Ini 5 Biang Kerok Kejatuhan Harga Minyak Mentah Dunia!

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
14 November 2018 11:24
Dalam tulisan ini, Tim Riset CNBC mengelaborasikan faktor-faktor yang menjadi biang kerok kejatuhan harga minyak mentah dunia.
Foto: REUTERS/Andy Buchanan
Jakarta, CNBC IndonesiaPada penutupan perdagangan hari Selasa (13/11/2018), harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 anjlok 6,63% ke level US$ 65,47/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desember 2018 amblas 7,07% ke level US$ 55,69/barel.

Dengan pergerakan itu, harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) telah melemah 12 hari berturut-turut, yang merupakan reli pelemahan harian terpanjang dalam sejarah. Harga light sweet meninggalkan level psikologis US$ 60/barel, terpuruk ke level terendahnya sejak November 2017.

Sebagai informasi, hingga perdagangan kemarin, harga minyak light sweet sudah jatuh nyaris 30% dari titik tertingginya dalam 4 tahun terakhir (US$ 76,41/barel), yang dicapai pada tanggal 3 Oktober 2018 silam. Artinya, hanya butuh waktu sebulan untuk "membanting" harga sang emas hitam.

Sementara, harga brent yang menjadi acuan di Eropa juga jatuh semakin dalam mendekati level US$ 65/barel, dan kini berada di titik terendahnya sejak pertengahan Maret 2018, atau dalam 8 bulan terakhir.

Faktor fundamental harga minyak mentah memang amat tidak mendukung. Kombinasi kelebihan pasokan serta permintaan yang lemah di pasar masih menjadi "hantu" yang menyeret harga sang emas hitam ke jurang kehancuran.

Dalam tulisan ini, Tim Riset CNBC mengelaborasikan faktor-faktor yang menjadi biang kerok kejatuhan harga minyak mentah dunia.



Pertama, harga minyak tertekan oleh sejumlah indikator yang menunjukkan kondisi oversupply pasar minyak global. AS, Arab Saudi, dan Rusia kompak menunjukkan peningkatan produksi minyak mentah domestiknya.

Dari Negeri Paman Sam, kemarin Departemen Energi AS (Energy Information Administration/EIA) mengumumkan produksi minyak mentah dari 7 cekungan shale oil utama diperkirakan mencapai rekor tertinggi sebesar 7,94 juta barel/hari pada Desember.

Meroketnya produksi onshore tersebut telah menyokong produksi minyak mentah AS yang secara keseluruhan kini mencapai 11,6 juta barel/hari, yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah AS.

Seiring produksi yang kuat tersebut, kemarin American Petroleum Institute (API) melaporkan bahwa cadangan minyak mentah AS naik sebesar 7,8 juta barel pada pekan lalu, jauh di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 2,4 juta barel.

Dari Negeri Padang Pasir, produksi minyak mentah juga meningkat hingga 10,64 juta barel/hari pada Oktober, naik 140.000 barel/hari dari bulan sebelumnya. Volume itu juga merupakan yang tertinggi sejak November 2016.

Dari Negeri Beruang Merah, produksi minyak Russia telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.  

Kedua, sanksi Iran justru disangsikan akan berdampak signifikan, pasca pihak AS memberikan keringanan pada 8 negara importir untuk tetap bisa membeli minyak dari Negeri Persia. Artinya, disrupsi pasokan yang sebelumnya dikhawatirkan, nampaknya tidak akan menjadi kenyataan.

Teranyar, China juga masih akan diperbolehkan mengimpor minyak mentah dari Iran, di bawah keringanan sanksi AS, mengutip Reuters. Dengan keringanan tersebut, Negeri Tirai Bambu masih bisa membeli sekitar 360.000 barel/hari dalam 180 hari ke depan.

Ketiga, kritik Presiden AS Donald Trump (lagi) pada OPEC. Harga minyak sempat mendapatkan harapan dari keputusan OPEC untuk mengurangi produksi tahun depan. Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, menyebutkan produksi minyak tahun depan perlu dikurangi sekitar 1 juta barel/hari karena ternyata pasokan komoditas ini cukup berlimpah. 

