Satu Jam Pertama, Transaksi di Pasar Saham Capai Rp 2,59 T

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 December 2018 10:29
Satu Jam Pertama, Transaksi di Pasar Saham Capai Rp 2,59 T
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan hari ini nampaknya akan sangat berat bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Hingga satu jam perdagangan berjalan, tak sekalipun IHSG menyentuh zona hijau. Dibuka terkoreksi 0,9% ke level 6.097,64, IHSG kemudian meluncur turun hingga ke titik terendahnya di level 6.064,83 (-1,43%).

Pada pukul 10:00 WIB, IHSG melemah 0,68% ke level 6.110,81.

Perdagangan berlangsung luar biasa ramai dengan nilai transaksi mencapai Rp 2,59 triliun. Volume perdagangan adalah 2,77 miliar unit saham dan frekuensi perdagangan adalah 126.344 kali.

Nilai transaksi hingga 1 jam perdagangan sudah setara 30,8% dari rata-rata nilai transaksi harian yang sebesar Rp 8,41 triliun.

5 saham dengan nilai transaksi terbesar adalah: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 221 miliar), PT Pool Advista Tbk/POOL (Rp 176,2 miliar), PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (Rp 143,8 miliar), PT Marga Abhinaya Abadi Tbk/MABA (Rp 107,2 miliar), dan PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 78,5 miliar).

Besarnya nilai transaksi, jika digabungkan dengan kinerja IHSG yang membukukan pelemahan, menunjukkan bahwa investor memang sedang gencar-gencarnya berjualan di pasar saham tanah air. Sentimen yang ada memang tak mendukung bagi investor untuk memeluk instrumen berisiko seperti saham. Sentimen negatif pertama datang dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah AS. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (4/12/2018), yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di level 2,811% dan tenor 3 tahun berada di level 2,819%, lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yang sebesar 2,799%.

Fenomena yang disebut dengan yield curve inversion ini mengindikasikan adanya tekanan yang signifikan dalam perekonomian AS dalam waktu dekat, sehingga investor meminta yield lebih tinggi untuk obligasi bertenor pendek.

"Ada kekhawatiran karena terjadi inverted yield. Sebab, ini merupakan tanda-tanda awal terjadinya resesi," tegas Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, mengutip Reuters.

Sentimen negatif yang kedua datang dari sikap Presiden AS Donald Trump yang mulai kembali galak terhadap China. Sebelumnya, kedua negara telah sepakat untuk melakukan gencatan senjata dalam sengketa perdagangan selama 90 hari.

Pernyataan tertulis Gedung Putih menyebutkan, AS batal menaikkan bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar. Sedianya, kenaikan bea masuk ini akan mulai berlaku mulai 1 Januari 2019.  Sementara itu, China sepakat untuk lebih banyak membeli produk-produk dari AS mulai dari hasil agrikultur, energi, manufaktur, dan sebagainya. 

Washington dan Beijing juga sepakat untuk bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat bea masuk bagi produk China ke AS akan naik menjadi 25%.

"Kami akan mencoba menyelesaikan (negosiaasi). Namun jika tidak, ingat bahwa saya adalah manusia bea masuk (Tariff Man)!," cuit Trump di Twitter pada hari Selasa waktu setempat (4/12/2018).

Pernyataan Trump ini menyadarkan pelaku pasar bahwa AS dan China memang belum meneken kesepakatan apapun secara formal. Masih banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum perang dagang bisa resmi diakhiri. Rupiah yang babak belur ikut menyurutkan minat investor untuk masuk ke pasar saham tanah air. Hingga berita ini diturunkan, rupiah melemah 0,67% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.380. Dolar AS memang sedang relatif kuat, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang menguat sebesar 0,12%.

Dolar AS mendapatkan suntikan energi dari pernyataan Presiden The Federal Reserve New York John Williams.

"Saat saya berkaca ke belakang dan melihat ekonomi dalam kondisi yang kuat dan memiliki banyak momentum (pertumbuhan), maka kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut pada tahun depan masih masuk akal. Waktu untuk menentukan kapan harus menyesuaikan kebijakan tentu akan kami diskusikan," jelas Williams, dikutip dari Reuters.

"Kami memperhatikan dengan seksama sisi-sisi yang mengalami perlambatan atau tanda-tanda munculnya risiko. Namun perkiraan saya adalah tetap positif," tambah Williams.

Pernyataan ini menghapus pandangan bahwa The Fed mulai dovish. Williams menegaskan bahwa stance The Fed masih cenderung hawkish, setidaknya sampai tahun depan.

Seiring dengan pelemahan rupiah yang begitu dalam, saham-saham bank BUKU IV menjadi bulan-bulanan investor: PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 2,66%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 1,89%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 1,42%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 1,31%, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 1,05%.

Sektor jasa keuangan anjlok sebesar 1,23%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular