
Dolar AS Tertekan Luar-Dalam, Rupiah Terbaik Kedua di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 November 2018 12:36

Posisi dolar AS memang sedang kurang menguntungkan. Tidak hanya di Asia, mata yang Negeri Paman Sam memang sedang tertekan secara global.
Pada pukul 12:18 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang dunia) masih melemah 0,06%. Dolar tertekan dari dalam dan luar negeri.
Dari domestik, data-data ekonomi teranyar tidak mendukung persepsi pemulihan ekonomi Negeri Adidaya. Klaim tunjangan pengangguran naik 3.000 menjadi 224.000 pada pekan lalu. Capaian itu lebih tinggi dari estimasi pasar yang meramalkan penurunan ke angka 215.000.
Kemudian, pemesanan barang tahan lama inti non-pertahanan (mengeluarkan komponen pesawat) periode Oktober 2018 tidak mengalami perubahan. Lebih rendah dari konsensus Reuters yang mengekspektasikan pertumbuhan sebesar 0,2% secara bulanan (month-to-month/MtM). Sementara itu, data September direvisi ke bawah menjadi minus 0,5%, dari sebelumnya minus 0,1%.
Data-data ini membuka kemungkinan (meski kecil) bahwa The Federal Reserve/The Fed bisa saja tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Sebab ekonomi AS ternyata belum berlari secepat perkiraan, masih ada hambatan di sana-sini.
Menurut CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) dalam rapat The Fed 19 Desember adalah 72,3%. Turun dibandingkan posisi sebulan lalu yang masih 78,4%.
Selama ini keperkasaan dolar AS memang sangat bergantung dari kenaikan suku bunga acuan. Saat suku bunga acuan naik, imbalan investasi di AS juga akan ikut terdongkrak (khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi).
Berinvestasi di AS menjadi lebih menarik dan ini tentu membutuhkan greenback. Permintaan dolar AS akan naik dan nilainya menguat.
Namun tanpa kenaikan suku bunga acuan, kekuatan itu akan sirna. Berinvestasi di AS menjadi biasa saja, tidak ada yang istimewa. Kebutuhan dolar AS menjadi tidak terlalu besar.
Sementara dari luar negeri, ada harapan drama fiskal Italia bisa berakhir indah. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte membuka ruang untuk merevisi rancangan anggaran 2019.
Sebelumnya, Uni Eropa menolak rancangan anggaran ini karena dinilai terlalu agresif. Defisit anggaran ditargetkan 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), naik dibandingkan rancangan sebelumnya yaitu 1,8%.
Dokumen ini dikembalikan ke Roma dengan harapan ada revisi. Kemarin, Wakil Perdana Menteri Matteo Salvini menyatakan pemerintah bersedia menurunkan belanja negara.
Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah dan mata uang Asia lainnya untuk menguat. Sebab, risk appetite investor menjadi naik dan arus modal mengalir deras ke pasar keuangan negara-negara berkembang.
Di pasar saham Indonesia, investor asing membukukan beli bersih Rp 85,7 miliar dan mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,66%. Kemudian di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun 0,9 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Ditopang arus modal ini, rupiah pun berhasil menguat. Sejauh ini, rupiah masih di jalur yang benar untuk menuntaskan misi balas dendam terhadap dolar AS setelah kemarin menjadi korban harapan palsu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pada pukul 12:18 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang dunia) masih melemah 0,06%. Dolar tertekan dari dalam dan luar negeri.
Dari domestik, data-data ekonomi teranyar tidak mendukung persepsi pemulihan ekonomi Negeri Adidaya. Klaim tunjangan pengangguran naik 3.000 menjadi 224.000 pada pekan lalu. Capaian itu lebih tinggi dari estimasi pasar yang meramalkan penurunan ke angka 215.000.
Data-data ini membuka kemungkinan (meski kecil) bahwa The Federal Reserve/The Fed bisa saja tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Sebab ekonomi AS ternyata belum berlari secepat perkiraan, masih ada hambatan di sana-sini.
Menurut CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) dalam rapat The Fed 19 Desember adalah 72,3%. Turun dibandingkan posisi sebulan lalu yang masih 78,4%.
Selama ini keperkasaan dolar AS memang sangat bergantung dari kenaikan suku bunga acuan. Saat suku bunga acuan naik, imbalan investasi di AS juga akan ikut terdongkrak (khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi).
Berinvestasi di AS menjadi lebih menarik dan ini tentu membutuhkan greenback. Permintaan dolar AS akan naik dan nilainya menguat.
Namun tanpa kenaikan suku bunga acuan, kekuatan itu akan sirna. Berinvestasi di AS menjadi biasa saja, tidak ada yang istimewa. Kebutuhan dolar AS menjadi tidak terlalu besar.
Sementara dari luar negeri, ada harapan drama fiskal Italia bisa berakhir indah. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte membuka ruang untuk merevisi rancangan anggaran 2019.
Sebelumnya, Uni Eropa menolak rancangan anggaran ini karena dinilai terlalu agresif. Defisit anggaran ditargetkan 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), naik dibandingkan rancangan sebelumnya yaitu 1,8%.
Dokumen ini dikembalikan ke Roma dengan harapan ada revisi. Kemarin, Wakil Perdana Menteri Matteo Salvini menyatakan pemerintah bersedia menurunkan belanja negara.
Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah dan mata uang Asia lainnya untuk menguat. Sebab, risk appetite investor menjadi naik dan arus modal mengalir deras ke pasar keuangan negara-negara berkembang.
Di pasar saham Indonesia, investor asing membukukan beli bersih Rp 85,7 miliar dan mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,66%. Kemudian di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun 0,9 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Ditopang arus modal ini, rupiah pun berhasil menguat. Sejauh ini, rupiah masih di jalur yang benar untuk menuntaskan misi balas dendam terhadap dolar AS setelah kemarin menjadi korban harapan palsu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular