
Melesat 1,03%, IHSG Sentuh Titik Tertinggi Sejak Bulan April
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 December 2018 16:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 1,02%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri sesi 2 dengan sedikit memperlebar penguatannya menjadi 1,03% ke level 6.118,32. Lantas, IHSG berada di level penutupan tertinggi sejak bulan April silam.
Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 1%, indeks Shanghai meroket 2,57%, indeks Hang Seng melesat 2,55%, indeks Strait Times menguat 2,31%, dan indeks Kospi naik 1,67%.
Perdagangan berlangsung luar biasa ramai dengan nilai transaksi mencapai Rp 12,5 triliun. Volume perdagangan adalah 13,03 miliar unit saham dan frekuensi perdagangan adalah 499.742 kali.
Appetite investor untuk berburu instrumen berisiko seperti saham memang sedang tinggi-tingginya, seiring dengan hasil positif dari pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 pada akhir pekan lalu.
Dalam pertemuan ini, kedua negara mencapai kesepakatan 90 hari gencatan senjata dalam sengketa perdagangan.
Pernyataan tertulis Gedung Putih menyebutkan, AS batal menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Sedianya kenaikan tarif ini berlaku mulai 1 Januari 2019. Sementara itu, China sepakat untuk lebih banyak membeli produk Negeri Adidaya mulai dari hasil agrikultur, energi, manufaktur, dan sebagainya.
Washington dan Beijing juga sepakat untuk bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.
"Ini adalah kesepakatan yang luar biasa. Apa yang saya lakukan adalah menunda (kenaikan) bea masuk dan China akan membuka diri. China akan membeli banyak produk pertanian dan lainnya. Ini akan memberikan dampak positif yang luar biasa," papar Trump kepada jurnalis di pesawat kepresidenan Air Force One, seperti dikutip dari Reuters.
Tidak hanya AS, China pun ikut 'mengklaim' kesepakatan ini sebagai sebuah kemenangan bagi pihaknya. Wang Yi, Penasihat Negara China, mengatakan perjanjian ini menghindarkan perekonomian global dari dampak friksi kedua negara.
"Kepentingan AS dan China lebih besar ketimbang benturannya. Kerja sama tentu lebih dibutuhkan daripada terus berbenturan," ujar Wang, mengutip Reuters.
Di pasar valuta asing, rupiah bisa memanfaatkan momentum damai dagang AS-China. Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, rupiah membukukan penguatan sebesar 0,35% ke level Rp 14.250/dolar AS. Pada akhir perdagangan, penguatannya bertambah lebar menjadi 0,45% ke level Rp 14.235/dolar AS.
Sejauh ini, perekonomian AS dan China terlihat sudah terpukul oleh perang dagang yang selama ini berkecamuk antar keduanya. Pada hari Kamis (29/11/2018), klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 24 November 2018 diumumkan sebanyak 234.000 jiwa, lebih tinggi dari konsensus yang sebesar 221.000 jiwa. Capaian pekan lalu juga menjadi yang tertinggi sejak pertengahan Mei 2018.
Kemudian pada hari Jumat (30/11/2018), Manufacturing PMI periode November 2018 versi resmi pemerintah China diumumkan sebesar 50, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 50,2.
Dengan adanya kesepakatan, diharapkan laju perekonomian kedua negara bisa tetap dipertahankan di level yang relatif tinggi. Ketika ini yang terjadi, maka perekonomian negara-negara lainnya akan ikut merasakan dampak positifnya.
Investor pun menjadi optimistis untuk memburu mata uang di kawasan Asia. Penguatan rupiah membuat investor pasar saham tanah air kian percaya diri untuk melakukan aksi beli.
Aksi beli investor banyak terjadi pada saham-saham bank BUKU IV: PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) naik 5,03%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) naik 4,05%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) naik 3,87%, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) naik 2,94%.
Seiring dengan aksi beli atas saham-saham bank BUKU IV, indeks sektor jasa keuangan melejit 0,91%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar bagi penguatan IHSG.
Selain karena penguatan rupiah, saham-saham bank-bank BUKU IV terus diburu investor seiring dengan prospeknya yang cukup menarik. Melansir Reuters, penyaluran kredit bank komersial tumbuh sebesar 13,35% YoY pada Oktober 2018, naik dari capaian periode September 2018 yang sebesar 12,69% YoY. Capaian ini merupakan yang terkencang sejak Agustus 2014 silam atau lebih dari 4 tahun.
Pada bulan November dan Desember, penyaluran kredit masih bisa dipacu untuk tumbuh lebih kencang lagi. Pasalnya, ekonomi Indonesia memang biasanya ‘panas’ pada kuartal terakhir, seiring dengan digenjotnya penyerapan anggaran belanja negara dan musim liburan.
Apalagi, Bank Indonesia (BI) sudah memberikan relaksasi terkait aturan Giro Wajib Minimum (GWM) averaging. Sebelumnya, besaran GWM averaging ditetapkan sebesar 2%. Kini, besarannya dilonggarkan menjadi 3%.
Dari dalam negeri, rilis data inflasi ikut memotori aksi beli di pasar saham. Sekitar satu jam menjelang akhir sesi 1, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi bulan November sebesar 0,27% MoM atau 3,23% YoY. Capaian ini mengalahkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yakni 0,19% MoM atau 3,15% YoY.
Angka inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi dimaknai sebagai sinyal menggeliatnya konsumsi masyarakat Indonesia.
Pada rilis angka inflasi periode Oktober 2018 tanggal 1 November 2018, IHSG ditutup hanya menguat tipis 0,07%, setelah dibuka menguat 0,4%. Kala itu, tingginya angka inflasi menjadi momok bagi IHSG.
Pada bulan Oktober, BPS mencatat inflasi sebesar 0,28% MoM, lebih tinggi dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 0,17% MoM.
Inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi memberi sinyal bahwa depresiasi rupiah sudah mulai memberikan dampak negatif ke kantong masyarakat Indonesia. Jika masyarakat mengurangi konsumsinya, maka pertumbuhan ekonomi tentu akan tertekan, mengingat konsumsi masyarakat membentuk lebih dari 50% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Pada bulan Oktober, rupiah melemah sebesar 2,01% melawan dolar AS di pasar spot.
Namun pada bulan November, rupiah menguat 5,92% melawan dolar AS. Terlepas dari penguatan rupiah, angka inflasi tetap saja tinggi. Inilah yang melandasi persepsi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sudah mulai menggeliat.
Merespons hal tersebut, indeks sektor barang konsumsi terkerek hingga 0,96%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar kedua bagi penguatan IHSG.
Saham-saham barang konsumsi yang diburu investor diantaranya: PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR ( 3,67%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF ( 1,97%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP ( 0,82%), PT Mayora Indah Tbk/MYOR ( 0,78%), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF ( 0,76%).
Penguatan IHSG pada hari ini dimotori oleh investor domestik. Pasalnya, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 776,7 miliar. 5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 176,7 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 148,9 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 136,1 miliar), PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 112,9 miliar), dan PT Bukit Asam Tbk/PTBA (Rp 65,5 miliar).
Terlepas dari pesatnya laju IHSG, investor asing nampak tidak tertarik untuk menyentuh saham-saham di tanah air pada hari ini. Investor asing lebih memilih untuk merealisasikan keuntungan yang sudah mereka dapatkan.
Pada periode 29 Oktober-30 November, IHSG melesat hingga 4,69% dan dalam periode tersebut, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 11,25 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy) Next Article Dibuka Naik Tipis, IHSG Langsung Putar Balik ke Zona Merah
Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 1%, indeks Shanghai meroket 2,57%, indeks Hang Seng melesat 2,55%, indeks Strait Times menguat 2,31%, dan indeks Kospi naik 1,67%.
Perdagangan berlangsung luar biasa ramai dengan nilai transaksi mencapai Rp 12,5 triliun. Volume perdagangan adalah 13,03 miliar unit saham dan frekuensi perdagangan adalah 499.742 kali.
Dalam pertemuan ini, kedua negara mencapai kesepakatan 90 hari gencatan senjata dalam sengketa perdagangan.
Pernyataan tertulis Gedung Putih menyebutkan, AS batal menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Sedianya kenaikan tarif ini berlaku mulai 1 Januari 2019. Sementara itu, China sepakat untuk lebih banyak membeli produk Negeri Adidaya mulai dari hasil agrikultur, energi, manufaktur, dan sebagainya.
Washington dan Beijing juga sepakat untuk bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.
"Ini adalah kesepakatan yang luar biasa. Apa yang saya lakukan adalah menunda (kenaikan) bea masuk dan China akan membuka diri. China akan membeli banyak produk pertanian dan lainnya. Ini akan memberikan dampak positif yang luar biasa," papar Trump kepada jurnalis di pesawat kepresidenan Air Force One, seperti dikutip dari Reuters.
Tidak hanya AS, China pun ikut 'mengklaim' kesepakatan ini sebagai sebuah kemenangan bagi pihaknya. Wang Yi, Penasihat Negara China, mengatakan perjanjian ini menghindarkan perekonomian global dari dampak friksi kedua negara.
"Kepentingan AS dan China lebih besar ketimbang benturannya. Kerja sama tentu lebih dibutuhkan daripada terus berbenturan," ujar Wang, mengutip Reuters.
Di pasar valuta asing, rupiah bisa memanfaatkan momentum damai dagang AS-China. Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, rupiah membukukan penguatan sebesar 0,35% ke level Rp 14.250/dolar AS. Pada akhir perdagangan, penguatannya bertambah lebar menjadi 0,45% ke level Rp 14.235/dolar AS.
Sejauh ini, perekonomian AS dan China terlihat sudah terpukul oleh perang dagang yang selama ini berkecamuk antar keduanya. Pada hari Kamis (29/11/2018), klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 24 November 2018 diumumkan sebanyak 234.000 jiwa, lebih tinggi dari konsensus yang sebesar 221.000 jiwa. Capaian pekan lalu juga menjadi yang tertinggi sejak pertengahan Mei 2018.
Kemudian pada hari Jumat (30/11/2018), Manufacturing PMI periode November 2018 versi resmi pemerintah China diumumkan sebesar 50, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 50,2.
Dengan adanya kesepakatan, diharapkan laju perekonomian kedua negara bisa tetap dipertahankan di level yang relatif tinggi. Ketika ini yang terjadi, maka perekonomian negara-negara lainnya akan ikut merasakan dampak positifnya.
Investor pun menjadi optimistis untuk memburu mata uang di kawasan Asia. Penguatan rupiah membuat investor pasar saham tanah air kian percaya diri untuk melakukan aksi beli.
Aksi beli investor banyak terjadi pada saham-saham bank BUKU IV: PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) naik 5,03%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) naik 4,05%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) naik 3,87%, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) naik 2,94%.
Seiring dengan aksi beli atas saham-saham bank BUKU IV, indeks sektor jasa keuangan melejit 0,91%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar bagi penguatan IHSG.
Selain karena penguatan rupiah, saham-saham bank-bank BUKU IV terus diburu investor seiring dengan prospeknya yang cukup menarik. Melansir Reuters, penyaluran kredit bank komersial tumbuh sebesar 13,35% YoY pada Oktober 2018, naik dari capaian periode September 2018 yang sebesar 12,69% YoY. Capaian ini merupakan yang terkencang sejak Agustus 2014 silam atau lebih dari 4 tahun.
Pada bulan November dan Desember, penyaluran kredit masih bisa dipacu untuk tumbuh lebih kencang lagi. Pasalnya, ekonomi Indonesia memang biasanya ‘panas’ pada kuartal terakhir, seiring dengan digenjotnya penyerapan anggaran belanja negara dan musim liburan.
Apalagi, Bank Indonesia (BI) sudah memberikan relaksasi terkait aturan Giro Wajib Minimum (GWM) averaging. Sebelumnya, besaran GWM averaging ditetapkan sebesar 2%. Kini, besarannya dilonggarkan menjadi 3%.
Dari dalam negeri, rilis data inflasi ikut memotori aksi beli di pasar saham. Sekitar satu jam menjelang akhir sesi 1, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi bulan November sebesar 0,27% MoM atau 3,23% YoY. Capaian ini mengalahkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yakni 0,19% MoM atau 3,15% YoY.
Angka inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi dimaknai sebagai sinyal menggeliatnya konsumsi masyarakat Indonesia.
Pada rilis angka inflasi periode Oktober 2018 tanggal 1 November 2018, IHSG ditutup hanya menguat tipis 0,07%, setelah dibuka menguat 0,4%. Kala itu, tingginya angka inflasi menjadi momok bagi IHSG.
Pada bulan Oktober, BPS mencatat inflasi sebesar 0,28% MoM, lebih tinggi dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 0,17% MoM.
Inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi memberi sinyal bahwa depresiasi rupiah sudah mulai memberikan dampak negatif ke kantong masyarakat Indonesia. Jika masyarakat mengurangi konsumsinya, maka pertumbuhan ekonomi tentu akan tertekan, mengingat konsumsi masyarakat membentuk lebih dari 50% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Pada bulan Oktober, rupiah melemah sebesar 2,01% melawan dolar AS di pasar spot.
Namun pada bulan November, rupiah menguat 5,92% melawan dolar AS. Terlepas dari penguatan rupiah, angka inflasi tetap saja tinggi. Inilah yang melandasi persepsi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sudah mulai menggeliat.
Merespons hal tersebut, indeks sektor barang konsumsi terkerek hingga 0,96%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar kedua bagi penguatan IHSG.
Saham-saham barang konsumsi yang diburu investor diantaranya: PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR ( 3,67%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF ( 1,97%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP ( 0,82%), PT Mayora Indah Tbk/MYOR ( 0,78%), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF ( 0,76%).
Penguatan IHSG pada hari ini dimotori oleh investor domestik. Pasalnya, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 776,7 miliar. 5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 176,7 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 148,9 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 136,1 miliar), PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 112,9 miliar), dan PT Bukit Asam Tbk/PTBA (Rp 65,5 miliar).
Terlepas dari pesatnya laju IHSG, investor asing nampak tidak tertarik untuk menyentuh saham-saham di tanah air pada hari ini. Investor asing lebih memilih untuk merealisasikan keuntungan yang sudah mereka dapatkan.
Pada periode 29 Oktober-30 November, IHSG melesat hingga 4,69% dan dalam periode tersebut, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 11,25 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy) Next Article Dibuka Naik Tipis, IHSG Langsung Putar Balik ke Zona Merah
Most Popular