
Kemarin Perkasa, Sekarang Rupiah Terlemah Kedua di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 December 2018 08:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Dolar AS memang tengah bangkit di Asia, rupiah menjadi salah satu korbannya.
Pada Selasa (4/12/2018), US$ 1 dibanderol Rp 14.300 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,46% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, pelemahan rupiah semakin dalam. Pada pukul 08:11 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.310 di mana rupiah melemah 0,53%.
Kemarin, rupiah ditutup menguat 0,45% di hadapan dolar AS. Rupiah bergerak senada dengan mata uang Asia yang juga terapresiasi terhadap greenback.
Namun pagi ini dolar AS mulai melawan balik. Tidak hanya rupiah, mata uang utama Asia pun ditaklukkan seperti dolar Hong Kong, rupee India, won Korea Selatan, ringgit Malaysia, peso Filipina, dolar Singapura, hingga dolar Taiwan.
Depresiasi 0,53% membawa rupiah jadi mata uang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik dibandingkan rupee. Namun perlu dicatat bahwa pasar keuangan India belum dibuka sehingga rupee masih mencerminkan posisi kemarin. Oleh karena itu, bisa dibilang bahwa rupiah adalah mata uang terlemah di Asia di antara yang sudah diperdagangkan.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:14 WIB:
Perkembangan di pasar obligasi AS memantik kekhawatiran pelaku pasar. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintahan Presiden Donald Trump untuk tenor 2 tahun pada pukul 08:19 WIB berada di 2,8109% dan tenor 3 tahun adalah 2,8163%. Lebih tinggi ketimbang tenor 5 tahun yang sebesar 2,8074%. Kejadian ini merupakan kali pertama dalam 10 tahu terakhir.
Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield sering kali menjadi indikator bahwa dalam waktu dekat akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta ‘jaminan’ lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang.
Risiko tersebut dicerna oleh pasar sebagai sentimen negatif yang signifikan. Arus modal pun kembali berdatangkan ke instrumen aman (safe haven) yaitu dolar AS. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, memegang dolar AS memang keputusan terbaik.
Selain itu, perkembangan harga minyak juga masih kurang kondusif bagi mata uang Asia, termasuk rupiah. Pada pukul 08:25 WIB, harga minyak jenis brent masih naik 0,76% sementara light sweet bertambah 0,6%.
Bagi negara-negara Asia, konsumen energi terbesar di dunia, kenaikan harga minyak akan membuat beban impor bertambah. Ini akan semakin membebani transaksi berjalan (current account), fondasi penting yang menentukan nasib mata uang.
Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih berjangka panjang ketimbang sumber lainnya yaitu portofolio di pasar keuangan atau hot money. Oleh karena itu, negara dengan transaksi berjalan surplus biasanya memiliki mata uang yang relatif lebih stabil karena berdiri di atas fondasi kokoh.
Kala harga minyak naik, maka transaksi berjalan akan terancam. Ini sama saja mengancam stabilitas nilai tukar, sehingga kenaikan harga minyak menjadi faktor pemberat bagi laju mata uang, termasuk rupiah.
Dua hal ini setidaknya menjadi penyebab kebangkitan dolar AS. Aura damai dagang AS-China yang begitu terasa sejak akhir pekan lalu saat ini hampir pudar tanpa bekas. Investor pun kembali memasang mode bermain aman sehingga rupiah dan mata uang Asia lainnya mengalami tekanan jual.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Selasa (4/12/2018), US$ 1 dibanderol Rp 14.300 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,46% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, pelemahan rupiah semakin dalam. Pada pukul 08:11 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.310 di mana rupiah melemah 0,53%.
Kemarin, rupiah ditutup menguat 0,45% di hadapan dolar AS. Rupiah bergerak senada dengan mata uang Asia yang juga terapresiasi terhadap greenback.
Namun pagi ini dolar AS mulai melawan balik. Tidak hanya rupiah, mata uang utama Asia pun ditaklukkan seperti dolar Hong Kong, rupee India, won Korea Selatan, ringgit Malaysia, peso Filipina, dolar Singapura, hingga dolar Taiwan.
Depresiasi 0,53% membawa rupiah jadi mata uang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik dibandingkan rupee. Namun perlu dicatat bahwa pasar keuangan India belum dibuka sehingga rupee masih mencerminkan posisi kemarin. Oleh karena itu, bisa dibilang bahwa rupiah adalah mata uang terlemah di Asia di antara yang sudah diperdagangkan.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:14 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sebenarnya dolar AS masih melemah secara global. Pada pukul 08:16 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,09%. Meski masih merah, tetapi koreksi Dollar Index kian menipis.Perkembangan di pasar obligasi AS memantik kekhawatiran pelaku pasar. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintahan Presiden Donald Trump untuk tenor 2 tahun pada pukul 08:19 WIB berada di 2,8109% dan tenor 3 tahun adalah 2,8163%. Lebih tinggi ketimbang tenor 5 tahun yang sebesar 2,8074%. Kejadian ini merupakan kali pertama dalam 10 tahu terakhir.
Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield sering kali menjadi indikator bahwa dalam waktu dekat akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta ‘jaminan’ lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang.
Risiko tersebut dicerna oleh pasar sebagai sentimen negatif yang signifikan. Arus modal pun kembali berdatangkan ke instrumen aman (safe haven) yaitu dolar AS. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, memegang dolar AS memang keputusan terbaik.
Selain itu, perkembangan harga minyak juga masih kurang kondusif bagi mata uang Asia, termasuk rupiah. Pada pukul 08:25 WIB, harga minyak jenis brent masih naik 0,76% sementara light sweet bertambah 0,6%.
Bagi negara-negara Asia, konsumen energi terbesar di dunia, kenaikan harga minyak akan membuat beban impor bertambah. Ini akan semakin membebani transaksi berjalan (current account), fondasi penting yang menentukan nasib mata uang.
Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih berjangka panjang ketimbang sumber lainnya yaitu portofolio di pasar keuangan atau hot money. Oleh karena itu, negara dengan transaksi berjalan surplus biasanya memiliki mata uang yang relatif lebih stabil karena berdiri di atas fondasi kokoh.
Kala harga minyak naik, maka transaksi berjalan akan terancam. Ini sama saja mengancam stabilitas nilai tukar, sehingga kenaikan harga minyak menjadi faktor pemberat bagi laju mata uang, termasuk rupiah.
Dua hal ini setidaknya menjadi penyebab kebangkitan dolar AS. Aura damai dagang AS-China yang begitu terasa sejak akhir pekan lalu saat ini hampir pudar tanpa bekas. Investor pun kembali memasang mode bermain aman sehingga rupiah dan mata uang Asia lainnya mengalami tekanan jual.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular