
Perang Dagang dan Risiko Perlambatan Ekonomi Lemahkan Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 November 2018 09:34

Dari dalam negeri, faktor pemberat rupiah datang dari proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2018 yang diperkirakan melambat. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2018 sebesar 5,14% secara year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,27% YoY.
Apabila realisasinya sesuai dengan ekspektasi, atau bahkan lebih rendah, maka tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih di kisaran 5%, tetapi melambat dan ini menjadi catatan di benak investor. Kekuatan fundamental ekonomi Indonesia yang terkikis tentu membuat pasar keuangan Tanah Air cenderung dihindari pelaku pasar.
Sementara faktor eksternal yang menjadi pemberat rupiah adalah perang dagang AS vs China yang kembali memanas. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping memang akan menggelar pertemuan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini.
Namun bukan berarti pertemuan tersebut akan menelurkan hasil positif. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow mengingatkan masih ada risiko. Bahkan bukan tidak mungkin perundingan itu tidak menghasilkan apa-apa dan AS kembali menerapkan bea masuk baru bagi produk-produk made in China.
"Saya tidak seoptimitis sebelumnya mengenai pembicaraan dagang dengan China. Bahkan Bapak Presiden bisa saja menarik pelatuk dan mengenakan bea masuk baru, tergantung bagaimana hasil pembicaraan," ungkap Kudlow, dikutip dari Reuters.
Kudlow membuat mood pelaku pasar kembali suram, bahwa risiko perang dagang lanjutan masih ada. Akibatnya, investor melepas aset-aset berisiko dan kembali ke pelukan safe haven.
Jika pesimisme terkait pembicaraan AS-China masih bertahan, maka pasar keuangan Asia akan ikut merasakan dampaknya. Pasti akan menjadi sentimen negatif yang sangat signifikan, karena investor kehilangan minat untuk masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Apabila realisasinya sesuai dengan ekspektasi, atau bahkan lebih rendah, maka tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih di kisaran 5%, tetapi melambat dan ini menjadi catatan di benak investor. Kekuatan fundamental ekonomi Indonesia yang terkikis tentu membuat pasar keuangan Tanah Air cenderung dihindari pelaku pasar.
Sementara faktor eksternal yang menjadi pemberat rupiah adalah perang dagang AS vs China yang kembali memanas. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping memang akan menggelar pertemuan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini.
"Saya tidak seoptimitis sebelumnya mengenai pembicaraan dagang dengan China. Bahkan Bapak Presiden bisa saja menarik pelatuk dan mengenakan bea masuk baru, tergantung bagaimana hasil pembicaraan," ungkap Kudlow, dikutip dari Reuters.
Kudlow membuat mood pelaku pasar kembali suram, bahwa risiko perang dagang lanjutan masih ada. Akibatnya, investor melepas aset-aset berisiko dan kembali ke pelukan safe haven.
Jika pesimisme terkait pembicaraan AS-China masih bertahan, maka pasar keuangan Asia akan ikut merasakan dampaknya. Pasti akan menjadi sentimen negatif yang sangat signifikan, karena investor kehilangan minat untuk masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular