
Perang Dagang Begitu Panas, IHSG Akhirnya Bertekuk Lutut
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 November 2018 16:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan di bursa saham tanah air hari ini bak roller coaster. Memulai hari dengan melemah sebesar 0,34% ke level 6.002,39, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) beberapa kali mondar-mandir di zona hijau dan merah, sebelum akhirnya ditutup menguat tipis 0,03% pada akhir sesi 1 ke level 6.024,49.
Memasuki sesi 2, ceritanya masih sama. IHSG kelihatan bingung menentukan arah pergerakannya. Barulah menjelang pukul 15:00 WIB IHSG nyaman berada di zona merah dan akhirnya ditutup melemah 0,15% ke level 6.013,59.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 9,3 triliun dengan volume sebanyak 10,9 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 446.890 kali.
Nasib IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Shanghai turun 0,04%, indeks Hang Seng turun 0,17%, dan indeks Strait Times turun 0,17%.
Panasnya perang dagang AS-China sukses membuat bursa saham Benua Kuning bertekuk lutut. Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengatakan dirinya kemungkinan akan mengeksekusi rencana untuk menaikkan bea masuk bagi importasi produk asal China senilai US$ 200 miliar.
Sebelumnya, barang-barang senilai US$ 200 miliar ini telah dibebankan bea masuk senilai 10% yang berlaku mulai bulan September. Pemerintahan Trump memang sudah mengatakan bahwa bea masuk akan naik menjadi 25% pada 1 Januari 2019.
Trump juga menyatakan, dirinya sudah bersiap-siap untuk mengenakan bea masuk baru bagi US$ 267 miliar produk China lainnya jika pertemuan dengan Presiden China Xi Jingping di sela-sela KTT G-20 pada akhir bulan ini tak membuahkan kesepakatan, seperti dikutip dari Bloomberg yang melansir publikasi Wall Street Journal. Menurut Trump, besaran bea masuknya bisa 10% atau 25%.
Celakanya, di saat yang bersamaan pelaku pasar dibuat kian yakin bahwa The Federal Reserve akan mengerek suku bunga acuan pada penghujung tahun.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 26 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps pada bulan Desember adalah sebesar 79,2%, lebih tinggi dari posisi 23 November yang sebesar 75,8%.
Mencuatnya persepsi tersebut datang seiring dengan kuatnya proyeksi penjualan pada momen Black Friday dan Cyber Monday. Menurut US National Retail Federation, Black Friday tahun ini diperkirakan menghasilkan transaksi lebih dari US$ 6 miliar, naik 23% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara untuk total musim belanja November-Desember tahun ini diperkirakan mampu meraup transaksi US$ 720,89 miliar.
Kemudian menurut lembaga riset Planalytics, akan ada 75 juta pelanggan yang akan berbelanja dalam Cyber Monday. Nilai transaksi diperkirakan mencapai US$ 7,8 miliar.
Mengingat konsumsi menyumbang lebih dari setengah perekonomian AS, pertumbuhan ekonomi di Negeri Paman Sam nampaknya masih akan cukup baik pada kuartal-IV 2018, sehingga The Fed perlu mengerek suku bunga acuannya.
Di satu sisi, kenaikan suku bunga acuan memang mengonfirmasi pesatnya laju perekonomian AS. Namun di sisi lain, hal ini bisa secara signifikan memukul perekonomian AS jika dibarengi perang dagang yang tak kunjung usai.
Ketika perekonomian AS dipukul mundur, perekonomian dunia akan merasakan dampaknya. Sektor pertambangan (-1,59%) menjadi salah satu sektor yang membebani laju IHSG. Sektor pertambangan jeblok seiring dengan aksi jual atas saham-saham emiten batu bara: PT Harum Energy Tbk (HRUM) turun 4,44%, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) turun 3,92%, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) turun 2,96%, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) turun 1,78%, dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) turun 0,87%.
Saham-saham emiten batu bara dilepas seiring dengan penurunan harga batu bara. Harga batu bara Newcastle kontrak acuan menutup perdagangan hari Senin (26/11/2018) dengan melemah 0,34% ke level US$ 101,4/metrik ton (MT). Harga batu bara lantas sudah terkoreksi selama 3 hari berturut-turut, sekaligus terperosok ke level terendahnya nyaris dalam 7 bulan terakhir, atau sejak awal Mei 2018.
Sejumlah sentimen negatif memang masih menjadi pemberat harga komoditas ini. Meski sudah memasuki musim dingin, tingkat konsumsi batu bara masih cukup lemah di China. Mengutip China Coal Transport & Distribution, konsumsi batu bara di China bagian tengah dan selatan masih cukup lambat.
Hal ini dipertegas dengan stok batu bara yang memang masih berada di level yang tinggi. Menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China meningkat dalam 7 pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 0,51% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,51 juta ton, dalam sepekan hingga tanggal 23 November 2018.
Lemahnya konsumsi di Negeri Tirai Bambu tidak lepas dari musim dingin yang memang lebih hangat dari biasanya. Sebelumnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang saat ini melanda dataran China akan lebih hangat dari biasanya. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino.
Kemudian, pemerintah China memutuskan untuk membatasi impor batu bara di sepanjang tahun 2018. Mengutip laporan dari Shanghai Securities News, seperti dilansir dari Reuters, impor batu bara di tahun ini ditetapkan tidak boleh melebihi volume impor pada tahun 2017.
Kebijakan ini dilakukan pemerintah China dalam rangka menjaga harga batu bara domestik tetap tinggi hingga akhir tahun ini. Selain itu, kondisi stok yang berlebih di China juga menjadi alasan pemerintah untuk membatasi impor batu bara.
Dengan pembatasan itu, volume impor batu bara China di November-Desember 2018 diramal turun sebesar 25-35 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya, mengutip Reuters.
Sebagai catatan, China adalah konsumen utama batu bara dunia dengan volume mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Pasca menjadi pahlawan pada perdagangan kemarin dengan membukukan beli bersih sebesar Rp 199,2 miliar dan membawa IHSG finis di zona hijau ( 0,28%), investor asing tak bisa lagi berbicara banyak pada hari ini.
Hingga akhir perdagangan, investor asing sejatinya membukukan beli bersih sebesar Rp 155,8 miliar. Namun, jumlah sebesar itu tak cukup untuk membawa IHSG menguat.
Saham-saham bank BUKU IV ternyata masih menjadi primadona bagi investor asing. Kemarin, aksi beli investor asing juga terkonsentrasi pada saham bank-bank BUKU IV: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dibeli bersih senilai Rp 119,9 miliar, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Rp 109,2 miliar, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 33,4 miliar.
Hari ini, BBRI dikoleksi senilai Rp 341,2 miliar, BBNI Rp 130,3 miliar, BBCA Rp 93 miliar, dan BMRI Rp 42,3 miliar.
Harga saham BBRI ditutup menguat 1,69%, BBNI menguat 2,67%, BBCA menguat 1,09%, dan BMRI menguat 1,02%.
Seiring dengan penguatan saham-saham bank BUKU IV, indeks sektor jasa keuangan membukukan apresiasi sebesar 1,05%, menjadikannya sektor dengan kontribusi positif terbesar bagi IHSG.
Investor asing mengapresiasi komentar dari bank sentral dengan melakukan aksi beli atas saham-saham bank BUKU IV. Berbicara dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa stance kebijakan moneter ahead the curve dan preemtif yang selama ini ditempuh akan dipertahankan pada tahun depan.
"Stance kebijakan moneter ahead the curve dan preemtif akan kami pertahankan pada 2019. Kebijakan suku bunga akan diarahkan kepada inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang stabil," kata Perry.
Namun begitu, bukan berarti bank sentral menjadi tak memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan makroprudensial akan diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tanah air.
"Pada 2019, kebijakan makroprudensial yang akomodatif akan terus kami lanjutkan. Kami juga akan mengeluarkan kebijakan untuk mendorong pengembangan UMKM dan sektor prioritas termasuk ekspor dan pariwisata," papar Perry.
Belum lama ini, BI sudah memberikan relaksasi terkait aturan Giro Wajib Minimum (GWM) averaging. Sebelumnya, besaran GWM averaging ditetapkan sebesar 2%. Kini, besarannya dilonggarkan menjadi 3%.
GWM averaging merupakan bagian dari GWM primer yang sebesar 6,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Perlu diketahui bahwa GWM averaging tak perlu dipenuhi secara harian sehingga memberikan ruang bagi bank untuk menyesuaikan dengan kondisi likuiditasnya.
"Itu demikian dari 6,5% (GWM primer), semula 2% (GWM averaging) tidak perlu dipenuhi hari per hari, sekarang jadi 3%. Dengan demikian, ini meningkatkan fleksibilitas dari manajemen likuiditas," papar Perry, Kamis (15/11/2018).
Dengan likuiditas yang kini kian longgar, perbankan menjadi memiliki ruang yang lebih besar untuk menyalurkan kredit. Apalagi, permintaan kredit di Indonesia sedang tinggi-tingginya.
Melansir Reuters, penyaluran kredit bank komersial tumbuh sebesar 12,69% YoY pada September 2018, naik dari capaian periode Agustus 2018 yang sebesar 12,12% YoY.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Awas Babak Baru Perang Dagang AS-China Gegara Tomat & Kapas
Memasuki sesi 2, ceritanya masih sama. IHSG kelihatan bingung menentukan arah pergerakannya. Barulah menjelang pukul 15:00 WIB IHSG nyaman berada di zona merah dan akhirnya ditutup melemah 0,15% ke level 6.013,59.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 9,3 triliun dengan volume sebanyak 10,9 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 446.890 kali.
Panasnya perang dagang AS-China sukses membuat bursa saham Benua Kuning bertekuk lutut. Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengatakan dirinya kemungkinan akan mengeksekusi rencana untuk menaikkan bea masuk bagi importasi produk asal China senilai US$ 200 miliar.
Sebelumnya, barang-barang senilai US$ 200 miliar ini telah dibebankan bea masuk senilai 10% yang berlaku mulai bulan September. Pemerintahan Trump memang sudah mengatakan bahwa bea masuk akan naik menjadi 25% pada 1 Januari 2019.
Trump juga menyatakan, dirinya sudah bersiap-siap untuk mengenakan bea masuk baru bagi US$ 267 miliar produk China lainnya jika pertemuan dengan Presiden China Xi Jingping di sela-sela KTT G-20 pada akhir bulan ini tak membuahkan kesepakatan, seperti dikutip dari Bloomberg yang melansir publikasi Wall Street Journal. Menurut Trump, besaran bea masuknya bisa 10% atau 25%.
Celakanya, di saat yang bersamaan pelaku pasar dibuat kian yakin bahwa The Federal Reserve akan mengerek suku bunga acuan pada penghujung tahun.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 26 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps pada bulan Desember adalah sebesar 79,2%, lebih tinggi dari posisi 23 November yang sebesar 75,8%.
Mencuatnya persepsi tersebut datang seiring dengan kuatnya proyeksi penjualan pada momen Black Friday dan Cyber Monday. Menurut US National Retail Federation, Black Friday tahun ini diperkirakan menghasilkan transaksi lebih dari US$ 6 miliar, naik 23% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara untuk total musim belanja November-Desember tahun ini diperkirakan mampu meraup transaksi US$ 720,89 miliar.
Kemudian menurut lembaga riset Planalytics, akan ada 75 juta pelanggan yang akan berbelanja dalam Cyber Monday. Nilai transaksi diperkirakan mencapai US$ 7,8 miliar.
Mengingat konsumsi menyumbang lebih dari setengah perekonomian AS, pertumbuhan ekonomi di Negeri Paman Sam nampaknya masih akan cukup baik pada kuartal-IV 2018, sehingga The Fed perlu mengerek suku bunga acuannya.
Di satu sisi, kenaikan suku bunga acuan memang mengonfirmasi pesatnya laju perekonomian AS. Namun di sisi lain, hal ini bisa secara signifikan memukul perekonomian AS jika dibarengi perang dagang yang tak kunjung usai.
Ketika perekonomian AS dipukul mundur, perekonomian dunia akan merasakan dampaknya. Sektor pertambangan (-1,59%) menjadi salah satu sektor yang membebani laju IHSG. Sektor pertambangan jeblok seiring dengan aksi jual atas saham-saham emiten batu bara: PT Harum Energy Tbk (HRUM) turun 4,44%, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) turun 3,92%, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) turun 2,96%, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) turun 1,78%, dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) turun 0,87%.
Saham-saham emiten batu bara dilepas seiring dengan penurunan harga batu bara. Harga batu bara Newcastle kontrak acuan menutup perdagangan hari Senin (26/11/2018) dengan melemah 0,34% ke level US$ 101,4/metrik ton (MT). Harga batu bara lantas sudah terkoreksi selama 3 hari berturut-turut, sekaligus terperosok ke level terendahnya nyaris dalam 7 bulan terakhir, atau sejak awal Mei 2018.
Sejumlah sentimen negatif memang masih menjadi pemberat harga komoditas ini. Meski sudah memasuki musim dingin, tingkat konsumsi batu bara masih cukup lemah di China. Mengutip China Coal Transport & Distribution, konsumsi batu bara di China bagian tengah dan selatan masih cukup lambat.
Hal ini dipertegas dengan stok batu bara yang memang masih berada di level yang tinggi. Menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China meningkat dalam 7 pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 0,51% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,51 juta ton, dalam sepekan hingga tanggal 23 November 2018.
Lemahnya konsumsi di Negeri Tirai Bambu tidak lepas dari musim dingin yang memang lebih hangat dari biasanya. Sebelumnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang saat ini melanda dataran China akan lebih hangat dari biasanya. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino.
Kemudian, pemerintah China memutuskan untuk membatasi impor batu bara di sepanjang tahun 2018. Mengutip laporan dari Shanghai Securities News, seperti dilansir dari Reuters, impor batu bara di tahun ini ditetapkan tidak boleh melebihi volume impor pada tahun 2017.
Kebijakan ini dilakukan pemerintah China dalam rangka menjaga harga batu bara domestik tetap tinggi hingga akhir tahun ini. Selain itu, kondisi stok yang berlebih di China juga menjadi alasan pemerintah untuk membatasi impor batu bara.
Dengan pembatasan itu, volume impor batu bara China di November-Desember 2018 diramal turun sebesar 25-35 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya, mengutip Reuters.
Sebagai catatan, China adalah konsumen utama batu bara dunia dengan volume mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Pasca menjadi pahlawan pada perdagangan kemarin dengan membukukan beli bersih sebesar Rp 199,2 miliar dan membawa IHSG finis di zona hijau ( 0,28%), investor asing tak bisa lagi berbicara banyak pada hari ini.
Hingga akhir perdagangan, investor asing sejatinya membukukan beli bersih sebesar Rp 155,8 miliar. Namun, jumlah sebesar itu tak cukup untuk membawa IHSG menguat.
Saham-saham bank BUKU IV ternyata masih menjadi primadona bagi investor asing. Kemarin, aksi beli investor asing juga terkonsentrasi pada saham bank-bank BUKU IV: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dibeli bersih senilai Rp 119,9 miliar, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Rp 109,2 miliar, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 33,4 miliar.
Hari ini, BBRI dikoleksi senilai Rp 341,2 miliar, BBNI Rp 130,3 miliar, BBCA Rp 93 miliar, dan BMRI Rp 42,3 miliar.
Harga saham BBRI ditutup menguat 1,69%, BBNI menguat 2,67%, BBCA menguat 1,09%, dan BMRI menguat 1,02%.
Seiring dengan penguatan saham-saham bank BUKU IV, indeks sektor jasa keuangan membukukan apresiasi sebesar 1,05%, menjadikannya sektor dengan kontribusi positif terbesar bagi IHSG.
Investor asing mengapresiasi komentar dari bank sentral dengan melakukan aksi beli atas saham-saham bank BUKU IV. Berbicara dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa stance kebijakan moneter ahead the curve dan preemtif yang selama ini ditempuh akan dipertahankan pada tahun depan.
"Stance kebijakan moneter ahead the curve dan preemtif akan kami pertahankan pada 2019. Kebijakan suku bunga akan diarahkan kepada inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang stabil," kata Perry.
Namun begitu, bukan berarti bank sentral menjadi tak memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan makroprudensial akan diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tanah air.
"Pada 2019, kebijakan makroprudensial yang akomodatif akan terus kami lanjutkan. Kami juga akan mengeluarkan kebijakan untuk mendorong pengembangan UMKM dan sektor prioritas termasuk ekspor dan pariwisata," papar Perry.
Belum lama ini, BI sudah memberikan relaksasi terkait aturan Giro Wajib Minimum (GWM) averaging. Sebelumnya, besaran GWM averaging ditetapkan sebesar 2%. Kini, besarannya dilonggarkan menjadi 3%.
GWM averaging merupakan bagian dari GWM primer yang sebesar 6,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Perlu diketahui bahwa GWM averaging tak perlu dipenuhi secara harian sehingga memberikan ruang bagi bank untuk menyesuaikan dengan kondisi likuiditasnya.
"Itu demikian dari 6,5% (GWM primer), semula 2% (GWM averaging) tidak perlu dipenuhi hari per hari, sekarang jadi 3%. Dengan demikian, ini meningkatkan fleksibilitas dari manajemen likuiditas," papar Perry, Kamis (15/11/2018).
Dengan likuiditas yang kini kian longgar, perbankan menjadi memiliki ruang yang lebih besar untuk menyalurkan kredit. Apalagi, permintaan kredit di Indonesia sedang tinggi-tingginya.
Melansir Reuters, penyaluran kredit bank komersial tumbuh sebesar 12,69% YoY pada September 2018, naik dari capaian periode Agustus 2018 yang sebesar 12,12% YoY.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Awas Babak Baru Perang Dagang AS-China Gegara Tomat & Kapas
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular