
Makin Sangar, Rupiah Menguat 1,26%
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 November 2018 14:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah benar-benar tidak terbendung hari ini. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), rupiah menguat hingga kisaran 1%.
Pada Selasa (6/11/2018) pukul 14:12 WIB, US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.787. Rupiah melonjak dengan penguatan mencapai 1,26%. Ini merupakan posisi terkuat rupiah sejak awal September.
Dalam sebulan terakhir, rupiah menguat 2,81%. Namun sejak awal tahun, mata uang Tanah Air masih anjlok 9,01%.
Angin segar buat rupiah datang dari penurunan harga minyak. Pada pukul 14:34 WIB, harga minyak jenis brent masih turun 0,6% sementara light sweet berkurang 0,32%.
Sanksi AS kepada Iran yang sudah berlaku mulai 4 November sejauh ini tidak mempengaruhi suplai si emas hitam di pasar dunia. Sebab, ternyata pelaku pasar lebih mengkhawatirkan risiko penurunan permintaan akibat perlambatan ekonomi dunia.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam proyeksi keluaran Oktober 2018 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini dan tahun depan masing-masing 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Juli yaitu 3,9% untuk 2018 dan 2019.
Jadi meski pasokan berkurang tetapi kalau permintaan energi juga turun karena perlambatan ekonomi ya sama saja bohong. Akhirnya harga minyak pun tekoreksi.
Selain itu, AS juga memberikan kelonggaran kepada delapan negara untuk tetap mengimpor minyak dari Iran selama 180 hari ke depan. Delapan negara itu adalah China, India, Korea Selatan, Jepang, Italia, Yunani, Taiwan, dan Turki.
Kombinasi dua faktor tersebut menyebabkan harga minyak turun. Koreksi harga minyak menjadi sentimen positif bagi rupiah karena penurunan harga minyak akan menurunkan biaya impor migas. Neraca migas yang defisit sangat dalam menjadi penyebab defisit yang terjadi di transaksi berjalan (current account) sehingga pasokan valas menjadi terbatas dan rupiah sulit menguat.
Pada Selasa (6/11/2018) pukul 14:12 WIB, US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.787. Rupiah melonjak dengan penguatan mencapai 1,26%. Ini merupakan posisi terkuat rupiah sejak awal September.
Dalam sebulan terakhir, rupiah menguat 2,81%. Namun sejak awal tahun, mata uang Tanah Air masih anjlok 9,01%.
Angin segar buat rupiah datang dari penurunan harga minyak. Pada pukul 14:34 WIB, harga minyak jenis brent masih turun 0,6% sementara light sweet berkurang 0,32%.
Sanksi AS kepada Iran yang sudah berlaku mulai 4 November sejauh ini tidak mempengaruhi suplai si emas hitam di pasar dunia. Sebab, ternyata pelaku pasar lebih mengkhawatirkan risiko penurunan permintaan akibat perlambatan ekonomi dunia.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam proyeksi keluaran Oktober 2018 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini dan tahun depan masing-masing 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Juli yaitu 3,9% untuk 2018 dan 2019.
Jadi meski pasokan berkurang tetapi kalau permintaan energi juga turun karena perlambatan ekonomi ya sama saja bohong. Akhirnya harga minyak pun tekoreksi.
Selain itu, AS juga memberikan kelonggaran kepada delapan negara untuk tetap mengimpor minyak dari Iran selama 180 hari ke depan. Delapan negara itu adalah China, India, Korea Selatan, Jepang, Italia, Yunani, Taiwan, dan Turki.
Kombinasi dua faktor tersebut menyebabkan harga minyak turun. Koreksi harga minyak menjadi sentimen positif bagi rupiah karena penurunan harga minyak akan menurunkan biaya impor migas. Neraca migas yang defisit sangat dalam menjadi penyebab defisit yang terjadi di transaksi berjalan (current account) sehingga pasokan valas menjadi terbatas dan rupiah sulit menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Cadangan Devisa Tak Lagi Tergerus?
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular