Perang Dagang dan Risiko Perlambatan Ekonomi Lemahkan Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 November 2018 09:34
Perang Dagang dan Risiko Perlambatan Ekonomi Lemahkan Rupiah
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tidak mampu mempertahankan penguatan yang terjadi pekan lalu. Hari ini, sentimen eksternal dan domestik memang kurang suportif terhadap rupiah. 

Pada Senin (5/11/2018) pukul 09:13 WIB, US$ 1 di pasar spot sama dengan Rp 14.975. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu. 

Membuka pasar spot, rupiah berada di Rp 14.950/US$ atau tidak berubah dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya. Namun rupiah kemudian tergelincir ke zona merah. 


Akhir pekan lalu, rupiah menguat signifikan 1,16% terhadap dolar AS. Sementara sepekan kemarin, penguatan rupiah mencapai 1,74%. 

Akan tetapi hari ini penguatan itu tidak bisa dipertahankan. Rupiah pun senasib dengan mata uang utama Asia yang juga mayoritas melemah di hadapan greenback. 

Pelemahan terdalam dialami oleh won Korea Selatan, mata uang dengan kinerja terbaik di Asia pekan lalu. Kemudian disusul oleh peso Filipina, dolar Taiwan, dan yuan China. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:18 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari dalam negeri, faktor pemberat rupiah datang dari proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2018 yang diperkirakan melambat. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2018 sebesar 5,14% secara year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,27% YoY. 


Apabila realisasinya sesuai dengan ekspektasi, atau bahkan lebih rendah, maka tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih di kisaran 5%, tetapi melambat dan ini menjadi catatan di benak investor. Kekuatan fundamental ekonomi Indonesia yang terkikis tentu membuat pasar keuangan Tanah Air cenderung dihindari pelaku pasar. 

Sementara faktor eksternal yang menjadi pemberat rupiah adalah perang dagang AS vs China yang kembali memanas. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping memang akan menggelar pertemuan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini.

Namun bukan berarti pertemuan tersebut akan menelurkan hasil positif. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow mengingatkan masih ada risiko. Bahkan bukan tidak mungkin perundingan itu tidak menghasilkan apa-apa dan AS kembali menerapkan bea masuk baru bagi produk-produk made in China

"Saya tidak seoptimitis sebelumnya mengenai pembicaraan dagang dengan China. Bahkan Bapak Presiden bisa saja menarik pelatuk dan mengenakan bea masuk baru, tergantung bagaimana hasil pembicaraan," ungkap Kudlow, dikutip dari Reuters. 

Kudlow membuat mood pelaku pasar kembali suram, bahwa risiko perang dagang lanjutan masih ada. Akibatnya, investor melepas aset-aset berisiko dan kembali ke pelukan safe haven

Jika pesimisme terkait pembicaraan AS-China masih bertahan, maka pasar keuangan Asia akan ikut merasakan dampaknya. Pasti akan menjadi sentimen negatif yang sangat signifikan, karena investor kehilangan minat untuk masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular