
Kemarin Rupiah Jadi Raja, Sekarang Bukan Siapa-siapa
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 December 2018 10:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis di kurs acuan. Namun di pasar spot, rupiah melemah lebih dalam.
Pada Jumat (14/12/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.538. Rupiah melemah tipis 0,01% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Pelemahan hari ini memutus penguatan rupiah yang terjadi selama 2 hari beruntun di kurs acuan. Kemarin, rupiah menguat 0,28% dan hari sebelumnya terapresiasi 0,25%.
Sementara di pasar spot, nasib rupiah lebih apes. Pada pukul 10:06 WIB, US$ 1 dijual Rp 14.560 di mana rupiah melemah 0,48%.
Kala pembukaan pasar, pelemahan rupiah masih tipis saja yaitu 0,07%. Namun seiring jalan, rupiah bukannya membaik malah semakin melemah.
Padahal kemarin rupiah sukses menguat seharian dan mengakhiri perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,72% di hadapan dolar AS. Penguatan itu membawa rupiah jadi mata uang terbaik di Asia.
Namun sekarang semuanya berubah. Dari pemuncak klasemen, rupiah jatuh ke posisi terbawah. Ya, pelemahan 0,48% membuat rupiah jadi mata uang terlemah di Asia. Dari raja, kini rupiah bukan siapa-siapa.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:10 WIB:
Sentimen Domestik Bebani Rupiah
Dari dalam negeri, sepertinya kebutuhan valas korporasi sedang tinggi karena jelang akhir tahun. Apalagi perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, mereka berkewajiban mengirimkan laba ke negara asalnya. Ini membuat rupiah mengalami tekanan jual sehingga melemah.
Selain itu, Indonesia juga dinilai rentan mengalami masalah di transaksi berjalan (current account). Ini karena neraca perdagangan November diperkirakan kembali defisit, bahkan cukup dalam.
Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan akan defisit cukup dalam yaitu US$ 1,31 miliar. Pada Oktober, defisit neraca perdagangan mencapai US$ 1,82 miliar.
Defisit neraca perdagangan yang kemungkinan terjadi 2 bulan beruntun ini menimbulkan pertanyaan besar. Bagaimana nasib transaksi berjalan pada kuartal IV-2018? Apakah akan kembali mencatatkan defisit yang dalam seperti kuartal sebelumnya?
Nasib transaksi berjalan yang di ujung tanduk ini tentu berdampak kepada rupiah. Mata uang Tanah Air akan tetap kekurangan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa sehingga sulit menguat.
Risiko Global Sedang Tinggi
Investor asing juga terlihat menghindari aset-aset berbasis rupiah. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 162,87 miliar pada pukul 10:17 WIB.
Hawa negatif di perekonomian global membuat investor mencari aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Di AS, risiko terjadinya resesi semakin membuat pelaku pasar khawatir.
Pada pukul 10:19 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun tercatat 2,7496% sementara tenor 3 tahun berada di 2,7453%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,741%.
Situasi seperti ini disebut inverted yield. Pelaku pasar kerap menjadikan inverted yield (apalagi jika berlangsung dalam waktu lama) sebagai sinyal terjadinya resesi. Sebab investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang, sehingga meminta premi yang lebih tinggi untuk obligasi tenor pendek.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Jumat (14/12/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.538. Rupiah melemah tipis 0,01% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Pelemahan hari ini memutus penguatan rupiah yang terjadi selama 2 hari beruntun di kurs acuan. Kemarin, rupiah menguat 0,28% dan hari sebelumnya terapresiasi 0,25%.
Sementara di pasar spot, nasib rupiah lebih apes. Pada pukul 10:06 WIB, US$ 1 dijual Rp 14.560 di mana rupiah melemah 0,48%.
Kala pembukaan pasar, pelemahan rupiah masih tipis saja yaitu 0,07%. Namun seiring jalan, rupiah bukannya membaik malah semakin melemah.
Padahal kemarin rupiah sukses menguat seharian dan mengakhiri perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,72% di hadapan dolar AS. Penguatan itu membawa rupiah jadi mata uang terbaik di Asia.
Namun sekarang semuanya berubah. Dari pemuncak klasemen, rupiah jatuh ke posisi terbawah. Ya, pelemahan 0,48% membuat rupiah jadi mata uang terlemah di Asia. Dari raja, kini rupiah bukan siapa-siapa.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:10 WIB:
Sentimen Domestik Bebani Rupiah
Dari dalam negeri, sepertinya kebutuhan valas korporasi sedang tinggi karena jelang akhir tahun. Apalagi perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, mereka berkewajiban mengirimkan laba ke negara asalnya. Ini membuat rupiah mengalami tekanan jual sehingga melemah.
Selain itu, Indonesia juga dinilai rentan mengalami masalah di transaksi berjalan (current account). Ini karena neraca perdagangan November diperkirakan kembali defisit, bahkan cukup dalam.
Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan akan defisit cukup dalam yaitu US$ 1,31 miliar. Pada Oktober, defisit neraca perdagangan mencapai US$ 1,82 miliar.
Defisit neraca perdagangan yang kemungkinan terjadi 2 bulan beruntun ini menimbulkan pertanyaan besar. Bagaimana nasib transaksi berjalan pada kuartal IV-2018? Apakah akan kembali mencatatkan defisit yang dalam seperti kuartal sebelumnya?
Nasib transaksi berjalan yang di ujung tanduk ini tentu berdampak kepada rupiah. Mata uang Tanah Air akan tetap kekurangan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa sehingga sulit menguat.
Risiko Global Sedang Tinggi
Investor asing juga terlihat menghindari aset-aset berbasis rupiah. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 162,87 miliar pada pukul 10:17 WIB.
Hawa negatif di perekonomian global membuat investor mencari aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Di AS, risiko terjadinya resesi semakin membuat pelaku pasar khawatir.
Pada pukul 10:19 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun tercatat 2,7496% sementara tenor 3 tahun berada di 2,7453%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,741%.
Situasi seperti ini disebut inverted yield. Pelaku pasar kerap menjadikan inverted yield (apalagi jika berlangsung dalam waktu lama) sebagai sinyal terjadinya resesi. Sebab investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang, sehingga meminta premi yang lebih tinggi untuk obligasi tenor pendek.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular