Permintaan Masih Diramal Lesu, Harga Minyak ke Zona Merah

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
06 November 2018 10:43
Pada perdagangan hari ini Selasa (6/11/2018) pukul 10.15 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 turun 0,44% ke level US$ 72,85/barel.
Foto: REUTERS/Andrew Cullen
Jakarta, CNBC IndonesiaPada perdagangan hari ini Selasa (6/11/2018) pukul 10.15 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 turun 0,44% ke level US$ 72,85/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desember 2018 terkoreksi 0,30% ke level US$ 62,91/barel.

Harga minyak kembali tidak bertenaga pasca kemarin ditutup bervariasi. Pada penutupan perdagangan hari  Senin (5/11/2018), harga brent yang menjadi acuan di Eropa naik 0,47%, sementara harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) turun tipis 0,06%.

Dengan pelemahan hari, harga minyak light sweet masih betah berada di level terendahya dalam 7 bulan terakhir, atau sejak awal April 2018.

Sentimen negatif yang membayangi pergerakan harga sang emas hitam ini datang dari kebijakan AS yang secara sementara mengizinkan 8 importir membeli minyak mentah Iran, pasokan minyak yang bertambah dari top 3 produsen global, dan prospek perlambatan ekonomi global yang dikhawatirkan akan menekan permintaan.



Sebagai informasi, per 4 November, Negeri Paman Sam telah resmi kembali mengaktifkan sanksi yang memaksa Iran untuk membatasi aktivitas nuklir dan rudal. Sudah sejak lama, Presiden AS Donald Trump mengancam sejumlah perusahaan dan negara untuk menghentikan pembelian minyak mentah Negeri Persia, dengan tujuan mendorong volume ekspor Iran ke level 0.

Akibat sanksi tersebut, ekspor minyak Iran, yang mencapai 2,5 juta barel per hari di waktu normal, akan jatuh menjadi 1-2 juta barel/hari.  Hal ini diperkirakan akan semakin memperparah disrupsi pasokan yang sebenarnya sedang terjadi Libya, Venezuela, Nigeria, Meksiko, dan Angola.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo bahkan mengklaim bahwa sudah lebih dari 20 negara telah memangkas volume impor minyak mentah dari Iran, mengurangi pembelian hingga lebih dari 1 juta barel/hari.Hal ini lantas mampu memberikan tenaga bagi penguatan harga brent kemarin.

Meski demikian, penguatan harga kemarin terbatas oleh kebijakan AS yang memberi keringanan kepada delapan negara untuk tetap boleh membeli minyak dari Negeri Persia. Delapan negara tersebut adalah China, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India, Turki, Italia, dan Yunani.

BACA: AS Ringankan Sanksi Iran, Harga Minyak Turun Makin Dalam

Pompeo mengatakan bahwa pengecualian itu diberikan karena negara-negara tersebut sudah  secara konsisten mengurangi impor minyak dari Iran selama 6 bulan terakhir. Selain itu, AS juga tidak mau harga minyak langsung naik tidak karuan gara-gara sanksi ini.

"Saya bisa saja memotong pasokan minyak Iran menjadi nol dengan segera. Namun itu akan menimbulkan shock di pasar. Saya tidak mau membuat harga minyak naik," tegas Pompeo, dikutip dari Reuters.

Hal senada disampaikan oleh sang presiden Trump yang ingin menetapkan sanksi secara bertahap. "Urusan minyak, sangat menarik. Kita punya sanksi terberat yang pernah diterapkan, tapi untuk minyak kita ingin berangkat sedikit lebih lambat karena saya tidak mau mengangkat harga minyak di dunia," kata Trump pada reporter, seperti dikutip dari Reuters.

"Saya bisa saja membuat ekspor Iran turun ke level 0 sesegera mungkin, tapi hal ini akan menimbulkan shock pada pasar. Saya tidak mau mengangkat harga (minyak)," tambah orang no. 1 di AS itu.

Akibatnya, kini muncul persepsi bahwa pasokan global tidak akan terlalu seret menyusul adanya sanksi pada Iran, setidaknya untuk saat ini. Hal ini lantas membatasi penguatan harga minyak kemarin, sekaligus menjadi pemberat harga pada hari ini.

Bicara mengenai pasokan minyak di pasar global, kini ini AS, Rusia, dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Indonesia (OPEC) kompak memberikan sinyal bahwa mereka siap membanjiri pasokan pasar minyak dunia. Hal ini memberikan sentimen negatif tambahan bagi pergerakan harga minyak hari ini.

Dari Negeri Adidaya, Departemen Energi AS menyatakan bahwa produksi minyak mentah menyentuh rekor tertinggi 11,35 juta barel/hari di Agustus, dan diekspektasikan akan terus bertambah.  Secara mingguan, pada pekan lalu produksinya mencapai 11,2 juta barel/hari.

Dari OPEC, survei Reuters menemukan bahwa 15 negara anggota OPEC memproduksi 33,31 juta barel/hari minyak mentah pada bulan Oktober. Capaian itu naik 390.000 barel/hari dari bulan sebelumnya, sekaligus merupakan level tertinggi sejak Desember 2016.

Dari Negeri Beruang Merah, produksi minyak Russia telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.

Terakhir, permintaan global yang lesu juga membebani pergerakan harga pada hari ini. Jamel Ahmad, kepala riset dari FXTM, menyatakan bahwa proyeksi permintaan global yang lesu akibat prospek ekonomi yang suram justru lebih berisiko pada harga minyak saat ini, dibandingkan dengan dampak sanksi terhadap Iran, seperti dilansir dari Reuters.

Jamal menambahkan bahwa perlambatan ekonomi dan permintaan bahan bakar menjadi risiko yang lebih besar bagi pasar minyak global pada beberapa bulan mendatang. Pelemahan nilai tukar telah memberikan tekanan bagi pertumbuhan ekonomi di Asia, termasuk India dan Indonesia.Di saat yang bersamaan, perang dagang antara AS dan China juga masih mengancam pertumbuhan di kedua raksasa ekonomi dunia tersebut.  

Saat pasokan diekspektasikan melambung, namun permintaan justru diperkirakan lesu, maka yang terjadi justru kondisi oversupply di pasar. Akibatnya, harga minyak pun tak lepas dari koreksi pada pagi ini.


(TIM RISET CNBC INDONESIA)    

(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular