Akhiri Pekan dengan Muram, Rupiah Terlemah Ketiga di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 December 2018 16:41
Dolar AS Jadi Pilihan Utama
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Melihat yen yang menguat sendirian di Asia, jelas bahwa investor sedang bermain aman. Tidak ada yang berani mengambil risiko, dan arus modal mengarah ke aset aman seperti mata uang Negeri Matahari Terbit dan tentunya dolar AS. 

Dolar AS benar-benar sedang menjadi pilihan utama pelaku pasar. Pada pukul 16:19 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat hingga 0,49%. 

Dari dalam negeri, dolar AS didukung oleh potensi kenaikan suku bunga acuan yang semakin kuat. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) dalam rapat 19 Desember mencapai 80,1%. Seminggu yang lalu, kemungkinannya hanya 72,3%. 

Pelaku pasar semakin yakin bahwa Jerome 'Jay' Powell dan sejawat akan menggenapkan kenaikan Federal Funds Rate menjadi empat kali sepanjang 2018. Bagi dolar AS, ini merupakan suntikan tenaga yang luar biasa, karena kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongkrak imbal hasil investasi di Negeri Paman Sam.  

Pelaku pasar juga semakin khawatir dengan risiko resesi di perekonomian AS. Ini terlihat dari pasar obligasi Negeri Adidaya. 

Pada pukul 16:26 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7186% sementara yang 3 tahun adalah 2,707%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,7069%. 

Situasi seperti ini disebut inverted yield. Pelaku pasar kerap menjadikan inverted yield (apalagi jika berlangsung dalam waktu lama) sebagai sinyal terjadinya resesi. Sebab investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang, sehingga meminta premi yang lebih tinggi untuk obligasi tenor pendek. 

Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020. 

Perkembangan di Eropa yang muram juga membuat investor cemas. Bank Sentral Uni Eropa (ECB) merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru untuk 2018 dan 2019.  

Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9% sementara perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%. 

"Risiko di Eropa masih relatif seimbang. Namun memang ada potensi ke bawah (downside risk) akibat faktor ketegangan geopolitik, proteksionisme, kerentanan di negara-negara berkembang, dan volatilitas di pasar keuangan," kata Presiden ECB Mario Draghi, mengutip Reuters. 

Berbagai perkembangan tersebut membuat pelaku pasar tidak punya pilihan selain bermain aman. Tidak ada yang mau mengambil risiko dengan masuk ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Akhir pekan ini bukan menjadi momentum yang membahagiakan bagi rupiah. Justru rupiah menjalani hari dengan muram.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular