Masih Ogah Melemah, Rupiah Terbaik Ketiga di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 November 2018 08:31
Masih Ogah Melemah, Rupiah Terbaik Ketiga di Asia
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) belum bosan menguat. Bahkan kini greenback berhasil didorong ke bawah Rp 15.100. 

Pada Jumat (2/11/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar spot dibanderol Rp 15.085. Rupiah menguat 0,26% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

 
Seiring perjalanan pasar, penguatan rupiah semakin menjadi. Pada pukul 08:07 WIB, US$ 1 dihargai Rp 15.075 di mana rupiah menguat sampai 0,33%. 

Penguatan rupiah sudah terlihat sebelum pasar spot dibuka. Di pasar NDF, rupiah sudah menguat dan menjadi sinyal bahwa mata uang Tanah Air juga akan terapresiasi di pasar spot. 


Kemarin, penguatan rupiah juga agak ugal-ugalan. Rupiah ditutup menguat 0,49% dan menjadi mata uang dengan performa terbaik ketiga di Asia. 


Pagi ini, beberapa mata uang Benua Kuning juga masih mampu menguat di hadapan dolar AS. Dengan apresiasi 0,33%, rupiah jadi mata uang terbaik ketiga Asia. Hanya yuan China dan rupee India yang penguatannya lebih baik dari rupiah. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:12 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Namun rupiah dan mata uang Asia lainnya perlu waspada karena ada tanda-tanda kebangkitan dolar AS. Setelah dihajar habis sejak kemarin, mata uang Negeri Paman Sam mulai bisa melawan balik. 

Pada pukul 08:20 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama dunia) mampu menguat 0,1%. Padahal dini hari tadi indeks ini terpangkas di kisaran 0,8%. 

Koreksi dolar AS yang sudah lumayan dalam membuat investor kembali melirik mata uang ini. Sejak kemarin, Dollar Index sudah melemah 0,79%. 

Investor mungkin sudah gatal ingin masuk ke dolar AS karena harganya sudah murah. Permintaan dolar AS pun meningkat sehingga nilainya terapresiasi. 

Namun faktor eksternal dan dalam negeri AS sebenarnya kurang mendukung penguatan greenback, sehingga kenaikan Dollar Index menjadi terbatas. Dari dalam negeri, indeks ISM manufaktur AS turun ke angka 57,7 pada Oktober dari 59,8 bulan sebelumnya. Pencapaian Oktober adalah yang terendah dalam 6 bulan terakhir. 

Angka di atas 50 memang masih menunjukkan ekspansi aktivitas manufaktur di Negeri Adidaya, tetapi momentumnya mulai melambat. Sebagai informasi, sektor manufaktur menyumbang 12% dari ekonomi AS. Artinya, saat pertumbuhannya melambat, maka perekonomian AS pun terhambat. 

ISM mendeskipsikan bahwa permintaan pada Oktober cukup kuat, menurun dari status solid pada bulan sebelumnya. Lembaga tersebut juga menyatakan bahwa konsumsi melunak, dengan tingkat produksi dan penyerapan tenaga kerja masih tumbuh, tapi pada level yang lebih rendah dibandingkan September. 

Kemudian pada malam hari waktu Indonesia juga akan ada pengumuman angka pengangguran AS periode Oktober 2018. Namun pelaku pasar sepertinya kurang bersemangat menyambut data ini, karena diperkirakan masih sama dengan bulan sebelumnya yaitu 3,7%. 

Sementara dari sisi eksternal, risk appetite investor sedang tinggi karena ada potensi damai dagang AS-China. Melalui cuitan di Twitter, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa dirinya sudah melakukan pembicaraan dengan Presiden China Xi Jinping melalui telepon, dan diskusi di antara kedua pemimpin tersebut berjalan dengan baik. 

"Baru saja melakukan pembicaraan yang baik dengan Presiden Xi Jinping. Kami membicarakan berbagai topik dengan fokus mengenai perdagangan. Diskusi berjalan baik dan rencananya ada pertemuan saat KTT G20 di Argentina. Kami juga melakukan diskusi yang baik membahas Korea Utara!" sebut Trump. 

Beijing pun tidak kalah antusias. Presiden Xi menyatakan kedua negara memang harus meningkatkan hubungan. 

"China dan AS harus berkerja sama dan berkonsultasi seputar isu-isu yang menjadi perhatian. Juga mendorong kesepakatan perdagangan," kata Xi dalam pernyataan yang disiarkan televisi nasional CCTV, seperti dikutip Reuters. 

Kemudian, perkembangan Brexit juga menelurkan hasil positif. Finansial Times mengabarkan bahwa Uni Eropa siap berkompromi dengan Inggris untuk tidak menerapkan batas kepabeanan di laut Irlandia. Soal wilayah kepabeanan di Irlandia ini yang kerap menjadi ganjalan dalam proses berceraian London-Brussel. 

Hal ini bisa menjadi sentimen positif di pasar. Satu demi satu isu seputar Brexit bisa diselesaikan, dan sebuah risiko besar bernama no deal Brexit bisa dihindari.  

"No deal Brexit, Brexit yang tanpa transisi, bukan sebuah skenario yang mungkin terjadi," tegas Maret Carney, Gubernur Bank Sentral Inggris (BoE), mengutip Reuters. 

Ditambah penurunan tensi perang dagang AS-China, perkembangan positif Brexit akan semakin membuat investor berani mengambil risiko. Risk appetite akan kembali tinggi, dan aset-aset aman (safe haven) bukan lagi pilihan utama.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular