Dari global, faktor meredanya tensi perang dagang antara AS dan China memberi imbas positif bagi pasar keuangan global, tak terkecuali Indonesia.
Tanda-tanda meredanya hubungan panas kedua negara berasal dari penyataan Penasehat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow. Menurutnya, pimpinan kedua negara berencana untuk bertemu di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini. Presiden AS Donald Trump menyatakan arah pembicaraan kedua negara cukup positif.
"Diskusi dengan China sangat baik. Kami berdua semakin dekat untuk mencapai sesuatu. Saya rasa kami akan mencapai kesepakatan dengan China, dan itu akan adil untuk semua," kata Trump kepada jurnalis di Gedung Putih, dikutip dari Reuters.
Imbas dari tanda-tanda rujuknya kedua negara menghembuskan risk appetite (berburu instrumen investasi beresiko) kembali tumbuh. Sejak awal November, aliran modal asing bersih yang masuk ke pasar saham telah mencapai Rp 4,96 triliun.
Modal asing yang melimpah ikut memberikan angin segar bagi rupiah, sehingga mampu menguat tajam.
Dari dalam negeri, setidaknya ada dua faktor yang membuat pergerakan rupiah semakin cantik. Pertama, kehadiran pasar Domestik-Non Delivery Forward (DNDF).
Pada Kamis (1/11/2018) Bank Indonesia resmi memperkenalkan pasar DNDF dalam dua tenor yaitu 1 dan 3 bulan.
Kehadiran DNDF berimbas positif bagi rupiah sebab aliran valas di dalam negeri terjaga. Situasi tersebut tidak lepas dari dukungan berbagai stakeholder terkait.
"Saya sampaikan terima kasih ke perbankan, pelaku keuangan dan korporasi yang aktif di pasar valas," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di kantornya, Jakarta, Jumat (2/11/2018).
Selain itu, aturan DNDF yang harus memberlakukan underlying dan memiliki tujuan yang jelas, mendorong aksi spekulasi berkurang. Hal tersebut mendorong ketersedian valas di pasar terjaga.
Selain DNDF, obat kuat lain datang dari rilis pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018. Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018 sebesar 5,17% Year-on-Year (YoY).
Meskipun pencapaian ini lebih lambat dibandingkan kuartal II-2018 sebesar 5,27%, namun lebih tinggi dari konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,14%. Di sisi lain, pencapaian ini lebih tinggi dari periode yang sama pada tahun 2017 sebesar 5,06% YoY.
Saat kondisi ekonomi global yang tidak menentu, keberhasilan pemerintah mempertahankan tren positif pertumbuhan ekonomi tentu diapresiasi pasar. Terlebih bank-bank sentral di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, mulai mengetatkan kebijakan moneternya guna merespon normalisasi kebijakan di Amerika Serikat (AS).
Bank Indonesia (BI) sendiri telah menaikkan suku bunga acuan hingga 150 basis poin (bps) pada tahun ini. Imbas dari kebijakan ini, tentu mengancam pertumbuhan beberapa variabel pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) diantaranya investasi dan konsumsi. Namun faktanya, kedua variabel tetap tumbuh baik.
Sektor investasi masih tumbuh 6,96%, bahkan lebih baik dibandingkan kuartal II-2018 yaitu 5,86%. Sementara konsumsi masih terjaga di atas 5%. Ketika dua variabel ini kontributor terbesar pembentuk PDB.
Maka, saat pertumbuhan keduannya masih terjaga, akan mendorong pertumbuhan ekonomi tetap positif. Dampak ikut memberikan energi tambahan bagi penguatan rupiah terhadap dolar AS, sehingga mampu menipiskan pelemahan sejak awal tahun.
TIM RISET CNBC INDONESIA