"Kesepakatan kami (OPEC) adalah pasar harus diseimbangkan. Kalau itu perlu dilakukan dengan mengurangi pasokan 1 juta barel/hari, maka akan kami lakukan. Sanksi (AS kepada Iran) ternyata tidak mengurangi pasokan seperti perkiraan pasar," ungkap al-Falih, dikutip dari Reuters.

Namun, rencana ini kemudian mendapat kritik dari Trump. Melalui cuitan di Twitter, Trump meminta agar Arab Saudi dan OPEC tidak mengurangi pasokan minyak agar harga si emas hitam tidak melambung.

"Berharap Arab Saudi dan OPEC tidak mengurangi produksi minyak. Harga minyak seharusnya lebih rendah karena (tingginya) pasokan," cuit Trump.

'Veto' Trump tampaknya sukses, investor lebih condong melihat pasokan akan melimpah. Persepsi ini sebenarnya wajar. Berdasarkan pengalaman, OPEC dan mitra produsen non-OPEC memang memutuskan untuk menambah produksi minyak mentah pada Juni lalu, pasca dikritik keras oleh Trump.

Keempat, dalam laporan edisi November 2018, OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan sebesar 1,36 juta barel/hari. 

"Meski pasar minyak dunia telah lebih seimbang, tetapi pertumbuhan pasokan mengindikasikan volume yang lebih tinggi melebihi permintaan yang berujung pada ekses yang membesar. Kemudian revisi ke bawah dari pertumbuhan ekonomi global menyebabkan tekanan terhadap permintaan minyak dalam beberapa bulan terakhir," sebut laporan OPEC yang menyinggung risiko terhadap harga minyak.

Kelima, perang dagang mulai lemahkan ekonomi China dan sekitarnya. Hal ini terefleksikan dari data-data ekonomi yang memburuk.

Pada kuartal-III 2018, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 6,5% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 6,6% YoY. Capaian ini merupakan yang terendah sejak 2009 silam.

Kemudian, Manufacturing PMI versi pemerintah China periode September juga diumumkan sebesar 50,8, juga lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 51,2. Belum lama ini, indeks PMI untuk  periode Oktober bahkan diumumkan menurun lebih dalam ke angka 50,2. 

Perang dagang yang terjadi antar Washington-Beijing nampaknya sudah mulai membebani aktivitas manufaktur di Negeri Panda. Pada 24 September silam, AS resmi memberlakukan bea masuk baru bagi importasi produk China senilai US$ 200 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk asal AS senilai US$ 60 miliar.

Terlebih, dampaknya pada perekonomian ternyata menular ke negara-negara yang menjadi mitra utama dagang China di Asia, salah satunya Korea Selatan. Output industri manufaktur Negeri Ginseng juga diumumkan turun 2,5% pada September dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh memburuk dibandingkan Agustus yang masih tumbuh 1,3%.

Sebelumnya, perekonomian Korea Selatan "hanya" tumbuh 2% YoY pada kuartal III-2018, di bawah konsensus yang sebesar 2,2%.

Persepsi perlambatan ekonomi di Benua Kuning lantas menjadi indikasi bahwa permintaan komoditas global juga akan menurun. Hal ini lantas menekan hampir seluruh komoditas dunia di sepanjang bulan lalu, termasuk harga minyak mentah.



Tidak hanya harga komoditas, bursa saham utama Asia pun kompak berguguran di sepanjang bulan Oktober. Nikkei terkoreksi 9,12%, Kospi menurun 13,37%, Shanghai melemah 7,75%, Hang Seng amblas 10,11%, dan Strait Times minus 7,31%. Hal ini lantas semakin memupus kepercayaan diri investor untuk melakukan pedagangan di pasar komoditas.

BACA: Oktober Kelabu, Harga Komoditas Kompak Berguguran

(TIM RISET CNBC INDONESIA)


(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular