
Rupiah Terlemah Kedua di Asia, dengan Catatan...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 November 2018 08:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah. Minimnya sentimen positif dari dalam negeri membuat rupiah terseret arus penguatan dolar AS yang terjadi secara global.
Pada Selasa (13/11/2018), US$ 1 setara dengan Rp 14.835 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah bertambah dalam. Pada pukul 08:16 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.845 di mana rupiah melemah 0,24%.
Kemarin, rupiah mengakhiri hari dengan pelemahan 0,89%. Sudah 2 hari beruntun rupiah melemah cukup dalam, bahkan menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia.
Pagi ini, sayangnya dolar AS masih jumawa di Asia. Mayoritas mata uang Asia tidak berdaya di hadapan greenback, kecuali yen Jepang dan baht Thailand.
Dengan depresiasi 0,24%, rupiah jadi mata uang terlemah kedua di Asia setelah rupee India. Namun dengan catatan, pasar valas India belum dibuka sehingga pelemahan rupee masih menunjukkan posisi kemarin. Ketika pasar valas Negeri Bollywood dibuka, entah apakah rupiah masih menjadi terlemah kedua atau malah menjadi yang paling lemah di Benua Kuning.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:20 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dolar AS tidak hanya perkasa di Asia, tetapi penguatannya sudah mengglobal. Pada pukul 08:23 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,04%.
Melihat yen yang juga menguat, sepertinya investor memang sedang memilih bermain aman. Aset-aset berisiko mengalami tekanan jual dan aliran dana mengarah ke safe haven, dalam hal ini dolar AS dan yen Jepang.
Tidak hanya mata uang negara-negara berkembang Asia, instrumen berisiko seperti saham pun ramai-ramai dilepas. Bursa saham Asia menjelma menjadi lautan merah, seperti Wall Street yang dini hari tadi waktu Indonesia anjlok cukup dalam. Pada pukul 08:26 WIB, Indeks Nikkei 225 amblas 3,43%, Kospi jatuh 1,92%, Straits Times ambrol 1,14%, dan KLCI (Malaysia) turun 0,67%.
Kemungkinan pelaku pasar melihat ada risiko besar di Eropa. Pertama, lagi-lagi proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) menemui hambatan.
Mengutip Sunday Times, 4 orang menteri di kabinet Perdana Menteri Theresa May dikabarkan siap mundur karena mendukung Inggris untuk tetap menjadi bagian Uni Eropa. Akhir pekan lalu, Wakil Menteri Transportasi Jo Johnson sudah mundur dan kabarnya menteri-menteri lain siap menyusul.
Tidak hanya itu, Brussel juga disebut menolak proposal yang diajukan London terkait kesepakatan sementara terkait wilayah kepabeanan di Pulau Irlandia. "Negosiasi secara intens terus dilakukan, tetapi isu wilayah kepabeanan di Irlandia belum menemui jalan keluar," kata Michael Barnier, Kepala Negosiator Uni Eropa untuk Brexit, dikutip dari Reuters.
Di Italia, drama rencana anggaran negara 2019 masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar. Uni Eropa sudah menolak rencana anggaran tersebut dan memberi waktu kepada Italia untuk merevisi sampai Selasa waktu setempat.
Uni Eropa juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Negeri Pizza. Untuk 2019, Uni Eropa memperkirakan ekonomi Italia tumbuh 1,1%. Lebih rendah ketimbang proyeksi pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte di 1,2%.
Ketidakpastian soal Brexit dan fiskal Italia membuat investor menghindari risiko. Bermain aman menjadi pilihan utama dan dolar AS pun menjadi pilihan pertama. Akibatnya, rupiah dan mata uang Asia pun tidak berdaya.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, belum ada sentimen positif yang mampu menopang rupiah. Bahkan yang ada adalah beban tambahan dari rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).
Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018 mengalami defisit US$ 4,39 miliar, paling dalam sejak kuartal II-2018. NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Pada kuartal II-2018, keduanya tekor.
Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014.
Sementara transaksi modal dan finansial, yang mencerminkan pasokan valas dari investasi di sektor riil dan pasar keuangan, defisit US$ 4,67 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,44 miliar.
Dengan NPI yang defisit, bahkan lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Selasa (13/11/2018), US$ 1 setara dengan Rp 14.835 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah bertambah dalam. Pada pukul 08:16 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.845 di mana rupiah melemah 0,24%.
Kemarin, rupiah mengakhiri hari dengan pelemahan 0,89%. Sudah 2 hari beruntun rupiah melemah cukup dalam, bahkan menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia.
Pagi ini, sayangnya dolar AS masih jumawa di Asia. Mayoritas mata uang Asia tidak berdaya di hadapan greenback, kecuali yen Jepang dan baht Thailand.
Dengan depresiasi 0,24%, rupiah jadi mata uang terlemah kedua di Asia setelah rupee India. Namun dengan catatan, pasar valas India belum dibuka sehingga pelemahan rupee masih menunjukkan posisi kemarin. Ketika pasar valas Negeri Bollywood dibuka, entah apakah rupiah masih menjadi terlemah kedua atau malah menjadi yang paling lemah di Benua Kuning.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:20 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dolar AS tidak hanya perkasa di Asia, tetapi penguatannya sudah mengglobal. Pada pukul 08:23 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,04%.
Melihat yen yang juga menguat, sepertinya investor memang sedang memilih bermain aman. Aset-aset berisiko mengalami tekanan jual dan aliran dana mengarah ke safe haven, dalam hal ini dolar AS dan yen Jepang.
Tidak hanya mata uang negara-negara berkembang Asia, instrumen berisiko seperti saham pun ramai-ramai dilepas. Bursa saham Asia menjelma menjadi lautan merah, seperti Wall Street yang dini hari tadi waktu Indonesia anjlok cukup dalam. Pada pukul 08:26 WIB, Indeks Nikkei 225 amblas 3,43%, Kospi jatuh 1,92%, Straits Times ambrol 1,14%, dan KLCI (Malaysia) turun 0,67%.
Kemungkinan pelaku pasar melihat ada risiko besar di Eropa. Pertama, lagi-lagi proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) menemui hambatan.
Mengutip Sunday Times, 4 orang menteri di kabinet Perdana Menteri Theresa May dikabarkan siap mundur karena mendukung Inggris untuk tetap menjadi bagian Uni Eropa. Akhir pekan lalu, Wakil Menteri Transportasi Jo Johnson sudah mundur dan kabarnya menteri-menteri lain siap menyusul.
Tidak hanya itu, Brussel juga disebut menolak proposal yang diajukan London terkait kesepakatan sementara terkait wilayah kepabeanan di Pulau Irlandia. "Negosiasi secara intens terus dilakukan, tetapi isu wilayah kepabeanan di Irlandia belum menemui jalan keluar," kata Michael Barnier, Kepala Negosiator Uni Eropa untuk Brexit, dikutip dari Reuters.
Di Italia, drama rencana anggaran negara 2019 masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar. Uni Eropa sudah menolak rencana anggaran tersebut dan memberi waktu kepada Italia untuk merevisi sampai Selasa waktu setempat.
Uni Eropa juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Negeri Pizza. Untuk 2019, Uni Eropa memperkirakan ekonomi Italia tumbuh 1,1%. Lebih rendah ketimbang proyeksi pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte di 1,2%.
Ketidakpastian soal Brexit dan fiskal Italia membuat investor menghindari risiko. Bermain aman menjadi pilihan utama dan dolar AS pun menjadi pilihan pertama. Akibatnya, rupiah dan mata uang Asia pun tidak berdaya.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, belum ada sentimen positif yang mampu menopang rupiah. Bahkan yang ada adalah beban tambahan dari rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).
Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018 mengalami defisit US$ 4,39 miliar, paling dalam sejak kuartal II-2018. NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Pada kuartal II-2018, keduanya tekor.
Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014.
Sementara transaksi modal dan finansial, yang mencerminkan pasokan valas dari investasi di sektor riil dan pasar keuangan, defisit US$ 4,67 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,44 miliar.
Dengan NPI yang defisit, bahkan lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular