
Salip Rupee, Rupiah Kini Nomor 1 di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 November 2018 13:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Ameria Serikat (AS) terus menguat. Bahkan penguatan rupiah kian menebal.
Pada Kamis (22/11/2018) pukul 13:12 WIB, US$ 1 di pasar spot diperdagangkan Rp 14.570. Rupiah menguat 0,21% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Memulai hari, rupiah dibuka menguat tipis 0,03%. Selepas itu, penguatan rupiah semakin tajam. Bahkan rupiah mampu menjadi mata uang dengan penguatan terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari rupee India.
Namun dengan penguatan 0,21%, rupiah mengambil alih takhta raja Benua Kuning dari rupee. Ya, kini rupiah adalah yang terbaik di Asia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 13:15 WIB:
Apa yang membuat rupiah begitu perkasa, setidaknya sampai saat ini? Setidaknya ada dua penyebab.
Pertama adalah dolar AS memang sedang melemah secara global. Pada pukul 13:17 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,07%.
Dolar AS terbeban karena sentimen suku bunga acuan. Benar bahwa kemungkinan besar The Federal Reserve/The Fed akan tetap menaikkan suku bunga acuan bulan depan. Namun pelaku pasar mulai bertanya-tanya, apakah Jerome 'Jay' Powell dkk masih akan agresif tahun depan?
Pasalnya perekonomian Negeri Paman Sam ternyata tidak melaju secepat yang dibayangkan. Mulai ada perlambatan di sana-sini, yang menunjukkan pengetatan moneter ekstra bisa saja tidak dibutuhkan.
Teranyar adalah klaim tunjangan pengangguran naik 3.000 menjadi 224.000 pada pekan lalu. Capaian itu lebih tinggi dari estimasi pasar yang meramalkan penurunan ke angka 215.000.
Kemudian, pemesanan barang tahan lama inti non-pertahanan (mengeluarkan komponen pesawat) periode Oktober 2018 tidak mengalami perubahan. Lebih rendah dari konsensus Reuters yang mengekspektasikan pertumbuhan sebesar 0,2% secara bulanan (month-to-month/MtM). Sementara itu, data September direvisi ke bawah menjadi minus 0,5%, dari sebelumnya minus 0,1%.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga tiga kali tahun depan. Namun untuk kenaikan ketiga agak ketat, karena 48 dari 102 ekonom memperkirakan tidak ada kenaikan. Oleh karena itu, ada kemungkinan hanya akan ada dua kali kenaikan Federal Funds Rate pada 2019.
Selama ini keperkasaan dolar AS memang sangat bergantung dari kenaikan suku bunga acuan. Saat suku bunga acuan naik, imbalan investasi di AS juga akan ikut terdongkrak (khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi).
Berinvestasi di AS menjadi lebih menarik dan ini tentu membutuhkan greenback. Permintaan dolar AS akan naik dan nilainya menguat.
Namun tanpa kenaikan suku bunga acuan, kekuatan itu akan sirna. Berinvestasi di AS menjadi biasa saja, tidak ada yang istimewa. Kebutuhan dolar AS menjadi tidak terlalu besar.
Pada Kamis (22/11/2018) pukul 13:12 WIB, US$ 1 di pasar spot diperdagangkan Rp 14.570. Rupiah menguat 0,21% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Memulai hari, rupiah dibuka menguat tipis 0,03%. Selepas itu, penguatan rupiah semakin tajam. Bahkan rupiah mampu menjadi mata uang dengan penguatan terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari rupee India.
Namun dengan penguatan 0,21%, rupiah mengambil alih takhta raja Benua Kuning dari rupee. Ya, kini rupiah adalah yang terbaik di Asia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 13:15 WIB:
Apa yang membuat rupiah begitu perkasa, setidaknya sampai saat ini? Setidaknya ada dua penyebab.
Pertama adalah dolar AS memang sedang melemah secara global. Pada pukul 13:17 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,07%.
Dolar AS terbeban karena sentimen suku bunga acuan. Benar bahwa kemungkinan besar The Federal Reserve/The Fed akan tetap menaikkan suku bunga acuan bulan depan. Namun pelaku pasar mulai bertanya-tanya, apakah Jerome 'Jay' Powell dkk masih akan agresif tahun depan?
Pasalnya perekonomian Negeri Paman Sam ternyata tidak melaju secepat yang dibayangkan. Mulai ada perlambatan di sana-sini, yang menunjukkan pengetatan moneter ekstra bisa saja tidak dibutuhkan.
Teranyar adalah klaim tunjangan pengangguran naik 3.000 menjadi 224.000 pada pekan lalu. Capaian itu lebih tinggi dari estimasi pasar yang meramalkan penurunan ke angka 215.000.
Kemudian, pemesanan barang tahan lama inti non-pertahanan (mengeluarkan komponen pesawat) periode Oktober 2018 tidak mengalami perubahan. Lebih rendah dari konsensus Reuters yang mengekspektasikan pertumbuhan sebesar 0,2% secara bulanan (month-to-month/MtM). Sementara itu, data September direvisi ke bawah menjadi minus 0,5%, dari sebelumnya minus 0,1%.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga tiga kali tahun depan. Namun untuk kenaikan ketiga agak ketat, karena 48 dari 102 ekonom memperkirakan tidak ada kenaikan. Oleh karena itu, ada kemungkinan hanya akan ada dua kali kenaikan Federal Funds Rate pada 2019.
Selama ini keperkasaan dolar AS memang sangat bergantung dari kenaikan suku bunga acuan. Saat suku bunga acuan naik, imbalan investasi di AS juga akan ikut terdongkrak (khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi).
Berinvestasi di AS menjadi lebih menarik dan ini tentu membutuhkan greenback. Permintaan dolar AS akan naik dan nilainya menguat.
Namun tanpa kenaikan suku bunga acuan, kekuatan itu akan sirna. Berinvestasi di AS menjadi biasa saja, tidak ada yang istimewa. Kebutuhan dolar AS menjadi tidak terlalu besar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Harga Minyak Ikut Topang Rupiah
Pages
Most Popular