
Perhatian, The Fed Tak Naikkan Suku Bunga Tahun Depan!
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 December 2018 12:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang tahun 2018, pasar keuangan dunia dibuat kocar-kacir oleh normalisasi yang dilakukan oleh The Federal Reserve selaku bank sentral AS. Pasca memotong tingkat suku bunga acuan hingga mendekati level 0% guna memulihkan perekonomian AS pasca krisis keuangan global tahun 2007-2009 silam, The Fed mulai melakukan pengetatan pada akhir 2015 dan berlanjut hingga tahun ini.
Perekonomian AS yang sudah membaik dinilai cukup untuk menjustifikasi pengetatan ikat pinggang yang dilakukan bank sentral. Permasalahannya, tingkat agresivitas dari normalisasi tersebut dikhawatirkan bisa menjadi bumerang dengan memukul mundur perekonomian AS secara signifikan.
Pada bulan September lalu, dot plot yang dirilis selepas pertemuan The Fed mengindikasikan adanya kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan, masing-masing sebesar 25 bps.
Sebagai catatan, dot plot merupakan sebuah survei dari para anggota FOMC (Federal Open Market Committee) selaku pengambil keputusan terkait proyeksi mereka atas tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun.
Pada tahun ini, The Fed sudah mengerek suku bunga acuan sebanyak 3 kali. Posisi terakhir dari Federal Funds Rate (FFR) ada di level 2-2,25%. The Fed memproyeksikan masih ada 1 kali lagi kenaikan pada bulan ini, sehingga totalnya menajdi 4 kali (100 bps) ke level 2,25-2,5%.
Sebelumnya, pelaku pasar cukup percaya bahwa The Fed akan mengerek suku bunga acuan sebanyak 3 kali tahun depan (dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps dulu pada bulan ini).
Kini, situasinya benar-benar berubah. Investor tak lagi punya keyakinan terhadap hal tersebut. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 8 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan hanyalah sebesar 2,7%, anjlok dari posisi 1 bulan lalu yang sebesar 22,7%.
Justru, pelaku pasar kini meyakini bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan. Probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% pada tahun 2019 adalah sebesar 38,2%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 8,1%.
Sementara itu, probabilitas untuk kenaikan suku bunga acuan sebesar 1 kali juga cukup besar, yakni 34,8%. Untuk kenaikan 2 kali, probabilitasnya adalah 13,5%.
Mengecewakannya data-data ekonomi di AS merupakan penyebab skeptisnya investor dalam menanggapi proyeksi normalisasi yang dirilis The Fed. Pada hari Jumat (7/12/2018), data resmi versi pemerintah AS menunjukkan bahwa pada bulan November, tercipta 155.000 lapangan kerja sektor non-pertanian, di bawah konsensus yang sebesar 198.000, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sementara itu, rata-rata upah per jam di AS untuk periode yang sama hanya tumbuh sebesar 0,2% MoM, lebih rendah dibandingkan proyeksi yang sebesar 0,3% MoM.
Bukan hanya investor, The Fed nampak juga sudah mulai ragu-ragu dalam mengeksekusi rencana normalisasinya sendiri. Wall Street Journal melaporkan bahwa The Fed sedang mempertimbangkan untuk memberikan sinyal wait-and-see terkait kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini, seperti dikutip dari CNBC International. Laporan tersebut menyebut bahwa The Fed tidak tahu apa langkah mereka selanjutnya setelah pertemuan bulan ini.
Lantas, hal ini semacam memberikan konfirmasi bahwa stance dari The Fed sudah mengarah ke dovish. Sebelumnya, pernyataan yang mengindikasikan hal tersebut diketahui dari rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Fed edisi November 2018.
Dalam rapat tersebut, para peserta rapat semakin menggarisbawahi bahwa ada risiko yang menghantui perekonomian AS. "Ada pertanda perlambatan di sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga," sebut notulensi itu.
Kemudian, para peserta rapat juga menekankan pentingnya berkaca kepada data (data dependent) dalam pengambilan keputusan.
"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut. Bagi Indonesia, tentu menjadi kabar gembira jika The Fed tak menaikkan suku bunga acuan sama sekali pada tahun depan. Sepanjang tahun ini, Bank Indoensia (BI) sudah mengerek suku bunga acuan sebanyak 175 bps guna merespon normalisasi yang dilakukan The Fed.
Seiring dengan kenaikan suku bunga acuan, suku bunga deposito pun bertambah tinggi. Sebagai informasi, di Indonesia deposito tenor 1 dan 3 bulan merupakan yang paling diminati. Deposito tenor 1 bulan denominasi rupiah berkontribusi sebesar 18,39% dari komposisi DPK bank umum per September 2018. Untuk tenor 3 bulan, kontribusinya adalah sebesar 12,34%, seperti dilansir dari Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode September 2018 yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Rata-rata suku bunga deposito rupiah tenor 1 dan 3 bulan dari bank umum per akhir 2017 adalah masing-masing sebesar 5,74% dan 6,13%. Per September 2018, posisinya naik menjadi masing-masing 6,28% ( 54 bps) dan 6,29% ( 16 bps).
Tak hanya suku bunga deposito, imbal hasil obligasi (yield) terbitan pemerintah Indonesia juga merangkak naik sepanjang tahun 2018.
Bagi korporasi, otomatis biaya penerbitan obligasi menjadi tambah mahal. Mereka harus memberikan kupon yang lebih tinggi seiring dengan naiknya suku bunga deposito dan yield obligasi.
Jika suku bunga acuan terus dikerek naik oleh BI, bisa-bisa korporasi secara signifikan mengerem ekspansinya lantaran tak mau menanggung biaya utang yang terlalu tinggi. Laju perekonomian pun bisa terhambat.
Kini, satu risiko besar yang menghantui perekonomian tanah air mulai sirna.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/gus) Next Article BI Ogah Naikkan Bunga Acuan, Rupiah Happy Jadi Jawara Asia
Perekonomian AS yang sudah membaik dinilai cukup untuk menjustifikasi pengetatan ikat pinggang yang dilakukan bank sentral. Permasalahannya, tingkat agresivitas dari normalisasi tersebut dikhawatirkan bisa menjadi bumerang dengan memukul mundur perekonomian AS secara signifikan.
Pada bulan September lalu, dot plot yang dirilis selepas pertemuan The Fed mengindikasikan adanya kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan, masing-masing sebesar 25 bps.
Pada tahun ini, The Fed sudah mengerek suku bunga acuan sebanyak 3 kali. Posisi terakhir dari Federal Funds Rate (FFR) ada di level 2-2,25%. The Fed memproyeksikan masih ada 1 kali lagi kenaikan pada bulan ini, sehingga totalnya menajdi 4 kali (100 bps) ke level 2,25-2,5%.
Sebelumnya, pelaku pasar cukup percaya bahwa The Fed akan mengerek suku bunga acuan sebanyak 3 kali tahun depan (dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps dulu pada bulan ini).
Kini, situasinya benar-benar berubah. Investor tak lagi punya keyakinan terhadap hal tersebut. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 8 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan hanyalah sebesar 2,7%, anjlok dari posisi 1 bulan lalu yang sebesar 22,7%.
Justru, pelaku pasar kini meyakini bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan. Probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% pada tahun 2019 adalah sebesar 38,2%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 8,1%.
Sementara itu, probabilitas untuk kenaikan suku bunga acuan sebesar 1 kali juga cukup besar, yakni 34,8%. Untuk kenaikan 2 kali, probabilitasnya adalah 13,5%.
Mengecewakannya data-data ekonomi di AS merupakan penyebab skeptisnya investor dalam menanggapi proyeksi normalisasi yang dirilis The Fed. Pada hari Jumat (7/12/2018), data resmi versi pemerintah AS menunjukkan bahwa pada bulan November, tercipta 155.000 lapangan kerja sektor non-pertanian, di bawah konsensus yang sebesar 198.000, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sementara itu, rata-rata upah per jam di AS untuk periode yang sama hanya tumbuh sebesar 0,2% MoM, lebih rendah dibandingkan proyeksi yang sebesar 0,3% MoM.
Bukan hanya investor, The Fed nampak juga sudah mulai ragu-ragu dalam mengeksekusi rencana normalisasinya sendiri. Wall Street Journal melaporkan bahwa The Fed sedang mempertimbangkan untuk memberikan sinyal wait-and-see terkait kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini, seperti dikutip dari CNBC International. Laporan tersebut menyebut bahwa The Fed tidak tahu apa langkah mereka selanjutnya setelah pertemuan bulan ini.
Lantas, hal ini semacam memberikan konfirmasi bahwa stance dari The Fed sudah mengarah ke dovish. Sebelumnya, pernyataan yang mengindikasikan hal tersebut diketahui dari rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Fed edisi November 2018.
Dalam rapat tersebut, para peserta rapat semakin menggarisbawahi bahwa ada risiko yang menghantui perekonomian AS. "Ada pertanda perlambatan di sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga," sebut notulensi itu.
Kemudian, para peserta rapat juga menekankan pentingnya berkaca kepada data (data dependent) dalam pengambilan keputusan.
"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut. Bagi Indonesia, tentu menjadi kabar gembira jika The Fed tak menaikkan suku bunga acuan sama sekali pada tahun depan. Sepanjang tahun ini, Bank Indoensia (BI) sudah mengerek suku bunga acuan sebanyak 175 bps guna merespon normalisasi yang dilakukan The Fed.
Seiring dengan kenaikan suku bunga acuan, suku bunga deposito pun bertambah tinggi. Sebagai informasi, di Indonesia deposito tenor 1 dan 3 bulan merupakan yang paling diminati. Deposito tenor 1 bulan denominasi rupiah berkontribusi sebesar 18,39% dari komposisi DPK bank umum per September 2018. Untuk tenor 3 bulan, kontribusinya adalah sebesar 12,34%, seperti dilansir dari Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode September 2018 yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Rata-rata suku bunga deposito rupiah tenor 1 dan 3 bulan dari bank umum per akhir 2017 adalah masing-masing sebesar 5,74% dan 6,13%. Per September 2018, posisinya naik menjadi masing-masing 6,28% ( 54 bps) dan 6,29% ( 16 bps).
Tak hanya suku bunga deposito, imbal hasil obligasi (yield) terbitan pemerintah Indonesia juga merangkak naik sepanjang tahun 2018.
Bagi korporasi, otomatis biaya penerbitan obligasi menjadi tambah mahal. Mereka harus memberikan kupon yang lebih tinggi seiring dengan naiknya suku bunga deposito dan yield obligasi.
Jika suku bunga acuan terus dikerek naik oleh BI, bisa-bisa korporasi secara signifikan mengerem ekspansinya lantaran tak mau menanggung biaya utang yang terlalu tinggi. Laju perekonomian pun bisa terhambat.
Kini, satu risiko besar yang menghantui perekonomian tanah air mulai sirna.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/gus) Next Article BI Ogah Naikkan Bunga Acuan, Rupiah Happy Jadi Jawara Asia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular