
Di Kurs Acuan, Rupiah Menguat 8 Hari Beruntun!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 November 2018 10:28

Dolar AS perkasa di Asia setelah mendapat suntikan tenaga dari hasil rapat The Federal Reserve/The Fed. Jerome 'Jay' Powell dan kolega memang mempertahankan suku bunga acuan di 2-2,25%. Bahkan The Fed menyebut ada risiko perlambatan investasi di Negeri Paman Sam.
Namun risiko tersebut tidak menyurutkan niat bank sentral AS untuk tetap dalam mode pengetatan kebijakan moneter. Dalam pernyataan tertulisnya, The Fed menyebut siklus kenaikan suku bunga acuan secara gradual masih akan ditempuh.
"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan The Fed.
Pelaku pasar pun mendapatkan petunjuk yang lebih jelas mengenai potensi kenaikan suku bunga acuan pada rapat Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada rapat 19 Desember adalah 75,8%. Naik dibandingkan posisi kemarin yaitu 74,6% dan seminggu yang lalu sebesar 68,8%.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut menaikkan imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS akan meningkat dan nilainya semakin kuat.
Mata uang Asia juga terbeban akibat rilis data ekonomi terbaru di China. Biro Statistik Nasional China menyebutkan, inflasi produsen pada Oktober 2015 tercatat 3,3% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,6%.
Data ini menunjukkan bahwa dunia usaha China mengalami penurunan gairah. Salah satunya akibat perang dagang dengan AS, yang merupakan negara tujuan ekspor utama Negeri Tirai Bambu.
Saat produk China makin sulit masuk ke Negeri Adidaya karena berbagai bea masuk, industri dalam negeri pun kesulitan. Geliat industri berkurang, sehingga kenaikan harga tidak secepat sebelumnya.
China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga hidup-mati China akan sangat mempengaruhi negara-negara Asia lainnya. Ketika kinerja ekonomi China melambat, maka ada risiko menurunkan aktivitas para tetangganya termasuk Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Namun risiko tersebut tidak menyurutkan niat bank sentral AS untuk tetap dalam mode pengetatan kebijakan moneter. Dalam pernyataan tertulisnya, The Fed menyebut siklus kenaikan suku bunga acuan secara gradual masih akan ditempuh.
"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan The Fed.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut menaikkan imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS akan meningkat dan nilainya semakin kuat.
Mata uang Asia juga terbeban akibat rilis data ekonomi terbaru di China. Biro Statistik Nasional China menyebutkan, inflasi produsen pada Oktober 2015 tercatat 3,3% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,6%.
Data ini menunjukkan bahwa dunia usaha China mengalami penurunan gairah. Salah satunya akibat perang dagang dengan AS, yang merupakan negara tujuan ekspor utama Negeri Tirai Bambu.
Saat produk China makin sulit masuk ke Negeri Adidaya karena berbagai bea masuk, industri dalam negeri pun kesulitan. Geliat industri berkurang, sehingga kenaikan harga tidak secepat sebelumnya.
China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga hidup-mati China akan sangat mempengaruhi negara-negara Asia lainnya. Ketika kinerja ekonomi China melambat, maka ada risiko menurunkan aktivitas para tetangganya termasuk Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular