Ditekan Luar-Dalam, IHSG Harus Rela Tinggalkan Level 6.100

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 December 2018 12:44
Ditekan Luar-Dalam, IHSG Harus Rela Tinggalkan Level 6.100
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan pertama di pekan ini dengan melemah 0,38% ke level 6.103,1, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri sesi 1 dnegan pelemahan sebesar 0,48% ke level 6.096,95. IHSG lantas harus rela meninggalkan level psikologis 6.100.

Pergerakan IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 2,22%, indeks Shanghai turun 0,84%, indeks Hang Seng turun 1,41%, indeks Strait Times turun 1,36%, dan indeks Kospi turun 1,41%.

Tekanan yang akan datang di bursa saham AS sudah ditransmisikan ke bursa saham Benua Kuning. Hingga siang hari ini, Kontrak futures Dow Jones mengimplikasikan penurunan sebesar 152 poin pada saat pembukaan, sementara S&P 500 dan Nasdaq diimplikasikan turun masing-masing sebesar 16 dan 43 poin.

Biasanya, pada sekitar jam ini kontrak futures tiga indeks saham utama di AS hanya mengimplikasikan pergerakan yang tipis pada saat perdagangan dibuka pada malam hari. Hal ini wajar saja. Pelaku pasar di AS saat ini sedang terlelap dalam tidurnya sehingga transaksi menjadi sepi. Hingga berita ini diturunkan, waktu di New York menunjukkan pukul 00:35.

Pelaku pasar sudah begitu gencar mentransaksikan kontrak futures seiring dengan kabar buruk yang datang dari pasar obligasi AS. Sebagai informasi, pada tanggal 4 Desember 2018, terjadi inversi spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps).

Hal ini merupakan indikasi awal dari akan datangnya resesi di AS. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.

Namun, yang benar-benar meresahkan sebenarnya bukan itu. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.

Lantas, pergerakan spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun menjadi sangat penting untuk diamati. Pasalnya, konfirmasi datang atau tidaknya resesi bisa berasal dari situ. Ketika inversi terjadi, kemungkinan besar resesi akan datang.

Celakanya, spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal bulan lalu, nilainya adalah sebesar 82 bps. Per akhir perdagangan hari Jumat (7/12/2018), nilainya tersisa 45 bps saja. Kemudian pada perdagangan hari ini, nilainya kembali menipis menjadi 44 bps. Pada perdagangan hari ini, yield obligasi AS tenor 3 bulan naik tipis sebesar 0,02 bps (menandakan harga turun), sementara yield obligasi tenor 10 tahun turun 1,57 bps (menanadakan harga naik).

Investor terlihat lebih menyukai obligasi dengan tenor lebih panjang. Perang dagang AS-China yang kian panas membuat investor memiliki kekhawatiran bahwa dalam jangka pendek perekonomian AS akan mengalami kontraksi secara signifikan.

Peluang tercapainya kesepakatan dagang antara AS dengan China kian kecil seiring dengan sikap AS yang memberikan perintah kepada otoritas Kanada untuk menangkap CFO Huawei global Meng Wanzhou.

Penangkapan ini merupakan bagian dari investigasi AS terkait dengan penggunaan sistem perbankan global oleh Huawei untuk menghindari sanksi AS terhadap Iran. Salah satu bank yang terjebak dalam investigasi ini adalah HSBC.

Pada hari Minggu (9/12/2018) waktu setempat, Kementerian Luar Negeri China memanggil duta besar AS dalam rangka mengajukan keberatan terkait penahanan Meng Wanzhou, sekaligus menuntut pihak AS untuk segera membebaskan sang petinggi Huawei tersebut.

Sebelumnya, kantor berita Xinhua yang mengutip situs resmi Kementerian Luar Negeri China melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri China Le Yucheng juga sudah memanggil duta besar Kanada John McCallum pada hari Sabtu (8/12/2018), dengan urusan yang sama.

Tidak tanggung-tanggung, Le memberitahu Callum bahwa hukuman bagi Meng Wanzhou adalah “pelanggaran luar biasa”. Le juga mengancam akan ada konsekuensi yang berat jika Kanada tidak segera membebaskan Meng Wanzhou.

“Langkah seperti itu (menahan Meng Wanzhou) adalah menghiraukan hukum dan tidak masuk akal, tidak berbudi, dan buruk secara moral, ujar Le seperti dikutip dari CNBC International.

“China secara tegas menuntut pihak Kanada segera membebaskan eksekutif Huawei […] atau menerima konsekuensi berat bahwa pihak Kanada seharusnya bertanggung jawab akan hal ini,” tambah Le. Sempat mengerek kinerja rupiah pada hari Jumat, rilis data cadangan devisa tak lagi mampu berbicara banyak pada hari ini. Hingga tengah hari, rupiah melemah 0,48% di pasar spot ke level Rp 14.535/dolar AS.

Pada hari Jumat, Bank Indonesia (BI) mengumumkan posisi cadangan devisa per akhir bulan lalu sebesar US$ 117,2 miliar, naik US$ 2 miliar dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang hanya US$ 115,2 miliar. Sebagai informasi, dalam 2 bulan terakhir cadangan devisa selalu membukukan kenaikan.

Laju rupiah pada hari ini terbebani oleh kenaikan harga minyak mentah dunia. Pada perdagangan hari Jumat, harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 menguat 1,24% ke level US$ 52,13/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 menguat 2,68% ke level US$ 61,67/barel.

Kemudian pada hari ini, minyak WTI melemah tipis 0,13%, sementara brent naik 0,55%.

Harga minyak mentah menguat pasca negara-negara eksportir minyak dunia, baik OPEC maupun non-OPEC, menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel per hari. Rincinya adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.

Melesatnya harga minyak mentah memunculkan kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) masih akan tertekan pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.

Kala CAD tertekan, rupiah menjadi kehilangan pijakan untuk menguat. Pelaku pasar sudah mulai ‘menghukum’ rupiah sedari hari ini.

Pada akhirnya, pelemahan rupiah membuat investor kian enggan untuk masuk ke pasar saham.

Seiring dengan pelemahan rupiah, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 290,8 miliar. 5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 126,9 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 30,5 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 27,1 miliar), PT Bukit Asam Tbk/PTBA (Rp 12,8 miliar), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (Rp 11,5 miliar). Sektor barang konsumsi (-0,26%) menjadi salah satu sektor yang membebani laju IHSG. Investor menghindari saham-saham di sektor ini sembari menantikan rilis data pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Oktober 2018. Melansir Trading Economics, data ini akan diumumkan oleh Bank Indonesia (BI) pada pukul 15:15 WIB.

PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) turun 3,98%, PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) turun 1,87%, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) turun 0,52%, dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) turun 0,12%.

Sebelumnya dalam publikasi Survei Penjualan Eceran periode September 2018 yang dirilis oleh BI, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Oktober 2018 tercatat hanya sebesar 3,9% YoY, melambat dari capaian bulan sebelumnya yang sebesar 4,8% YoY.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Dibuka Naik Tipis, IHSG Langsung Putar Balik ke Zona Merah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular