
OPEC Terjepit Trump dan Kejatuhan Harga Minyak
Wahyu Daniel, CNBC Indonesia
04 December 2018 11:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Negara-negara produsen minyak anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries), dan non OPEC akan bertemu di Wina, untuk mendiskusikan rencana pembatasan produksi. Karena saat ini, para produsen terhantam jatuhnya harga minyak.
Namun di saat yang sama, negara produsen minyak ini berada di bawah tekanan pemerintah Amerika Serikat (AS). Presiden AS, Donald Trump, menginginkan harga komoditas tetap murah dan terjangkau. Trump seringkali menekan OPEC untuk bisa membuat harga minyak terjangkau.
Sebelumnya dalam pertemuan negara-negara G20 di Buenos Aires, Argentina, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, menyatakan akan ada batas baru produksi minyak untuk tahun depan.
Bila pembatasan produksi dilakukan, maka para menteri di Rusia dan Arab Saudi bersama partnernya, harus bersiap untuk memangkas proyek produksi minyak di negaranya.
OPEC berada dalam dilema. Bila mereka melanjutkan memompa produksi minyaknya, maka akan ada risiko harga minyak terus jatuh.
Dalam dua bulan terakhir, harga minyak dunia jatuh lebih dari 30%. Harga minyak jenis Brent sekarang berada di kisaran US$ 60/barel. Namun bila OPEC menahan produksi, maka akan timbul risiko pada ekonomi dunia, yang mengharapkan harga minyak tetap terjangkau.
Dilansir dari AFP, Selasa (4/12/2018), Arab Saudi disebut sulit melawan Trump soal minyak. Karena hubungan kedua negara ini mengalami masa yang rumit setelah munculnya kasus pembunuhan jurnalis, Jama Khashoggi.
"Harga minyak rendah bukanlah sebuah pilihan bagi Arab Saudi, karena berisiko terhadap rencana agenda reformasinya. Jadi Arab Saudi harus memberikan pengertian kepada Trump," demikian bunyi riset dari Energy Aspects.
Sementara menurut Analis UBS, Giovanni Staunovo, AS juga bisa berubah pikiran, karena mereka membutuhkan harga minyak tinggi untuk menjamin industri shale oil tetap menguntungkan.
Juni lalu, para produsen minyak mengubah metodologi target produksi. Rusia dan Arab Saudi diperbolehkan menambah produksi karena adanya pengurangan pasokan global akibat sanksi AS terhadap Iran. Namun Rusia dan Arab Saudi dianggap bergerak terlalu cepat menaikkan produksinya, dan harga jatuh.
Menjelang pertemuan negara produsen minyak ini muncul gerakan mengejutkan. Qatar berencana keluar dari keanggotaan OPEC mulai Januari 2019. Qatar bergabung dalam OPEC sejak 1961.
Qatar keluar karena mau fokus pada produksi gasnya. Negara ini selama ini memproduksi 2% dari minyak yang diproduksi OPEC. Qatar juga menuduh Arab Saudi menjadi pelayan dari AS.
(wed/gus) Next Article Harga Minyak Koreksi, tapi Masih di Level Tertinggi Setahun
Namun di saat yang sama, negara produsen minyak ini berada di bawah tekanan pemerintah Amerika Serikat (AS). Presiden AS, Donald Trump, menginginkan harga komoditas tetap murah dan terjangkau. Trump seringkali menekan OPEC untuk bisa membuat harga minyak terjangkau.
Sebelumnya dalam pertemuan negara-negara G20 di Buenos Aires, Argentina, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, menyatakan akan ada batas baru produksi minyak untuk tahun depan.
OPEC berada dalam dilema. Bila mereka melanjutkan memompa produksi minyaknya, maka akan ada risiko harga minyak terus jatuh.
Dalam dua bulan terakhir, harga minyak dunia jatuh lebih dari 30%. Harga minyak jenis Brent sekarang berada di kisaran US$ 60/barel. Namun bila OPEC menahan produksi, maka akan timbul risiko pada ekonomi dunia, yang mengharapkan harga minyak tetap terjangkau.
Dilansir dari AFP, Selasa (4/12/2018), Arab Saudi disebut sulit melawan Trump soal minyak. Karena hubungan kedua negara ini mengalami masa yang rumit setelah munculnya kasus pembunuhan jurnalis, Jama Khashoggi.
"Harga minyak rendah bukanlah sebuah pilihan bagi Arab Saudi, karena berisiko terhadap rencana agenda reformasinya. Jadi Arab Saudi harus memberikan pengertian kepada Trump," demikian bunyi riset dari Energy Aspects.
Sementara menurut Analis UBS, Giovanni Staunovo, AS juga bisa berubah pikiran, karena mereka membutuhkan harga minyak tinggi untuk menjamin industri shale oil tetap menguntungkan.
Juni lalu, para produsen minyak mengubah metodologi target produksi. Rusia dan Arab Saudi diperbolehkan menambah produksi karena adanya pengurangan pasokan global akibat sanksi AS terhadap Iran. Namun Rusia dan Arab Saudi dianggap bergerak terlalu cepat menaikkan produksinya, dan harga jatuh.
Menjelang pertemuan negara produsen minyak ini muncul gerakan mengejutkan. Qatar berencana keluar dari keanggotaan OPEC mulai Januari 2019. Qatar bergabung dalam OPEC sejak 1961.
Qatar keluar karena mau fokus pada produksi gasnya. Negara ini selama ini memproduksi 2% dari minyak yang diproduksi OPEC. Qatar juga menuduh Arab Saudi menjadi pelayan dari AS.
(wed/gus) Next Article Harga Minyak Koreksi, tapi Masih di Level Tertinggi Setahun
Most Popular