Rupiah Terus Berjaya di Asia, Ini Faktor-faktornya!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 November 2018 13:04
Rupiah Terus Berjaya di Asia, Ini Faktor-faktornya!
Foto: Seorang karyawan menghitung uang kertas dolar AS di kantor penukaran mata uang di Jakarta, Indonesia 23 Oktober 2018. Gambar diambil 23 Oktober 2018. REUTERS / Beawiharta
Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga tengah hari, rupiah terus mempertahankan tahtanya sebagai mata uang dengan performa terbaik di kawasan Asia. Pada pukul 12:00 WIB, rupiah menguat sebesar 0,75% di pasar spot ke level Rp 14.565/dolar AS. Posisi ini lebih baik dibandingkan dengan pada saat pembukaan yakni apresiasi sebesar 0,51% ke level Rp 14.600/dolar AS.

Disamping rupiah, hanya yen dan peso yang mampu memukul dolar AS di kawasan Asia.



Sejatinya, dolar AS sedang berada dalam posisi yang relatif perkasa, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang menguat sebesar 0,05%. Persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve pada penghujung tahun yang kian besar menjadi bensin yang memotori kenaikan indeks dolar AS.

Hal ini terjadi seiring dengan rilis data pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Oktober 2018 di AS yang sebesar 0,8% MoM, mengalahkan konsensus yang sebesar 0,6% MoM, seperti dilansir dari Forex Factory.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 15 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25bps bulan Desember adalah sebesar 72,3%, lebih tinggi dari posisi 1 minggu lalu yang sebesar 71,1%.

(NEXT)




Keputusan Bank Indonesia (BI) yang secara mengejutkan mengerek suku bunga acuan sebesar 25bps ke level 6% memberikan angin segar bagi rupiah. Walaupun hanya sebesar 25 bps, keputusan BI tersebut tak diantisipasi oleh pelaku pasar sebelumnya. Konsensus yang dihimpun oleh Tim Riset CNBC Indonesia memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan di level 5,75%.

Akibatnya, pelaku pasar hingga kini masih melakukan price-in atas kejutan dari bank sentral tersebut.

Dengan dinaikannya suku bunga acuan, maka imbal hasil investasi pendapatan tetap di tanah air akan menjadi semakin kompetitif sehingga diharapkan bisa menarik aliran dana investor asing. Pada akhirnya, defisit di pos transaksi berjalan akan bisa diimbangi oleh surplus di pos transaksi modal dan finansial.

Sebagai informasi, prospek transaksi berjalan di kuartal-IV nampaknya cukup suram. Kemarin siang, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan defisit neraca dagang periode Oktober 2018 di angka US$ 1,82 miliar, jauh lebih dalam dari konsensus yang sebesar US$ 62,5 juta. Defisit bulan Oktober menjadi yang terdalam sejak Juli 2017. Kala itu, defisit neraca dagang adalah sebesar US$ 2,01 miliar. Selain kenaikan suku bunga acuan BI, rupiah menguat seiring dengan pengumuman paket kebijakan ekonomi jilid 16 yang diarahkan untuk mengatasi defisit transaksi berjalan (current Account Deficit/CAD).

Pada hari ini di Istana Negara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution bersama Gubernur BI Perry Warjiyo, Wakil Ketua OJK Nurhaida, dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto memaparkan paket kebijakan seri terbaru ini.

Salah satu poin penting yang disampaikan adalah terkait pengaturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) melalui Special Deposit Account (SDA). SDA sendiri merupakan sebuah rekening deposito khusus yang dibuka untuk menampung DHE. Nantinya, akan ada insentif berupa pemotongan pajak bunga deposito bagi para eksportir yang menyimpan dananya dalam SDA. Jika DHE dikonversi ke rupiah, insentif yang diterima akan menjadi lebih besar.

Darmin mengungkapkan bahwa DHE yang terkait sumber daya alam yakni pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan diwajibkan untuk ditempatkan di tanah air.

Kehadiran SDA akan membuat pasokan dolar AS bertambah besar lantaran DHE akan didorong untuk parkir di dalam negeri. Ketika pasokan dolar AS membludak, tentu harganya akan turun. Terakhir, aliran modal investor asing ke pasar saham dan obligasi ikut membantu rupiah memperbesar penguatannya melawan dolar AS. Hingga akhir sesi 1, investor asing membukukan beli bersih sebesar Rp 1 triliun di pasar saham.

Di pasar obligasi, aksi beli investor asing nampaknya juga terjadi, walaupun tidak bisa dikonfirmasi 100% lantaran datanya baru dirilis oleh Kementerian Keuangan beberapa hari mendatang.

Aksi beli investor asing di pasar obligasi terlihat dari turunnya imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor acuan. Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5, 10, 15, dan 20 tahun.

Pada hari ini, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 5, 10, 15, dan 20 tahun turun masing-masing sebesar 4,5 bps, 3,1 bps, 1,3 bps, dan 4,7 bps.

Sebagai informasi, pergerakan imbal hasil obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika imbal hasil turun, berarti harga sedang naik.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular