Asing Bawa Kabur Rp 1 T, IHSG Terburuk Ketiga di Asia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 December 2018 17:04
Asing Bawa Kabur Rp 1 T, IHSG Terburuk Ketiga di Asia
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka melemah 0,26%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memperlebar kekalahannya menjadi 0,57% per akhir sesi 2 ke level 6.076,59.

Nasib IHSG senada dengan mayoritas bursa saham kawasan Asia yang juga diperdagangkan melemah. Pelemahan IHSG menjadi yang terdalam ketiga setelah indeks KLCI (Malaysia) dan indeks SET (Thailand).

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 8,59 triliun dengan volume sebanyak 10,65 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 427.994 kali.

Aksi jual investor asing menekan kinerja bursa saham tanah air. Investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,01 triliun hingga akhir perdagangan.

Pelemahan rupiah membuat investor asing begitu gencar melakukan aksi jual. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,31% di pasar spot ke level Rp 14.595/dolar AS. Rupiah melemah seiring dengan indikasi resesi di AS yang semakin nyata.

Pada tanggal 4 Desember 2018, terjadi inversi spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps).

Hal ini merupakan indikasi awal dari akan datangnya resesi di AS.  Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.

Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, juga selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.

Lantas, pergerakan spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun menjadi sangat penting untuk diamati. Pasalnya, konfirmasi datang atau tidaknya resesi bisa berasal dari situ. Ketika inversi terjadi, kemungkinan besar resesi akan datang.

Per awal bulan lalu, spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun adalah sebesar -82 bps. Per akhir perdagangan kemarin (10/12/2018), nilainya tersisa -47 bps. Pada hari ini, angkanya kembali menipis menjadi -44 bps atau semakin mendekati apa yang disebut inversi.

Sejatinya, AS menjadi pihak yang paling dirugikan ketika resesi terjadi disana. Saham-saham di Wall Street dan dolar AS seharusnya dilepas investor.

Namun, mengingat kini resesi belum benar-benar terjadi (bahkan belum ‘dikonfirmasi’ oleh inversi spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun), dolar AS selaku safe haven masih diburu oleh investor.

Ketika resesi memang benar-benar terjadi nantinya, saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas dan investor akan beralih memeluk emas yang juga merupakan safe haven. Hal ini terjadi pada krisis subprime mortgage tahun 2007-2009. Sejatinya, ada kabar positif terkait dengan perang dagang AS-China yang mampu mendongkrak kinerja rupiah dan IHSG.

Mengutip Reuters, Wakil Perdana Menteri China Liu He telah berbicara melalui telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. Beijing dan Washington tengah menyusun rencana kerja sebagai tindak lanjut kesepakatan yang dibuat oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China di Xi Jinping di Argentina awal bulan ini.

"Kedua pihak (Liu dan Mnuchin-Lighthizer) bertukar pandangan mengenai implementasi dari konsensus yang dibuat oleh para pemimpin negara. Kedua pihak juga mendorong percepatan jadwal dan peta jalan (roadmap) pembicaraan di tingkat selanjutnya," sebut keterangan Kementerian Perdagangan China.

Namun apa mau dikata, kekhawatiran mengenai resesi di AS membuat investor kekeh meninggalkan rupiah dan pasar saham tanah air. Resesi di AS akan sangat signifikan menghantam laju perekonomian dunia, mengingat posisinya yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar di planet bumi.

Pada tahun 2009 kala krisis keuangan global yang berpusat di AS mencapai puncaknya, perekonomian AS terkontrasi sebesar 2,6%. Sebagai akibatnya, laju perekonomian dunia melemah sebesar 0,5%. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melandai menjadi 4,63%, dari yang sebelumnya 6,01% pada tahun 2008. Seakan sentimen negatif yang datang dari AS tak cukup, Inggris ikut-ikutan memperkeruh suasana. Perdana Menteri Theresa May sejatinya berencana membawa kesepakatan Brexit yang sudah disepakati dengan Uni Eropa ke hadapan parlemen pada hari ini untuk kemudian dilakukan pemungutan suara.

Namun, May pada akhirnya membatalkan pemungutan suara tersebut. Berbicara di hadapan anggota parlemen, May mengatakan bahwa isu yang terkait dengan backstop di Irlandia utara masih menjadi kekhawatiran dan dirinya akan kembali menegosiasikan perjanjian yang sudah ada dengan Uni Eropa.

“Saya akan mengadakan perbincangan darurat dengan para pimpinan Uni Eropa untuk mendiskusikan perubahan-perubahan (yang mungkin dilakukan) terkait backstop,” papar May.

Masalahnya, pihak Uni Eropa sudah sempat memperingatkan bahwa kesepakatan yang saat ini ada merupakan yang terbaik.

"Mereka yang berpikir bahwa dengan menolak kesepakatan ini bisa mendapat yang lebih baik, maka akan kecewa. Ini adalah kesepakatan yang terbaik," tegas Presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker beberapa waktu yang lalu.

Negosiasi lanjutan dengan Uni Eropa dipastikan akan berlangsung dengan sulit. Besar kemungkinan Inggris akhirnya tak mendapatkan kesepakatan yang lebih baik. Yang ada, ribut-ribut antara Inggris dengan Uni Eropa bisa kembali terjadi. Pelemahan IHSG paling banyak disumbang oleh sektor barang konsumsi yang terkoreksi hingga 0,8%. Saham-saham barang konsumsi yang banyak dilepas investor diantaranya: PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-4,75%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-2,11), PT Indofarma Tbk/INAF (-1,21%), dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,63%).

Pelaku pasar ‘menghukum’ saham-saham barang konsumsi seiring dengan rilis Survei Penjualan Eceran periode Oktober 2018 oleh Bank Indonesia kemarin (10/12/2018). Pada bulan Oktober, Indeks Penjualan Riil (IPR) tercatat tumbuh sebesar 2,9% YoY, melambat ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar 4,8% YoY. Alhasil, sudah dua bulan berturut-turut pertumbuhan penjualan ritel di Indonesia mengalami perlambatan.

Melihat datanya lebih dalam, salah satu pos yang mengalami tekanan signifikan adalah makanan, minuman & tembakau. Pada bulan September, pertumbuhan penjualan dari pos ini adalah sebesar 6,1% YoY. Pada bulan Oktober, nilainya anjlok menjadi 3,3% saja.

Memasuki bulan November, situasinya nampak akan membaik. Angka sementara untuk pertumbuhan IPR periode November adalah sebesar 3,4% YoY, membaik dari capaian bulan Oktober. Capaian tersebut juga mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 2,5% YoY.

Kehadiran musim liburan pada penghujung tahun menjadi faktor yang mendongkrak penjualan ritel di tanah air.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Yang Boleh dan 'Haram' Dilakukan Saat IHSG Jatuh

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular