
BI Buka-bukaan Soal Awan Mendung yang Bayangi Rupiah
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
11 December 2018 08:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah minggu lalu berhasil menunjukkan keperkasaannya terhadap dolar Amerika Serikat (AS), rupiah di awal pekan ini justru harus gigit jari.
Pada perdagangan pasar spot Senin (10/12/2018), US$1 ditutup di Rp 14.550/US$. Mata uang Garuda melemah 0,59% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari Jumat pekan lalu.
Bank Indonesia (BI) sebagai garda terdepan penjaga nilai tukar pun buka suara mengenai hal tersebut. Bagi bank sentral, pelemahan rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan faktor global.
"BI melihat faktor global lebih berperan," jelas Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo saat berbincang dengan CNBC Indonesia, dikutip Selasa (11/12/2018).
Berbagai sentimen eksternal tersebut di antaranya rilis data tenaga kerja Negeri Paman Sam yang menunjukkan perlambatan serta berita penahanan bos Huawei yang dikhawatirkan menghambat proses negosiasi dagang antara AS dan China.
Belum lagi dengan harga minyak yang naik tajam dipicu dari hasil kesepakatan OPEC dan Rusia untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 1,2 juta barel per hari.
BI pun melihat pelaku pasar masih mengkhawatirkan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, yang pada akhirnya menekan indeks saham AS dan negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Bank sentral, sambung Dody, berpendapat faktor domestik masih cukup memberikan sokongan untuk memperkuat kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia.
"Seperti posisi cadangan devisa yang meningkat, inflasi yang rendah, proyeksi CAD yang dapat dijaga sehat - di bawah 3% dari PDB - dan selisih bunga yang atraktif," kata Dody.
"Faktor-faktor tersebut diharapkan akan positif di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi, sehingga dapat memberikan confidence terhadap rupiah," ungkapnya.
Dody menegaskan bank sentral akan terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah melalui berbagai kebijakan yang terus konsisten dilakukan.
(prm) Next Article Rupiah Sulit Menuju Level 13.500. Jadi BI Harus Apa?
Pada perdagangan pasar spot Senin (10/12/2018), US$1 ditutup di Rp 14.550/US$. Mata uang Garuda melemah 0,59% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari Jumat pekan lalu.
Bank Indonesia (BI) sebagai garda terdepan penjaga nilai tukar pun buka suara mengenai hal tersebut. Bagi bank sentral, pelemahan rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan faktor global.
Berbagai sentimen eksternal tersebut di antaranya rilis data tenaga kerja Negeri Paman Sam yang menunjukkan perlambatan serta berita penahanan bos Huawei yang dikhawatirkan menghambat proses negosiasi dagang antara AS dan China.
![]() |
Belum lagi dengan harga minyak yang naik tajam dipicu dari hasil kesepakatan OPEC dan Rusia untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 1,2 juta barel per hari.
BI pun melihat pelaku pasar masih mengkhawatirkan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, yang pada akhirnya menekan indeks saham AS dan negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Bank sentral, sambung Dody, berpendapat faktor domestik masih cukup memberikan sokongan untuk memperkuat kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia.
"Seperti posisi cadangan devisa yang meningkat, inflasi yang rendah, proyeksi CAD yang dapat dijaga sehat - di bawah 3% dari PDB - dan selisih bunga yang atraktif," kata Dody.
"Faktor-faktor tersebut diharapkan akan positif di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi, sehingga dapat memberikan confidence terhadap rupiah," ungkapnya.
Dody menegaskan bank sentral akan terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah melalui berbagai kebijakan yang terus konsisten dilakukan.
(prm) Next Article Rupiah Sulit Menuju Level 13.500. Jadi BI Harus Apa?
Most Popular