Sempat Naik 1,73% IHSG Ditutup Hanya Naik 0,95%, Kenapa?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 November 2018 17:17
Sempat Naik 1,73% IHSG Ditutup Hanya Naik 0,95%, Kenapa?
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 0,33%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan terakhir di pekan ini dengan penguatan sebesar 0,95% ke level 6.012,35. Ini merupakan pertama kalinya IHSG ditutup di atas level psikologis 6.000 sejak akhir Agustus silam.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 9,01 triliun dengan volume sebanyak 11,31 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 428.813 kali.

Penguatan IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga menghijau: indeks Shanghai naik 0,41%, indeks Hang Seng naik 0,31%, indeks Strait Times naik 0,92%, dan indeks Kospi 0,21%.

Namun, apa yang menyebabkan IHSG harus rela penguatannya terpangkas signifikan hari ini? Sepanjang hari ini, rupiah terus menguat melawan dolar AS dan menjadi mata uang dengan performa terbaik di kawasan Asia. Rupiah bahkan sempat menguat hingga 0,99% ke level Rp Rp 14.530/dolar AS, di mana ini merupakan level terkuat sejak sejak 10 Agustus 2018 lalu atau lebih dari 3 bulan.

Namun menjelang penutupan perdagangan, penguatan rupiah terus menipis dan berakhir sebesar 0,46% di level Rp 14.608/dolar AS. Sejatinya, kondisi sedang tak begitu mendukung bagi rupiah untuk menguat secara signifikan lantaran mata uang negara-negara Asia lainnya sedang dilepas investor.

Hingga sore hari, hanya rupee (0,18%) dan yen (0,26%) yang mampu menguat melawan dolar AS di pasar spot.

Perkembangan mengenai perang dagang AS-China yang cukup mengkhawatirkan membuat dolar AS lebih menjadi pilihan investor. Financial Times sempat menyebut bahwa Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer telah bertemu dengan para pengusaha dan berjanji untuk menunda pengenaan bea masuk baru kepada China untuk sementara.

Namun, kantor Perwakilan Dagang AS kemudian mengeluarkan pernyataan yang menyanggah kabar tersebut.

"Tidak ada kehadiran beliau di hadapan para pengusaha dan menyatakan bahwa pengenaan bea masuk ditunda. Kerangka bea masuk masih sesuai dengan rencana. Laporan yang menyebutkan sebaliknya adalah tidak benar,” tegas pernyataan tersebut.

Sebagai informasi, pada September 2018 AS resmi mengenakan bea masuk 10% atas importasi produk asal China senilai US$ 200 miliar. Presiden AS Donald Trump kemudian mengancam akan mengenakan bea masuk baru lainnya yang menyasar importasi produk China senilai US$ 267 miliar.

Kemudian, ketidakpastian terkait dengan pemisahan diri Inggris dari Uni Eropa (Brexit) membuat investor semakin gencar melepas mata uang negara-negara Benua Kuning. Sehari pasca Perdana Menteri Inggris Theresa May berhasil mengamankan dukungan dari kabinetnya terkait dengan draf Brexit, Menteri Urusan Brexit Dominic Raab mengundurkan diri dari posisinya.

Dalam suratnya kepada May yang dipublikasikan kemarin (15/11/2018), Raab mengatakan bahwa dirinya tak dapat menerima draf Brexit setelah semua hal yang telah dijanjikan oleh Partai Konservatif dalam pemilihan umum pada tahun lalu.

Terakhir, dolar AS menguat seiring dengan persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve pada penghujung tahun yang kian besar. Hal ini terjadi pasca rilis data pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Oktober 2018 di AS yang sebesar 0,8% MoM, mengalahkan konsensus yang sebesar 0,6% MoM, seperti dilansir dari Forex Factory.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 15 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25bps bulan Desember adalah sebesar 72,3%, lebih tinggi dari posisi 1 minggu lalu yang sebesar 71,1%. 

Pada akhirnya, penguatan rupiah yang terpangkas signifikan membuat IHSG juga kehilangan pijakannya. Saham-saham bank BUKU IV memotori penguatan IHSG: PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) naik 2,69%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) naik 2,35%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) naik 0,68%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) naik 0,61%, dan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) naik 0,58%.

Penguatan rupiah membuat investor mengapresiasi saham-saham bank BUKU IV. Faktor domestik menjadi penopang penguatan rupiah ditengah aksi jual mata uang negara-negara Asia.

Kemarin, Bank Indonesia (BI) secara mengejutkan mengerek suku bunga acuan sebesar 25bps ke level 6%. Keputusan ini mengejutkan lantaran konsensus yang dihimpun oleh Tim Riset CNBC Indonesia memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan di level 5,75%.

Dengan dinaikannya suku bunga acuan, maka imbal hasil investasi pendapatan tetap di tanah air akan menjadi semakin kompetitif sehingga diharapkan bisa menarik aliran dana investor asing. Pada akhirnya, defisit di pos transaksi berjalan akan bisa diimbangi oleh surplus di pos transaksi modal dan finansial.

Sebagai informasi, prospek transaksi berjalan di kuartal-IV nampaknya cukup suram. Kemarin siang, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan defisit neraca dagang periode Oktober 2018 di angka US$ 1,82 miliar, jauh lebih dalam dari konsensus yang sebesar US$ 62,5 juta. Defisit bulan Oktober menjadi yang terdalam sejak Juli 2017. Kala itu, defisit neraca dagang adalah sebesar US$ 2,01 miliar.

Kemudian, rupiah dibuat menguat seiring dengan langkah konkret pemerintah dalam memperbaiki defisit transaksi berjalan (current Account Deficit/CAD) dengan meluncurkan paket kebijakan ekonomi jilid 16.

Paket kebijakan seri terbaru ini diluncurkan pada pagi tadi di Istana Negara oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution bersama Gubernur BI Perry Warjiyo, Wakil Ketua OJK Nurhaida, dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto

"Apa yang kita umumkan sebenarnya sifatnya untuk jangka panjang dan memang memperbaiki CAD," papar Darmin.

Ada 3 poin penting dari paket kebijakan ekonomi seri terbaru ini yakni perluasan fasilitas pengurangan PPh Badan, relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan pengaturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) melalui Special Deposit Account (SDA).

SDA sendiri merupakan sebuah rekening deposito khusus yang dibuka untuk menampung DHE. Nantinya, akan ada insentif berupa pemotongan pajak bunga deposito bagi para eksportir yang menyimpan dananya dalam SDA. Jika DHE dikonversi ke rupiah, insentif yang diterima akan menjadi lebih besar.

Darmin mengungkapkan bahwa DHE yang terkait sumber daya alam yakni pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan diwajibkan untuk ditempatkan di tanah air.

Kehadiran SDA akan membuat pasokan dolar AS bertambah besar lantaran DHE akan didorong untuk parkir di dalam negeri. Ketika pasokan dolar AS membludak, tentu harganya akan turun. Selain karena rupiah yang menguat, saham bank BUKU IV juga diburu lantaran BI memberikan relaksasi terkait aturan Giro Wajib Minimum (GWM) averaging. Sebelumnya, besaran GWM averaging ditetapkan sebesar 2%. Kini, besarannya dilonggarkan menjadi 3%.

GWM averaging merupakan bagian dari GWM primer yang sebesar 6,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Perlu diketahui bahwa GWM averaging tak perlu dipenuhi secara harian sehingga memberikan ruang bagi bank untuk menyesuaikan dengan kondisi likuiditasnya.

"Itu demikian dari 6,5% (GWM primer), semula 2% (GWM averaging) tidak perlu dipenuhi hari per hari, sekarang jadi 3%. Dengan demikian, ini meningkatkan fleksibilitas dari manajemen likuiditas," papar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Kamis (15/11/2018).

Dengan likuiditas yang kini kian longgar, perbankan menjadi memiliki ruang yang lebih besar untuk menyalurkan kredit. Apalagi, permintaan kredit di Indonesia sedang tinggi-tingginya.

Melansir Reuters, penyaluran kredit bank komersial tumbuh sebesar 12,69% YoY pada September 2018, naik dari capaian periode Agustus 2018 yang sebesar 12,12% YoY. Walaupun rupiah terpeleset menjelang sore hari, hal ini tak mengendurkan minat investor asing untuk masuk ke bursa saham dalam negeri.

Per akhir sesi 1, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 1 triliun di pasar saham tanah air. Per akhir sesi 2, nilainya membengkak menjadi Rp 1,65 triliun.

5 besar saham yang dikoleksi investor asing adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 383,6 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 250,4 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 228,4 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 214,2 miliar), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 136,8 miliar).

TIM RISET CNBC INDONESIA 
(ank/hps) Next Article IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular