Oktober Kelabu, Harga Komoditas Kompak Berguguran

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 November 2018 18:38
Harga komoditas global berguguran pada bulan Oktober 2018 berguguran. Persepsi perlambatan ekonomi global sukses menjadi sentimen negatif.
Foto: REUTERS/Valentyn Ogirenko
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga komoditas global berguguran pada bulan Oktober 2018 berguguran. Persepsi perlambatan ekonomi global sukses menjadi "hantu"yang menyeret mayoritas harga komoditas ke zona merah di sepanjang bulan lalu.  

Apabila khusus meninjau komoditas yang menjadi unggulan ekspor Indonesia, hampir semuanya mengalami penurunan. Dua harga komoditas ekspor utama, yakni minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara terkoreksi masing-masing sebesar 1,1% dan 7,8% di sepanjang bulan Oktober.

Tidak hanya itu, harga komoditas logam dasar unggulan tanah air juga terkoreksi secara berjamaah. Di sepanjang bulan lalu, harga nikel turun 8,66%, tembaga minus 5,2%, dan aluminium melemah hingga 5,3%.

Beruntung, komoditas timah dan karet masih mampu menguat tipis, masing-masing sebesar 1,45% dan 0,21%, di periode yang sama. Meski demikian, sepanjang tahun berjalan 2018 (hingga tanggal 31 Oktober), harga karet masih tercatat mengalami penurunan hingga 29,36%.



Sentimen utama yang mengantui pelemahan harga komoditas datang dari persepsi melambatnya perekonomian Benua Asia. Hal ini terefleksikan dari data-data ekonomi yang memburuk.

Pada kuartal-III 2018, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 6,5% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 6,6% YoY. Capaian ini merupakan yang terendah sejak 2009 silam.

Kemudian, Manufacturing PMI versi pemerintah China periode September juga diumumkan sebesar 50,8, juga lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 51,2. Belum lama ini, indeks PMI untuk  periode Oktober bahkan diumumkan menurun lebih dalam ke angka 50,2.

Perang dagang yang terjadi antar Amerika Serikat (AS)-China nampaknya sudah mulai membebani aktivitas manufaktur di Negeri Panda. Pada 24 September silam, AS resmi memberlakukan bea masuk baru bagi importasi produk China senilai US$ 200 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk asal AS senilai US$ 60 miliar.

Namun, dampaknya pada perekonomian ternyata menular ke negara-negara yang menjadi mitra utama dagang China di Asia, salah satunya Korea Selatan. Kemarin, output industri manufaktur Negeri Ginseng juga diumumkan turun 2,5% pada September dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh memburuk dibandingkan Agustus yang masih tumbuh 1,3%.

Sebelumnya, perekonomian Korea Selatan "hanya" tumbuh 2% YoY, di bawah konsensus yang sebesar 2,2%, pada kuartal III-2018.

Persepsi perlambatan ekonomi di Benua Kuning lantas menjadi indikasi bahwa permintaan komoditas global juga akan menurun. Hal ini lantas menekan hampir seluruh komoditas dunia di sepanjang bulan lalu.

Tidak hanya harga komoditas, bursa saham utama Asia pun kompak berguguran di sepanjang bulan Oktober. Nikkei terkoreksi 9,12%, Kospi menurun 13,37%, Shanghai melemah 7,75%, Hang Seng amblas 10,11%, dan Strait Times minus 7,31%. Hal ini lantas semakin memupus kepercayaan diri investor untuk melakukan pedagangan di pasar komoditas.



Sebagai catatan, komoditas yang melemah paling dalam adalah harga minyak mentah dunia. Di sepanjang bulan lalu, harga minyak jenis brent turun 8,76%, sementara harga minyak light sweet anjlok lebih dalam lagi yakni sebesar 10,84%. Penurunan bulanan sebesar itu menjadi yang terparah dalam 2 tahun terakhir.

Selain dipengaruhi sentimen menurunnya permintaan akibat perlambatan ekonomi dunia, harga sang emas hitam dipengaruhi sentimen peningkatan pasokan di pasar.
Kini AS, Rusia, dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Indonesia (OPEC) kompak memberikan sinyal bahwa mereka siap membanjiri pasokan pasar minyak dunia.

Dari Negeri Paman Sam, cadangan minyak mentah naik 3,2 juta barel pada pekan lalu, naik untuk 6 pekan berturut-turut, mengutip data dari US Energy Information Administration (EIA). Sementara, cadangan di Cushing (Oklahoma), yang merupakan pusat pengiriman minyak AS, juga meningkat 1,9 juta barel.

Tidak hanya itu, produksi minyak mentah mingguan AS juga kembali melonjak 300.000 barel/hari ke level 11,2 juta barel/hari pada pekan lalu. Capaian itu merupakan rekor tertingi di sepanjang sejarah, yang sebelumnya sempat dicapai pada awal Oktober lalu.

Dari OPEC, survei Reuters menemukan bahwa 15 negara anggota OPEC memproduksi 33,31 juta barel/hari minyak mentah pada bulan Oktober. Capaian itu naik 390.000 barel/hari dari bulan sebelumnya, sekaligus merupakan level tertinggi sejak Desember 2016.

Dari Negeri Beruang Merah, Menteri Energi Rusia Alexander Novak menyatakan pada akhir pekan lalu bahwa tidak ada alasan bagi Moscow untuk memangkas level produksi minyak. Pasalnya, ada risiko bahwa pasar minyak global dapat mengalami defisit.

"Untuk saat ini, tidak ada landasan untuk itu (memangkas produksi). Sebaliknya malah, seperti anda lihat, sekarang ada risiko defisit minyak," ucap Novak.

Sebagai informasi, tingkat produksi minyak top 3 negara produsen (Rusia, AS, Arab Saudi) kini secara total mencapai 33 juta barel/hari pada September, mengutip data Refinitiv Eikon. Level itu merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah. Ketiga negara produsen itu kini memenuhi 1/3 dari permintaah minyak global. 

(TIM RISET CNBC INDONESIA)


(RHG/gus) Next Article Ini Dia Kinerja Komoditas Kuartal I-2019, Minyak Juaranya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular