
Rupiah Juara Asia!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 November 2018 09:27

Sentimen domestik dan eksternal mendukung keperkasaan rupiah. Dari dalam negeri, investor mulai mencerna bahwa transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 sepertinya membaik.
Pada kuartal III-2018, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit yang cukup dalam yaitu mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit paling dalam sejak kuartal II-2014.
Namun pada kuartal IV-2018 ada harapan transaksi berjalan membaik. Memang masih defisit, tetapi setidaknya tidak sedalam kuartal sebelumnya.
Harapan itu muncul dari perkembangan harga minyak. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia akan diuntungkan ketika harga komoditas ini turun.
Potensi penurunan harga minyak datang dari 'pengampunan' AS terkait sanksi kepada Iran. Negeri Adidaya memperbolehkan delapan negara untuk tetap mengimpor minyak dari Negeri Persia selama 180 hari ke depan. Artinya pasokan minyak di pasar dunia tidak seret-seret amat.
Kemudian Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) memperkirakan terjadi kelebihan pasokan pada 2019. OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan (over supply) sebesar 1,36 juta barel/hari.
Sentimen-sentimen tersebut membebani harga si emas hitam sehingga sulit naik signifikan. Artinya beban impor minyak Indonesia bisa berkurang sehingga tidak memberatkan transaksi berjalan.
Dengan perbaikan transaksi berjalan, maka rupiah lebih punya alasan untuk stabil bahkan cenderung menguat. Dalam sebulan terakhir, rupiah mampu menguat 2,24% di hadapan dolar AS.
Pelaku pasar mengapresiasi perkembangan ini dengan mengoleksi aset-aset berbasis rupiah. Pada pukul 09:16 WIB, investor asing membukukan beli bersih Rp 45,97 miliar di pasar saham yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,69%. Arus modal ini juga efektif untuk memperkuat rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pada kuartal III-2018, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit yang cukup dalam yaitu mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit paling dalam sejak kuartal II-2014.
Namun pada kuartal IV-2018 ada harapan transaksi berjalan membaik. Memang masih defisit, tetapi setidaknya tidak sedalam kuartal sebelumnya.
Potensi penurunan harga minyak datang dari 'pengampunan' AS terkait sanksi kepada Iran. Negeri Adidaya memperbolehkan delapan negara untuk tetap mengimpor minyak dari Negeri Persia selama 180 hari ke depan. Artinya pasokan minyak di pasar dunia tidak seret-seret amat.
Kemudian Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) memperkirakan terjadi kelebihan pasokan pada 2019. OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan (over supply) sebesar 1,36 juta barel/hari.
Sentimen-sentimen tersebut membebani harga si emas hitam sehingga sulit naik signifikan. Artinya beban impor minyak Indonesia bisa berkurang sehingga tidak memberatkan transaksi berjalan.
Dengan perbaikan transaksi berjalan, maka rupiah lebih punya alasan untuk stabil bahkan cenderung menguat. Dalam sebulan terakhir, rupiah mampu menguat 2,24% di hadapan dolar AS.
Pelaku pasar mengapresiasi perkembangan ini dengan mengoleksi aset-aset berbasis rupiah. Pada pukul 09:16 WIB, investor asing membukukan beli bersih Rp 45,97 miliar di pasar saham yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,69%. Arus modal ini juga efektif untuk memperkuat rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular