
Dolar AS Sedang Bermasalah, Kok Rupiah Malah Melemah?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 December 2018 14:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah belum mampu memanfaatkan tekanan yang dialami dolar AS. Bukannya menguat, rupiah malah tertekan sejak pembukaan pasar dan menjadi mata uang terlemah di Asia.
Pada Selasa (11/12/2018) pukul 14:02 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.650 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,69% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sejak pembukaan pasar rupiah memang sudah melemah. Namun seiring perjalanan, depresiasi rupiah bertambah dalam.
Dengan depresiasi 0,69%, rupiah jadi mata uang terlemah di Asia. Dalam hal head-to-head melawan greenback, tidak ada yang selemah rupiah di Benua Kuning.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 14:04 WIB:
Terlihat bahwa mayoritas mata uang Asia malah mampu menguat di hadapan dolar AS. Memang wajar, karena dolar AS sedang mengalami tekanan.
Dolar AS tidak hanya kurang bertaji di Asia, tetapi secara global. Pada pukul 14:09 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,09%.
Sentimen negatif tengah menyelimuti mata uang Negeri Paman Sam. Setelah sempat cemas akibat penahanan petinggi Huawei, investor kembali lega kala ada angin surga dari hubungan dagang AS-China.
Mengutip Reuters, Wakil Perdana Menteri China Liu He telah berbicara melalui telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. Beijing dan Washington tengah menyusun rencana kerja sebagai tindak lanjut kesepakatan yang dibuat oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China di Xi Jinping di Argentina awal bulan ini.
"Kedua pihak (Liu-Mnuchin dan Lighthizer) bertukar pandangan mengenai implementasi dari konsensus yang dibuat oleh para pemimpin negara. Kedua pihak juga mendorong percepatan jadwal dan peta jalan (roadmap) pembicaraan di tingkat selanjutnya," sebut keterangan Kementerian Perdagangan China.
Aura damai dagang AS-China kembali merebak dan investor berbunga-bunga. Arus modal pun menjauhi dolar AS, karena investor agak enggan bermain aman. Mata uang Asia mendapat berkahnya, sehingga penguatan merebak di Benua Kuning.
Selain itu, hawa kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang tidak lagi ketat (hawkish) kian terasa. Memang betul bahwa kemungkinan Jerome 'Jay' Powell cs kemungkinan besar akan menaikkan Federal Funds Rate pada rapat 19 Desember. Namun untuk 2019, sepertinya kenaikan suku bunga acuan tidak akan seagresif perkiraan sebelumnya.
Goldman Sachs memperkirakan The Fed baru akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada Maret 2019. Setelah itu suku bunga diperkirakan naik lagi pada Juni dan bertahan hingga akhir tahun.
Artinya, The Fed hanya menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali pada 2019. Lebih sedikit dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali.
Faktor-faktor itu membuat dolar AS yang sempat di atas angin kini harus kembali terjerembab ke bumi. Bahkan di Asia saja greenback tidak lagi digdaya.
Pada Selasa (11/12/2018) pukul 14:02 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.650 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,69% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sejak pembukaan pasar rupiah memang sudah melemah. Namun seiring perjalanan, depresiasi rupiah bertambah dalam.
Dengan depresiasi 0,69%, rupiah jadi mata uang terlemah di Asia. Dalam hal head-to-head melawan greenback, tidak ada yang selemah rupiah di Benua Kuning.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 14:04 WIB:
Terlihat bahwa mayoritas mata uang Asia malah mampu menguat di hadapan dolar AS. Memang wajar, karena dolar AS sedang mengalami tekanan.
Dolar AS tidak hanya kurang bertaji di Asia, tetapi secara global. Pada pukul 14:09 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,09%.
Sentimen negatif tengah menyelimuti mata uang Negeri Paman Sam. Setelah sempat cemas akibat penahanan petinggi Huawei, investor kembali lega kala ada angin surga dari hubungan dagang AS-China.
Mengutip Reuters, Wakil Perdana Menteri China Liu He telah berbicara melalui telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. Beijing dan Washington tengah menyusun rencana kerja sebagai tindak lanjut kesepakatan yang dibuat oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China di Xi Jinping di Argentina awal bulan ini.
"Kedua pihak (Liu-Mnuchin dan Lighthizer) bertukar pandangan mengenai implementasi dari konsensus yang dibuat oleh para pemimpin negara. Kedua pihak juga mendorong percepatan jadwal dan peta jalan (roadmap) pembicaraan di tingkat selanjutnya," sebut keterangan Kementerian Perdagangan China.
Aura damai dagang AS-China kembali merebak dan investor berbunga-bunga. Arus modal pun menjauhi dolar AS, karena investor agak enggan bermain aman. Mata uang Asia mendapat berkahnya, sehingga penguatan merebak di Benua Kuning.
Selain itu, hawa kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang tidak lagi ketat (hawkish) kian terasa. Memang betul bahwa kemungkinan Jerome 'Jay' Powell cs kemungkinan besar akan menaikkan Federal Funds Rate pada rapat 19 Desember. Namun untuk 2019, sepertinya kenaikan suku bunga acuan tidak akan seagresif perkiraan sebelumnya.
Goldman Sachs memperkirakan The Fed baru akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada Maret 2019. Setelah itu suku bunga diperkirakan naik lagi pada Juni dan bertahan hingga akhir tahun.
Artinya, The Fed hanya menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali pada 2019. Lebih sedikit dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali.
Faktor-faktor itu membuat dolar AS yang sempat di atas angin kini harus kembali terjerembab ke bumi. Bahkan di Asia saja greenback tidak lagi digdaya.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Rupiah Terbeban Sentimen Domestik
Pages
Most Popular