
Simak, Peristiwa Sepekan yang Buat IHSG Lompat 1,16%
Yazid Muamar, CNBC Indonesia
08 December 2018 21:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Meski faktor ketidakpastian global meningkat, karena fluktuasi tak menentu, khususnya dari Amerika Serikat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mencatatkan performa yang prima.
Selama sepekan, indeks mengalami kenaikan 1,15% pada level 6.126,3 poin. Transaksi sepekan masih cukup tinggi hingga mencapai Rp 50 triliun.
Mengkilapnya kinerja IHSG selama sepekan tidak diiringi masuknya dana-dana asing. Tercatat aksi jual bersih (net sell) oleh asing senilai Rp 764 miliar.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan IHSG. Mengawali hari Pertama Senin (3/12/2018). Sentimen positif dari hasil positif dari pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 membuat IHSG menguat 1,02%.
Dalam pertemuan tersebut, kedua negara mencapai kesepakatan 90 hari gencatan senjata dalam sengketa perdagangan.
Berlanjut hari ke-2 yaitu Selasa (4/12/2018). Sentimen positif dari pertemuan Trump-Xi membawa IHSG menguat 0,56%.
Presiden AS Donald Trump dalam cuitannya di Twitter, bahwa China bersedia menghapus bea masuk untuk impor mobil dan hambatan non-tarif.
Berikutnya yaitu Hari ke-3, Rabu (5/12/2018). Bursa global dikejutkan oleh yield obligasi pemerintah AS bertenor 2 tahun dan 3 tahun yang berada di posisi lebih tinggi jika dibandingkan dengan tenor 5 tahun, hasilnya IHSG terkoreksi 0,32%.
Fenomena ini disebut juga dengan yield curve inversion, yang mengindikasikan adanya tekanan signifikan dalam perekonomian AS dalam jangka pendek, sehingga investor meminta yield lebih tinggi untuk obligasi bertenor pendek.
Hari ke-4, yaitu Kamis (6/12/2018), Pelaku pasar masih terdorong sentimen negatif dari pasar surat AS jangka pendek yang meningkat, instrumen berisiko seperti saham ditinggalkan melihat gejala awal dari resesi. IHSG sendiri hanya terkoreksi 0,28%.
Dalam 3 resesi yang di alami Amerika Serikat terakhir (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun.
Terakhir yaitu Hari ke-5, Jumat (7/12/2018). The Federal Reserve nampak galau mengeksekusi rencana kenaikan suku bunga acuannya tahun depan, hal ini menguntungkan bursa saham global, termasuk IHSG yang menutup pekan dengan kemenangan 0,17%.
Wall Street Journal melaporkan bahwa The Fed sedang mempertimbangkan untuk wait-and-see terkait kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini, seperti dikutip dari CNBC International.
Data-data ekonomi di AS menunjukan adanya tekanan terhadap perekonomian. Dari sejumlah data ekonomi AS yang dirilis kemarin, nyaris semuanya meleset dari ekspektasi pasar. Stance dari The Fed pun mengarah ke dovish atau cenderung menahan suku bunga acuannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/dru) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Selama sepekan, indeks mengalami kenaikan 1,15% pada level 6.126,3 poin. Transaksi sepekan masih cukup tinggi hingga mencapai Rp 50 triliun.
Mengkilapnya kinerja IHSG selama sepekan tidak diiringi masuknya dana-dana asing. Tercatat aksi jual bersih (net sell) oleh asing senilai Rp 764 miliar.
Dalam pertemuan tersebut, kedua negara mencapai kesepakatan 90 hari gencatan senjata dalam sengketa perdagangan.
Berlanjut hari ke-2 yaitu Selasa (4/12/2018). Sentimen positif dari pertemuan Trump-Xi membawa IHSG menguat 0,56%.
Presiden AS Donald Trump dalam cuitannya di Twitter, bahwa China bersedia menghapus bea masuk untuk impor mobil dan hambatan non-tarif.
Berikutnya yaitu Hari ke-3, Rabu (5/12/2018). Bursa global dikejutkan oleh yield obligasi pemerintah AS bertenor 2 tahun dan 3 tahun yang berada di posisi lebih tinggi jika dibandingkan dengan tenor 5 tahun, hasilnya IHSG terkoreksi 0,32%.
Fenomena ini disebut juga dengan yield curve inversion, yang mengindikasikan adanya tekanan signifikan dalam perekonomian AS dalam jangka pendek, sehingga investor meminta yield lebih tinggi untuk obligasi bertenor pendek.
Hari ke-4, yaitu Kamis (6/12/2018), Pelaku pasar masih terdorong sentimen negatif dari pasar surat AS jangka pendek yang meningkat, instrumen berisiko seperti saham ditinggalkan melihat gejala awal dari resesi. IHSG sendiri hanya terkoreksi 0,28%.
Dalam 3 resesi yang di alami Amerika Serikat terakhir (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun.
Terakhir yaitu Hari ke-5, Jumat (7/12/2018). The Federal Reserve nampak galau mengeksekusi rencana kenaikan suku bunga acuannya tahun depan, hal ini menguntungkan bursa saham global, termasuk IHSG yang menutup pekan dengan kemenangan 0,17%.
Wall Street Journal melaporkan bahwa The Fed sedang mempertimbangkan untuk wait-and-see terkait kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini, seperti dikutip dari CNBC International.
Data-data ekonomi di AS menunjukan adanya tekanan terhadap perekonomian. Dari sejumlah data ekonomi AS yang dirilis kemarin, nyaris semuanya meleset dari ekspektasi pasar. Stance dari The Fed pun mengarah ke dovish atau cenderung menahan suku bunga acuannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/dru) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Most Popular