
'Langit' Sedang Cerah, Rupiah Siap 'Terbang'
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 December 2018 10:32

Tekanan yang dialami dolar AS semakin menjadi. Pada pukul 10:13 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,32%.
Pelemahan dolar AS disebabkan oleh tingginya risk appetite pelaku pasar. Investor berbunga-bunga karena AS-China sepakat untuk mengakhiri perang dagang, setidaknya selama 90 hari ke depan.
Pernyataan tertulis Gedung Putih menyebutkan, AS batal menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Sedianya kenaikan tarif ini berlaku mulai 1 Januari 2019. Sementara China sepakat untuk lebih banyak membeli produk Negeri Adidaya mulai dari hasil agrikultur, energi, manufaktur, dan sebagainya.
Washington dan Beijing juga sepakat untuk bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat tarif bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.
Berita ini tentu sangat positif karena setidaknya selama 1,5 bulan ke depan yang namanya perang dagang AS vs China tidak lagi menjadi sentimen yang membuat pelaku pasar sport jantung. Damai dagang untuk sementara sudah tercipta, dan diharapkan tentu tidak hanya 90 hari tetapi selamanya.
Tanpa sentimen negatif bernama perang dagang, investor diharapkan lebih berani mengambil risiko dengan masuk ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Jika ini terjadi, maka rupiah niscaya akan melanjutkan penguatan.
Data ekonomi China juga mempertebal keyakinan investor. Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada November 2018 terctata 50,2. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,1 dan lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang sebesar 50.
Indeks pemesanan baru (new orders) naik dari 50,4 pada Oktober menjadi 50,9 bulan lalu. Ada harapan permintaan domestik di Negeri Tirai Bambu masih tumbuh, sehingga walau ekonomi mungkin melambat tetapi tidak ada hard landing.
Belum lagi dari dalam negeri pelaku pasar memperkirakan laju inflasi November 2018 relatif 'jinak'. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-to-month/MtM) di 0,19%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year) di 3,15% dan inflasi inti YoY 2,97%.
Pada Oktober, BPS mencatat inflasi bulanan sebesar 0,28%. Kemudian inflasi tahunan adalah 3,16% dan inflasi inti tahunan 2,94%. Artinya inflasi November diperkirakan akan melambat dibandingkan Oktober.
Bila data inflasi sesuai dengan ekspektasi pasar, maka tentu lagi-lagi akan menjadi sentimen positif bagi rupiah. Ditambah dengan damai dagang AS-China, bisa jadi laju pasar keuangan Indonesia sulit terbendung.
Cuaca global, regional, dan domestik memang sedang mendukung penguatan rupiah. 'Langit' sedang cerah, dan rupiah sepertinya bisa melanjutkan 'penerbangan'.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pelemahan dolar AS disebabkan oleh tingginya risk appetite pelaku pasar. Investor berbunga-bunga karena AS-China sepakat untuk mengakhiri perang dagang, setidaknya selama 90 hari ke depan.
Pernyataan tertulis Gedung Putih menyebutkan, AS batal menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Sedianya kenaikan tarif ini berlaku mulai 1 Januari 2019. Sementara China sepakat untuk lebih banyak membeli produk Negeri Adidaya mulai dari hasil agrikultur, energi, manufaktur, dan sebagainya.
Berita ini tentu sangat positif karena setidaknya selama 1,5 bulan ke depan yang namanya perang dagang AS vs China tidak lagi menjadi sentimen yang membuat pelaku pasar sport jantung. Damai dagang untuk sementara sudah tercipta, dan diharapkan tentu tidak hanya 90 hari tetapi selamanya.
Tanpa sentimen negatif bernama perang dagang, investor diharapkan lebih berani mengambil risiko dengan masuk ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Jika ini terjadi, maka rupiah niscaya akan melanjutkan penguatan.
Data ekonomi China juga mempertebal keyakinan investor. Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada November 2018 terctata 50,2. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,1 dan lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang sebesar 50.
Indeks pemesanan baru (new orders) naik dari 50,4 pada Oktober menjadi 50,9 bulan lalu. Ada harapan permintaan domestik di Negeri Tirai Bambu masih tumbuh, sehingga walau ekonomi mungkin melambat tetapi tidak ada hard landing.
Belum lagi dari dalam negeri pelaku pasar memperkirakan laju inflasi November 2018 relatif 'jinak'. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-to-month/MtM) di 0,19%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year) di 3,15% dan inflasi inti YoY 2,97%.
Pada Oktober, BPS mencatat inflasi bulanan sebesar 0,28%. Kemudian inflasi tahunan adalah 3,16% dan inflasi inti tahunan 2,94%. Artinya inflasi November diperkirakan akan melambat dibandingkan Oktober.
Bila data inflasi sesuai dengan ekspektasi pasar, maka tentu lagi-lagi akan menjadi sentimen positif bagi rupiah. Ditambah dengan damai dagang AS-China, bisa jadi laju pasar keuangan Indonesia sulit terbendung.
Cuaca global, regional, dan domestik memang sedang mendukung penguatan rupiah. 'Langit' sedang cerah, dan rupiah sepertinya bisa melanjutkan 'penerbangan'.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular