Turun 12 Hari Beruntun, Harga Minyak di Level Terendah 2018!

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
13 November 2018 11:04
Pada perdagangan hari Selasa (13/11/2018) hingga pukul 10.30 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 turun 0,93% ke level US$ 69,47/barel.
Foto: REUTERS/Andrew Cullen
Jakarta, CNBC IndonesiaPada perdagangan hari Selasa (13/11/2018) hingga pukul 10.30 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 turun 0,93% ke level US$ 69,47/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desember 2018 melemah 1,25% ke level US$ 59,18/barel.

Dengan pergerakan itu, harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) telah melemah 12 hari berturut-turut, yang merupakan reli pelemahan harian terpanjang dalam sejarah. Harga light sweet meninggalkan level psikologis US$ 60/barel, terpuruk ke level terendahnya di tahun ini.

Sementara, harga brent yang menjadi acuan di Eropa juga jatuh semakin dalam ke level di bawah US$ 70/barel, dan kini berada di titik terendahnya sejak awal April 2018, atau dalam 7 bulan terakhir.

Kemarin, harga sang emas hitam sebenarnya sempat bangkit pasca Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) berencana memangkas pasokan minyak mentahnya. Namun, penguatan itu tidak lama, akibat ada intervensi dari Presiden AS Donald Trump.



Sejak pekan lalu, harga minyak tertekan oleh sejumlah indikator yang menunjukkan kondisi oversupply pasar minyak global. AS, OPEC, dan Rusia kompak menunjukkan peningkatan produksi minyak mentah domestiknya pada Oktober 2018.

Kemudian, sanksi AS terhadap Iran justru disangsikan akan berdampak signifikan, pasca pihak AS memberikan keringanan pada 8 negara importir utama untuk tetap bisa membeli minyak dari Negeri Persia. Artinya, disrupsi pasokan yang sebelumnya dikhawatirkan, nampaknya tidak akan menjadi kenyataan.

Saat pasokan membanjir, permintaan komoditas minyak malah diekspektasikan melambat. Pelemahan nilai tukar telah memberikan tekanan bagi pertumbuhan ekonomi Asia, termasuk India dan Indonesia.

Belum lagi, perang dagang AS-China masih mengancam pertumbuhan ekonomi Negeri Panda, termasuk mitra dagang utamanya seperti Korea Selatan dan Jepang. Hal ini lantas berhasil mendorong harga minyak terjun bebas pekan lalu.

Meski demikian, harga minyak sempat bangkit disokong keputusan OPEC untuk mengurangi produksi tahun depan. Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, menyebutkan produksi minyak tahun depan perlu dikurangi sekitar 1 juta barel/hari karena ternyata pasokan komoditas ini cukup berlimpah.

"Kesepakatan kami (OPEC) adalah pasar harus diseimbangkan. Kalau itu perlu dilakukan dengan mengurangi pasokan 1 juta barel/hari, maka akan kami lakukan. Sanksi (AS kepada Iran) ternyata tidak mengurangi pasokan seperti perkiraan pasar," ungkap al-Falih, dikutip dari Reuters.

BACA: Saudi Pangkas Pasokan, Harga Minyak Naik 1% di Awal Pekan!

Namun, rencana ini kemudian mendapat kritik dari Trump. Melalui cuitan di Twitter, Trump meminta agar Arab Saudi dan OPEC tidak mengurangi pasokan minyak agar harga si emas hitam tidak melambung.  

"Berharap Arab Saudi dan OPEC tidak mengurangi produksi minyak. Harga minyak seharusnya lebih rendah karena (tingginya) pasokan," cuit Trump.

'Veto' Trump tampaknya sukses, investor lebih condong melihat pasokan akan melimpah meski ada risiko penurunan produksi. Persepsi ini sebenarnya wajar. Berdasarkan pengalaman, OPEC dan mitra produsen non-OPEC memang memutuskan untuk menambah produksi minyak mentah pada Juni lalu, pasca dikritik keras oleh Trump.

Terlebih, sudah bukan rahasia bahwa Saudi merupakan sekutu yang loyal pada AS. Negeri Paman Sam memang membantu Negeri Padang Pasir untuk urusan keamanan di Timur Tengah. Akibatnya, Saudi (sebagai pemimpin de-facto OPEC), bisa saja membatalkan rencananya untuk memangkas produksi.

Gara-gara kritik Trump tersebut, harga minyak yang sempat menguat langsung berbalik arah, pada perdagangan kemarin. Pelemahan itu lantas berlanjut pada perdagangan hari ini.

Selain sentimen dari orang no.1 di AS, harga minyak juga mendapatkan sentimen negatif dari dolar AS yang yang menguat cukup tajam. Pada pukul 04:46 WIB hari ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat hingga 0,77% ke 97,656. Ini merupakan posisi tertinggi sejak Juni 2017.

Perkasanya dolar AS akan membuat harga minyak (yang diperdagangkan dengan mata uang dolar AS) menjadi relatif lebih mahal terhadap negara dengan mata uang lainnya. Hal ini lantas menjadi sentimen berkurangnya permintaan komoditas energi utama dunia ini. 

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
  


(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular