
Dolar AS Mengamuk, Rupiah Terlemah Kedua di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 November 2018 12:30

Tidak hanya di Asia, dolar AS memang sedang perkasa di dunia. Pada pukul 12:07 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,13%.
Faktor internal dan eksternal mendukung keperkasaan dolar AS. Hasil rapat The Federal Reserve/The Fed akhir pekan lalu masih menjadi energi bagi greenback.
Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memang mempertahankan suku bunga acuan di 2-2,25%. Namun The Fed masih memandang kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang layak untuk ditempuh.
Pernyataan ini membuat pelaku pasar bernafsu memburu dolar AS. Pasalnya kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengatrol imbalan investasi, terutama di instrumen berpendapatan tetap.
Dari eksternal, dolar AS kembali jadi buruan karena tingginya risiko di Inggris. Lagi-lagi proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) menemui hambatan.
Mengutip Sunday Times, 4 orang menteri di kabinet Perdana Menteri Theresa May dikabarkan siap mundur karena mendukung Inggris untuk tetap menjadi bagian Uni Eropa. Tidak hanya itu, Brussel juga disebut menolak proposal yang diajukan London terkait kesepakatan sementara terkait wilayah kepabeanan di Pulau Irlandia.
Ketidakpastian soal Brexit membuat investor menghindari Benua Biru. Dolar AS kembali jadi pilihan, sehingga memperkuat mata uang ini.
Sementara dari dalam negeri, rupiah juga terbeban karena rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Pada kuartal III-2018, NPI mengalami defisit US$ 4,39 miliar, terendah sejak kuartal III-2015.
NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Pada kuartal II-2018, keduanya tekor.
Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014. Pos ini menjadi perhatian utama pelaku pasar, karena mencerminkan pasokan devisa dari sumber yang lebih berjangka panjang yaitu perdagangan.
Dengan NPI (dan transaksi berjalan) yang defisit, bahkan lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik terutama rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Faktor internal dan eksternal mendukung keperkasaan dolar AS. Hasil rapat The Federal Reserve/The Fed akhir pekan lalu masih menjadi energi bagi greenback.
Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memang mempertahankan suku bunga acuan di 2-2,25%. Namun The Fed masih memandang kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang layak untuk ditempuh.
Pernyataan ini membuat pelaku pasar bernafsu memburu dolar AS. Pasalnya kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengatrol imbalan investasi, terutama di instrumen berpendapatan tetap.
Dari eksternal, dolar AS kembali jadi buruan karena tingginya risiko di Inggris. Lagi-lagi proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) menemui hambatan.
Mengutip Sunday Times, 4 orang menteri di kabinet Perdana Menteri Theresa May dikabarkan siap mundur karena mendukung Inggris untuk tetap menjadi bagian Uni Eropa. Tidak hanya itu, Brussel juga disebut menolak proposal yang diajukan London terkait kesepakatan sementara terkait wilayah kepabeanan di Pulau Irlandia.
Ketidakpastian soal Brexit membuat investor menghindari Benua Biru. Dolar AS kembali jadi pilihan, sehingga memperkuat mata uang ini.
Sementara dari dalam negeri, rupiah juga terbeban karena rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Pada kuartal III-2018, NPI mengalami defisit US$ 4,39 miliar, terendah sejak kuartal III-2015.
NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Pada kuartal II-2018, keduanya tekor.
Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014. Pos ini menjadi perhatian utama pelaku pasar, karena mencerminkan pasokan devisa dari sumber yang lebih berjangka panjang yaitu perdagangan.
Dengan NPI (dan transaksi berjalan) yang defisit, bahkan lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik terutama rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular