
Simak 5 Sentimen Penggerak Pasar Minggu Depan
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 December 2018 20:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini terbukti menjadi pekan yang manis bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Secara mingguan, IHSG membukukan penguatan sebesar 1,16%. Faktor internal dan eksternal membuat IHSG berhasil mengukir penguatan yang terbilang besar.
Memasuki minggu yang baru, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen, baik domestik maupun eksternal, yang berpotensi mendikte jalannya perdagangan di pasar saham dalam negeri.
Tim Riset CNBC Indonesia merangkum sejumlah sentimen yang dimaksud.
Pada pekan depan, pelaku pasar perlu memantau ketat perkembangan perang dagang AS-China. Seiring berjalannya waktu, ternyata pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Xi Jingping di Buenos Aires beberapa waktu lalu menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Pernyataan resmi dari masing-masing negara menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan, seperti dilansir dari Washington Post yang mengutip publikasi dari Bloomberg.
Perbedaan tersebut meliputi tenggat waktu 90 hari untuk menyelesaikan konflik dagang serta klaim dari Trump yang menyatakan bahwa China akan meningkatkan pembelian produk-produk agrikultur dari AS secepatnya.
Pernyataan dari kubu AS juga menyinggung bahwa merger antara Qualcomm dan NXP bisa kembali dipertimbangkan oleh Presiden Xi setelah sempat diblok beberapa waktu yang lalu. Tak ada konfirmasi mengenai hal ini dari kubu China.
Pelaku pasar lantas dibuat bingung. Masing-masing negara memiliki pernyataan versinya sendiri yang menempatnya dirinya sebagai ‘pemenang’ dalam perundingan di sela-sela KTT G-20.
Memang, dalam perundingan itu tak ada kesepakatan formal yang ditandatangani oleh Trump dan Xi. Damai dagang pun bisa sewaktu-waktu kembali berubah menjadi perang dagang yang tereskalasi.
Perkembangan terbaru, kesepakatan dagang AS-China menjadi kian sulit dicapai seiring dengan penahanan Chief Financial Officer (CFO) Huawei global Meng Wanzhou di Vancouver, Kanada. Penangkapan ini datang menyusul perintah AS yang sedang melakukan investigasi terkait dengan penggunaan sistem perbankan global oleh Huawei untuk menghindari sanksi AS terhadap Iran. Salah satu bank yang terjebak dalam investigasi ini adalah HSBC.
China pun bereaksi keras atas kejadian ini. Pada hari Sabtu (8/12/2018) China memperingatkan Kanada bahwa akan ada konsekuensi yang berat jika pihaknya tak segera membebaskan Meng Wanzhou. Pada perdagangan pekan ini, tekanan yang signifikan bagi bursa saham dalam negeri datang dari inversi di pasar obligasi AS. Pada tanggal 4 Desember 2018, terjadi inversi spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 bps.
Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Pada penutupan perdagangan hari Jumat (7/12/2018), spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 bps.
Namun, yang benar-benar meresahkan sebenarnya bukan itu. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.
Lantas, pergerakan spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun menjadi sangat penting untuk diamati. Pasalnya, konfirmasi datang atau tidaknya resesi bisa berasal dari situ. Ketika inversi terjadi, kemungkinan besar resesi akan datang.
Celakanya, spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal bulan lalu, nilainya adalah sebesar 82 bps. Per akhir perdagangan hari Jumat, nilainya tersisa 45 bps saja.
Jika spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun makin tipis pekan depan, bursa saham dunia, termasuk Indonesia, bisa ditinggalkan investor. Pekan depan sejatinya menjadi pekan yang krusial bagi perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Pemungutan suara terkait dengan kesepakatan Brexit yang sudah disepakati dengan Uni Eropa sejatinya akan diselenggarakan pada hari Selasa (11/12/2018).
Namun, Perdana Menteri Inggris Theresa May diperkirakan akan menunda pemungutan suara dan menuju ke Brussels untuk menuntut kesepakatan yang lebih baik dari Uni Eropa, surat kabar Sunday Times melaporkan. Para Menteri memang telah memperingatkan may bahwa kesepakatan yang lebih baik diperlukan untuk memenangkan dukungan anggota parlemen.
Ditundanya pemungutan suara ini merupakan sesuatu yang positif. May memiliki waktu untuk menegosiasikan kesepakatan yang memenuhi tuntutan parlemen.
Masalahnya, jika sampai ditolak oleh mereka, May bisa saja dilengserkan dari posisinya atau bahkan Inggris bisa meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan sama sekali (No-Deal Brexit). Pada hari Senin (10/12/2018), Bank Indonesia (BI) dijadwalkan untuk merilis data pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Oktober 2018. Melansir Trading Economics, data ini akan dirilis pada pukul 15:15 WIB.
Data ini menjadi penting guna mengukur tingkat konsumsi masyarakat Indonesia pada kuartal-IV 2018.
Pada awal bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal-III 2018 sebesar 5,17% YoY, mengalahkan konsensus yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia sebesar 5,145% YoY.
Namun, terdapat tekanan yang cukup besar bagi pos konsumsi rumah tangga. Pos ini hanya tumbuh sebesar 5,01% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan capaian kuartal-II 2018 yang sebesar 5,14% YoY.
Memang, pada kuartal-II 2018 terdapat bulan puasa dan lebaran yang sangat signifikan mendongkrak konsumsi. Tetapi di kuartal-III 2018, terdapat pagelaran Asian Games 2018 dan hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus yang juga mendongrak konsumsi, walaupun memang tak akan sesignifikan bulan puasa dan lebaran. Tetap saja, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya sebesar 5,01% YoY tergolong lambat.
Mengingat konsumsi rumah tangga berkontribusi lebih dari 50% terhadap perekonomian Indonesia, kuat-lemahnya pos ini akan banyak mendikte laju perekonomian Indonesia. Pergerakan harga minyak mentah dunia pada perdagangan hari Jumat (7/12/2018) patut menjadi perhatian. Harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 menguat 1,24% ke level US$ 52,13/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 menguat 2,68% ke level US$ 61,67/barel.
Harga minyak mentah menguat pasca negara-negara eksportir minyak dunia, baik OPEC maupun non-OPEC, menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel per hari. Rincinya adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.
Kesepakatan itu lebih rendah dari yang awalnya direncanakan. Sebelumnya, Arab Saudi mengindikasikan ingin OPEC dan sekutunya menahan pasokan paling tidak 1,3 juta barel per hari.
Namun begitu, pemotongan yang saat ini disepakati tetap saja besar, sehingga berpotensi mendorong naik harga minyak mentah dengan signifikan pada perdagangan pekan depan.
Melesatnya harga minyak mentah akan memunculkan kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) masih akan tertekan pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/gus) Next Article Ikut Melemah, Rupiah Tembus 14.500 Per Dolar AS
Memasuki minggu yang baru, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen, baik domestik maupun eksternal, yang berpotensi mendikte jalannya perdagangan di pasar saham dalam negeri.
Tim Riset CNBC Indonesia merangkum sejumlah sentimen yang dimaksud.
Pernyataan resmi dari masing-masing negara menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan, seperti dilansir dari Washington Post yang mengutip publikasi dari Bloomberg.
Perbedaan tersebut meliputi tenggat waktu 90 hari untuk menyelesaikan konflik dagang serta klaim dari Trump yang menyatakan bahwa China akan meningkatkan pembelian produk-produk agrikultur dari AS secepatnya.
Pernyataan dari kubu AS juga menyinggung bahwa merger antara Qualcomm dan NXP bisa kembali dipertimbangkan oleh Presiden Xi setelah sempat diblok beberapa waktu yang lalu. Tak ada konfirmasi mengenai hal ini dari kubu China.
Pelaku pasar lantas dibuat bingung. Masing-masing negara memiliki pernyataan versinya sendiri yang menempatnya dirinya sebagai ‘pemenang’ dalam perundingan di sela-sela KTT G-20.
Memang, dalam perundingan itu tak ada kesepakatan formal yang ditandatangani oleh Trump dan Xi. Damai dagang pun bisa sewaktu-waktu kembali berubah menjadi perang dagang yang tereskalasi.
Perkembangan terbaru, kesepakatan dagang AS-China menjadi kian sulit dicapai seiring dengan penahanan Chief Financial Officer (CFO) Huawei global Meng Wanzhou di Vancouver, Kanada. Penangkapan ini datang menyusul perintah AS yang sedang melakukan investigasi terkait dengan penggunaan sistem perbankan global oleh Huawei untuk menghindari sanksi AS terhadap Iran. Salah satu bank yang terjebak dalam investigasi ini adalah HSBC.
China pun bereaksi keras atas kejadian ini. Pada hari Sabtu (8/12/2018) China memperingatkan Kanada bahwa akan ada konsekuensi yang berat jika pihaknya tak segera membebaskan Meng Wanzhou. Pada perdagangan pekan ini, tekanan yang signifikan bagi bursa saham dalam negeri datang dari inversi di pasar obligasi AS. Pada tanggal 4 Desember 2018, terjadi inversi spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 bps.
Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Pada penutupan perdagangan hari Jumat (7/12/2018), spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 bps.
Namun, yang benar-benar meresahkan sebenarnya bukan itu. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.
Lantas, pergerakan spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun menjadi sangat penting untuk diamati. Pasalnya, konfirmasi datang atau tidaknya resesi bisa berasal dari situ. Ketika inversi terjadi, kemungkinan besar resesi akan datang.
Celakanya, spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal bulan lalu, nilainya adalah sebesar 82 bps. Per akhir perdagangan hari Jumat, nilainya tersisa 45 bps saja.
Jika spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun makin tipis pekan depan, bursa saham dunia, termasuk Indonesia, bisa ditinggalkan investor. Pekan depan sejatinya menjadi pekan yang krusial bagi perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Pemungutan suara terkait dengan kesepakatan Brexit yang sudah disepakati dengan Uni Eropa sejatinya akan diselenggarakan pada hari Selasa (11/12/2018).
Namun, Perdana Menteri Inggris Theresa May diperkirakan akan menunda pemungutan suara dan menuju ke Brussels untuk menuntut kesepakatan yang lebih baik dari Uni Eropa, surat kabar Sunday Times melaporkan. Para Menteri memang telah memperingatkan may bahwa kesepakatan yang lebih baik diperlukan untuk memenangkan dukungan anggota parlemen.
Ditundanya pemungutan suara ini merupakan sesuatu yang positif. May memiliki waktu untuk menegosiasikan kesepakatan yang memenuhi tuntutan parlemen.
Masalahnya, jika sampai ditolak oleh mereka, May bisa saja dilengserkan dari posisinya atau bahkan Inggris bisa meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan sama sekali (No-Deal Brexit). Pada hari Senin (10/12/2018), Bank Indonesia (BI) dijadwalkan untuk merilis data pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Oktober 2018. Melansir Trading Economics, data ini akan dirilis pada pukul 15:15 WIB.
Data ini menjadi penting guna mengukur tingkat konsumsi masyarakat Indonesia pada kuartal-IV 2018.
Pada awal bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal-III 2018 sebesar 5,17% YoY, mengalahkan konsensus yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia sebesar 5,145% YoY.
Namun, terdapat tekanan yang cukup besar bagi pos konsumsi rumah tangga. Pos ini hanya tumbuh sebesar 5,01% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan capaian kuartal-II 2018 yang sebesar 5,14% YoY.
Memang, pada kuartal-II 2018 terdapat bulan puasa dan lebaran yang sangat signifikan mendongkrak konsumsi. Tetapi di kuartal-III 2018, terdapat pagelaran Asian Games 2018 dan hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus yang juga mendongrak konsumsi, walaupun memang tak akan sesignifikan bulan puasa dan lebaran. Tetap saja, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya sebesar 5,01% YoY tergolong lambat.
Mengingat konsumsi rumah tangga berkontribusi lebih dari 50% terhadap perekonomian Indonesia, kuat-lemahnya pos ini akan banyak mendikte laju perekonomian Indonesia. Pergerakan harga minyak mentah dunia pada perdagangan hari Jumat (7/12/2018) patut menjadi perhatian. Harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 menguat 1,24% ke level US$ 52,13/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 menguat 2,68% ke level US$ 61,67/barel.
Harga minyak mentah menguat pasca negara-negara eksportir minyak dunia, baik OPEC maupun non-OPEC, menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel per hari. Rincinya adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.
Kesepakatan itu lebih rendah dari yang awalnya direncanakan. Sebelumnya, Arab Saudi mengindikasikan ingin OPEC dan sekutunya menahan pasokan paling tidak 1,3 juta barel per hari.
Namun begitu, pemotongan yang saat ini disepakati tetap saja besar, sehingga berpotensi mendorong naik harga minyak mentah dengan signifikan pada perdagangan pekan depan.
Melesatnya harga minyak mentah akan memunculkan kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) masih akan tertekan pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/gus) Next Article Ikut Melemah, Rupiah Tembus 14.500 Per Dolar AS
Most Popular