. Mencuatnya persepsi terkait kenaikan suku bunga acuan pada bulan ini oleh The Fed sukses memukul mundur rupiah. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,62% di pasar spot ke level Rp 14.580/dolar AS.
Merespons pelemahan rupiah, saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) anjlok hingga 1,62%, mendorong indeks sektor jasa keuangan melemah 0,23%. Sektor jasa keuangan lantas menjadi sektor dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG.
Selain itu, pelemahan rupiah juga memicu aksi jual oleh investor asing. Hingga sore hari, investor asing mencatatkan jual bersih senilai Rp 84,5 miliar di pasar saham Indonesia.
5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 250,3 miliar), PT Bank Tabungan Negara Tbk/BBTN (Rp 54,8 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 42,1 miliar), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (Rp 37,2 miliar), dan PT Media Nusantara Citra Tbk/MNCN (Rp 23 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000
Most Popular