
Saudi Cetak Rekor Produksi, Harga Minyak Turun Lagi
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 November 2018 10:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari ini Selasa (27/11/2018) hingga pukul 10.00 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 turun 0,35% ke level US$ 60,27/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Januari 2019 terkoreksi 0,64% ke level US$ 51,30/barel.
Harga minyak kembali loyo pasca kemarin mampu rebound cukup signifikan. Pada penutupan perdagangan hari Senin (26/11/2018), harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) naik 2,4%, sementara harga brent yang menjadi acuan di Eropa menguat 2,86%.
Meski kemarin naik cukup signifikan, pelaku pasar sebenarnya menilai kenaikan itu belum cukup stabil. Pasalnya, harga minyak sempat anjlok sampai 8% pada perdagangan akhir pekan lalu. Secara fundamental, masih ada faktor besar yang menjadi pemberat harga sang emas hitam.
BACA: Harga Minyak Naik di Awal Pekan, Hati-Hati Pasar Masih Rapuh!
Benar saja, harga minyak mentah kembali ke zona merah pada hari ini. Faktor yang mendorong pelemahan harga adalah produksi minyak mentah Arab Saudi yang mencetak rekor baru, serta pelaku pasar yang berhati-hati menantikan pertemuan G20 di Argentina dan rapat OPEC di Austria.
Mengutip Reuters, produksi minyak di Arab Saudi pada November mencapai 11,1-11,3 juta barel/hari yang merupakan rekor tertinggi.
Sebelumnya, produksi minyak mentah mingguan AS juga stabil di angka 11,7 juta barel/hari, yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Adidaya.
Dari Russia, produksi minyak mentah telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.
Kini tiga produsen minyak terbesar dunia itu sama-sama mencetak rekor produksi tertinggi. Jelas hal tersebut merupakan sinyal bahwa pasokan minyak mentah dunia memang sedang membanjir.
Di saat pasokan membanjir, permintaan malah diramal lemah akibat perlambatan ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 tumbuh 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
Perang dagang AS vs China masih menjadi faktor penyebab perlambatan ekonomi global. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling hambat dalam perdagangan, maka rantai pasok global akan terpengaruh. Pertumbuhan ekonomi pun menjadi taruhannya.
"Konflik dagang AS-China masih mengandung risiko downside, seiring kita memroyeksikan AS akan menerapkan bea masuk 25% bagi seluruh impor produk China pada kuartal I-2019," tulis bank AS J.P. Morgan pada laporannya akhir pekan lalu, seperti dikutip dari Reuters.
Saat ekonomi global melambat, maka permintaan energi juga akan berkurang. Kala permintaan menurun tapi pasokan membanjir, jelas kondisi pasar akan mengalami oversupply. Tak pelak, harga pun kembali tertekan pada hari ini.
Bagaimana Prospek Harga Minyak ke Depan?
Melihat ke depan, pergerakan harga minyak akan sangat tergantung pada hasil 2 pertemuan penting yang akan terjadi. Pertama, pertemuan G20 di Buenos Aires pada 30 November dan 1 Desember. Pada pertemuan tersebut, Washington dan Beijing diharapkan akan membicarakan konflik dagang yang terjadi di antara mereka.
Apabila diskusi tersebut berbuah hasil yang positif, maka permintaan minyak diharapkan dapat kembali sehat. Akan tetapi, bila hasilnya negatif, ekspektasi pulihnya permintaan nampaknya hanya akan menjadi angan belaka.
Kedua, pertemuan tahunan OPEC di Austria pada 6 Desember. Organisasi kartel minyak tersebut akan membahas kebijakan produksinya bersama mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia).
Sebelumnya, pada pertemuan tersebut OPEC dan mitra produsen non-OPEC dikabarkan berencana mengurangi produksi dalam rentang 1-1,4 juta barel, menurut salah seorang sumber yang familiar dengan permasalahan ini, seperti dikutip dari Reuters.
Nampaknya OPEC mulai gelisah terhadap kondisi pasar yang kelebihan pasokan, dan akan melakukan intervensi untuk menstabilkan pasar. Hal ini bisa dipandang pelaku pasar sebagai "juru selamat" yang mampu mengangkat harga minyak dari jurang keterpurukan.
Akan tetapi, tidak sedikit pula pelaku pasar yang nampaknya masih meragukan aksi OPEC ini. Pasalnya, Iran diekspektasikan tidak mau terlibat dari aksi pemangkasan produksi tersebut. Padahal, Iran merupakan salah satu produsen minyak mentah terbesar di OPEC.
Tidak hanya Iran, Russia (yang secara de facto memimpin mitra produsen non-OPEC) juga belum memberikan sinyal akan bergabung di dalam kesepakatan pemangkasan tersebut.
Kemudian, kemesraan AS dengan Arab Saudi (yang secara de facto merupakan pemimpin OPEC), membuat investor pesimis bahwa rencana pemangkasan itu akan terealisasi.
Beberapa waktu lalu, Presiden AS Donald Trump memuji Saudi terkait harga minyak terkini, dan bahkan meminta harga minyak dapat lebih rendah lagi.
"Harga minyak semakin rendah. Bagus! Seperti pemangkasan pajak yang besar untuk Amerika dan Dunia. Selamat menikmati! US$ 54, baru saja US$ 82. Terima kasih Arab Saudi, tapi mari bergerak lebih rendah lagi!"
Sentimen ini lantas memunculkan indikasi bahwa AS akan kembali mengintervensi OPEC/Arab Saudi terkait kebijakan pemangkasan produksi. Bisa jadi, OPEC akhirnya mengurungkan niatnya untuk mestabilkan pasar minyak global.
"Jika OPEC dan Rusia tidak dapat mengirimkan pesan (pemangkasan produksi) yang amat kuat pada pasar, harga berisiko jatuh lebih jauh. Mungkin Brent (mencapai) US$ 50/barel dan lighsweet/WTI US$ 40/barel, atau bahkan lebih parah lagi," ucap kepala konsultan FGE Fereidun Fesharaki, seperti dikutip dari Reuters.
Menanti 2 peristiwa penting tersebut, investor lantas memilih bermain aman pada hari ini. Harga minyak pun semakin tidak punya pijakan untuk bisa menguat.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pagi ini Harga Minyak Kembali Mendidih, Naik 1,3%
Harga minyak kembali loyo pasca kemarin mampu rebound cukup signifikan. Pada penutupan perdagangan hari Senin (26/11/2018), harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) naik 2,4%, sementara harga brent yang menjadi acuan di Eropa menguat 2,86%.
Meski kemarin naik cukup signifikan, pelaku pasar sebenarnya menilai kenaikan itu belum cukup stabil. Pasalnya, harga minyak sempat anjlok sampai 8% pada perdagangan akhir pekan lalu. Secara fundamental, masih ada faktor besar yang menjadi pemberat harga sang emas hitam.
Benar saja, harga minyak mentah kembali ke zona merah pada hari ini. Faktor yang mendorong pelemahan harga adalah produksi minyak mentah Arab Saudi yang mencetak rekor baru, serta pelaku pasar yang berhati-hati menantikan pertemuan G20 di Argentina dan rapat OPEC di Austria.
Mengutip Reuters, produksi minyak di Arab Saudi pada November mencapai 11,1-11,3 juta barel/hari yang merupakan rekor tertinggi.
Sebelumnya, produksi minyak mentah mingguan AS juga stabil di angka 11,7 juta barel/hari, yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Adidaya.
Dari Russia, produksi minyak mentah telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.
Kini tiga produsen minyak terbesar dunia itu sama-sama mencetak rekor produksi tertinggi. Jelas hal tersebut merupakan sinyal bahwa pasokan minyak mentah dunia memang sedang membanjir.
Di saat pasokan membanjir, permintaan malah diramal lemah akibat perlambatan ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 tumbuh 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
Perang dagang AS vs China masih menjadi faktor penyebab perlambatan ekonomi global. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling hambat dalam perdagangan, maka rantai pasok global akan terpengaruh. Pertumbuhan ekonomi pun menjadi taruhannya.
"Konflik dagang AS-China masih mengandung risiko downside, seiring kita memroyeksikan AS akan menerapkan bea masuk 25% bagi seluruh impor produk China pada kuartal I-2019," tulis bank AS J.P. Morgan pada laporannya akhir pekan lalu, seperti dikutip dari Reuters.
Saat ekonomi global melambat, maka permintaan energi juga akan berkurang. Kala permintaan menurun tapi pasokan membanjir, jelas kondisi pasar akan mengalami oversupply. Tak pelak, harga pun kembali tertekan pada hari ini.
Bagaimana Prospek Harga Minyak ke Depan?
Melihat ke depan, pergerakan harga minyak akan sangat tergantung pada hasil 2 pertemuan penting yang akan terjadi. Pertama, pertemuan G20 di Buenos Aires pada 30 November dan 1 Desember. Pada pertemuan tersebut, Washington dan Beijing diharapkan akan membicarakan konflik dagang yang terjadi di antara mereka.
Apabila diskusi tersebut berbuah hasil yang positif, maka permintaan minyak diharapkan dapat kembali sehat. Akan tetapi, bila hasilnya negatif, ekspektasi pulihnya permintaan nampaknya hanya akan menjadi angan belaka.
Kedua, pertemuan tahunan OPEC di Austria pada 6 Desember. Organisasi kartel minyak tersebut akan membahas kebijakan produksinya bersama mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia).
Sebelumnya, pada pertemuan tersebut OPEC dan mitra produsen non-OPEC dikabarkan berencana mengurangi produksi dalam rentang 1-1,4 juta barel, menurut salah seorang sumber yang familiar dengan permasalahan ini, seperti dikutip dari Reuters.
Nampaknya OPEC mulai gelisah terhadap kondisi pasar yang kelebihan pasokan, dan akan melakukan intervensi untuk menstabilkan pasar. Hal ini bisa dipandang pelaku pasar sebagai "juru selamat" yang mampu mengangkat harga minyak dari jurang keterpurukan.
Akan tetapi, tidak sedikit pula pelaku pasar yang nampaknya masih meragukan aksi OPEC ini. Pasalnya, Iran diekspektasikan tidak mau terlibat dari aksi pemangkasan produksi tersebut. Padahal, Iran merupakan salah satu produsen minyak mentah terbesar di OPEC.
Tidak hanya Iran, Russia (yang secara de facto memimpin mitra produsen non-OPEC) juga belum memberikan sinyal akan bergabung di dalam kesepakatan pemangkasan tersebut.
Kemudian, kemesraan AS dengan Arab Saudi (yang secara de facto merupakan pemimpin OPEC), membuat investor pesimis bahwa rencana pemangkasan itu akan terealisasi.
Beberapa waktu lalu, Presiden AS Donald Trump memuji Saudi terkait harga minyak terkini, dan bahkan meminta harga minyak dapat lebih rendah lagi.
"Harga minyak semakin rendah. Bagus! Seperti pemangkasan pajak yang besar untuk Amerika dan Dunia. Selamat menikmati! US$ 54, baru saja US$ 82. Terima kasih Arab Saudi, tapi mari bergerak lebih rendah lagi!"
Sentimen ini lantas memunculkan indikasi bahwa AS akan kembali mengintervensi OPEC/Arab Saudi terkait kebijakan pemangkasan produksi. Bisa jadi, OPEC akhirnya mengurungkan niatnya untuk mestabilkan pasar minyak global.
"Jika OPEC dan Rusia tidak dapat mengirimkan pesan (pemangkasan produksi) yang amat kuat pada pasar, harga berisiko jatuh lebih jauh. Mungkin Brent (mencapai) US$ 50/barel dan lighsweet/WTI US$ 40/barel, atau bahkan lebih parah lagi," ucap kepala konsultan FGE Fereidun Fesharaki, seperti dikutip dari Reuters.
Menanti 2 peristiwa penting tersebut, investor lantas memilih bermain aman pada hari ini. Harga minyak pun semakin tidak punya pijakan untuk bisa menguat.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pagi ini Harga Minyak Kembali Mendidih, Naik 1,3%
Most Popular