
Dua Hal Ini Bikin BI Was-was di Akhir 2018
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
12 November 2018 15:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang menjadi beban bagi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih menjadi kekhawatiran Bank Indonesia (BI) pada tahun ini.
Hal tersebut dikemukakan Kepala Grup Hubungan Internasional Bank Indonesia (BI) Wahyu Pratomo dalam seminar bertajuk "Election Year, A New Era of Indonesia's Economic Triump di Universitas Indonesia.
"Risiko domestik BI melihat CAD yang melebar dan tekanan kurs," kata Wahyu, Senin (12/11/2018).
BI menjelaskan, sejumlah indikator perekonomian domestik masih menunjukkan kinerja positif. Misalnya, dari realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2018 yang tumbuh di atas 5%.
Meski demikian, akselerasi perekonomian harus dibayar mahal dengan menggeliatnya impor, sampai-sampai tak mampu menandingi kinerja ekspor. Neraca perdagangan pun tak optimal.
"Ekspor kinerja membaik, tapi belum sesuai harapan terutama dalam beberapa bulan terakhir neraca perdagangan ada tekanan," jelasnya.
Belum lagi, ditambah dengan pengetatan likuiditas global yang menyebabkan aliran modal di sejumlah negara berkembang kembali ke AS karena kenaikan bunga acuan bank sentral Paman Sam.
BI menegaskan, akan melakukan berbagai cara untuk melakukan stabilisasi, khususnya stabilitas nilai tukar. Bukan hanya melalui kenaikan bunga acuan, melainkan juga dari kebijakan lainnya.
"Kami lakukan intervensi ganda di pasar valas maupun di pasar SBN, khususnya pasar sekunder untuk mitigasi. Kami juga ada swap valas dan hedging lebih murah," tegasnya.
(dru) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!
Hal tersebut dikemukakan Kepala Grup Hubungan Internasional Bank Indonesia (BI) Wahyu Pratomo dalam seminar bertajuk "Election Year, A New Era of Indonesia's Economic Triump di Universitas Indonesia.
"Risiko domestik BI melihat CAD yang melebar dan tekanan kurs," kata Wahyu, Senin (12/11/2018).
Meski demikian, akselerasi perekonomian harus dibayar mahal dengan menggeliatnya impor, sampai-sampai tak mampu menandingi kinerja ekspor. Neraca perdagangan pun tak optimal.
"Ekspor kinerja membaik, tapi belum sesuai harapan terutama dalam beberapa bulan terakhir neraca perdagangan ada tekanan," jelasnya.
Belum lagi, ditambah dengan pengetatan likuiditas global yang menyebabkan aliran modal di sejumlah negara berkembang kembali ke AS karena kenaikan bunga acuan bank sentral Paman Sam.
BI menegaskan, akan melakukan berbagai cara untuk melakukan stabilisasi, khususnya stabilitas nilai tukar. Bukan hanya melalui kenaikan bunga acuan, melainkan juga dari kebijakan lainnya.
"Kami lakukan intervensi ganda di pasar valas maupun di pasar SBN, khususnya pasar sekunder untuk mitigasi. Kami juga ada swap valas dan hedging lebih murah," tegasnya.
(dru) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!
Most Popular