
Pak Jokowi.. CAD Diramal Makin Parah, Ini yang Bisa Dilakukan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
30 October 2018 13:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Morgan Stanley merilis riset terbaru mengenai kondisi perekonomian di Indonesia.
Dalam riset yang berjudul "Will Funding Pressure Derail Growth?", Morgan Stanley memroyeksikan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) RI berada di rentang 3,6% - 4,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Kami memroyeksikan defisit transaksi berjalan akan berada di 3,6%-4,1% dari PDB (pada kuartal III-2018)," tulis Morgan Stanley. Untuk keseluruhan tahun 2018, CAD akan berada di 2,9% dari PDB dan membaik pada 2019 sebesar 2,6% dari PDB.
Proyeksi CAD Morgan Stanley sebelumnya untuk keseluruhan tahun 2018 adalah 2,2% dari PDB dan angka yang sama diproyeksikan untuk 2019.
Indonesia sendiri, menurut Morgan Stanley, tengah mengalami lonjakan alias kenaikan dari sisi impor. Adapun permintaan domestik memegang peranan penting dari kenaikan impor tersebut.
"Meskipun harga minyak dunia yang lebih tinggi dan turunnya harga minyak sawit mentah, peningkatan permintaan domestik menjadi pendorong melebarnya defisit transaksi berjalan dibandingkan harga komoditas," tulis Morgan Stanley.
Lantas, sejauh ini kebijakan apa yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi tekanan yang besar pada CAD?
Morgan Stanley menyatakan bahwa tekanan eksternal yang besar sebenarnya sudah direspon pemerintah dengan kombinasi kenaikan suku bunga acuan dengan kebijakan non-moneter untuk mengendalikan Neraca Pembayaran Indonesia.
Apabila ditelusuri lebih jauh, Tim Riset CNBC Indonesia menemukan bahwa kenaikan suku bunga acuan di Indonesia merupakan salah satu yang paling agresif di Benua Asia. Di tahun ini, saja Bank Indonesia (BI) sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 150 basis poin (bps).
Dibandingkan India yang baru menaikkan suku bunga sebesar 50 bps, jelas langkah BI memang sangat hawkish. Bahkan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam belum menaikkan suku bunganya sama sekali pada tahun ini. Sementara, kenaikan di Malaysia juga hanya berkisar 25 bps.
Sementara itu, dari sisi non-moneter, pemerintah mengambil kebijakan untuk membatasi impor. Melansir riset Morgan Stanley, beberapa detail kebijakan yang berhasil dirangkum adalah:
1. Kenaikan pajak impor untuk 1.147 barang konsumsi;
2. Program pencampuran biofuel ke dalam bahan bakar diesel (B20);
3. Adanya prioritas untuk menggunakan produksi minyak mentah domestik. Muncul mandat bagi produsen migas dalam negeri untuk menjual produknya ke Pertamina terlebih dahulu, sebelum melakukan ekspor;
4. Pemerintah mendorong sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk meninjau kembali komponen impor, serta menunda proyek infrastruktur yang belum mencapai tahap financial close;
5. Rencana penurunan pajak pembelian surat utang pemerintah, demi menarik lebih banyak investor asing. Regulasi baru diekspektasikan akan keluar pada akhir tahun ini.
Apa yang bisa diimplementasikan jika tekanan masih belanjut?
Jika penguatan dolar Amerika Serikat (AS) berlanjut, plus kondisi likuiditas global semakin ketat, apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia?
Morgan Stanley berpendapat bahwa kenaikan suku bunga riil, serta kebijakan lainnya untuk menarik lebih banyak aliran modal, akan sangat diperlukan. Gap pembiayaan eksternal pun perlu dipersempit, dengan cara mengelola permintaan domestik, mengelola impor, dan meningkatkan produktivitas.
Khusus di Indonesia, opsi-opsi yang masih bisa diambil pemerintah adalah melonggarkan kebijakan fiskal, pengendalian impor lebih lanjut, penyesuaian harga jual bahan bakar minyak (BBM) untuk mengendalikan permintaan, dan kenaikan Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio).
Bicara mengenai kenaikan harga BBM, defisit perdagangan migas memang menjadi biang kerok "hancurnya" neraca perdagangan di tahun ini. Untuk periode Januari-September 2018 saja defisitnya sudah mencapai US$ 9,37 miliar (Rp 142 triliun). Nilai itu jauh lebih besar dari defisit neraca perdagangan secara total sebesar US$ 3,81 miliar (Rp 58 triliun).
Dalam jangka panjang, reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas amat diperlukan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan secara bersamaan mempersempit gap pembiayaan eksternal.
Untuk kasus Indonesia, Morgan Stanley menyoroti usaha pemerintah untuk meningkatkan pendapatan dari pariwisata di jangka menengah, yang mana akan mendukung perbaikan CAD secara struktural.
Secara spesifik, kebijakan yang bisa diambil antara lain perluasan pembebasan biaya visa untuk lebih banyak negara, pengembangan destinasi wisata baru, dan pembangunan bandara baru.
(RHG/RHG) Next Article Duh, Ada Ramalan Mengejutkan dari Morgan Stanley soal CAD RI
Dalam riset yang berjudul "Will Funding Pressure Derail Growth?", Morgan Stanley memroyeksikan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) RI berada di rentang 3,6% - 4,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Kami memroyeksikan defisit transaksi berjalan akan berada di 3,6%-4,1% dari PDB (pada kuartal III-2018)," tulis Morgan Stanley. Untuk keseluruhan tahun 2018, CAD akan berada di 2,9% dari PDB dan membaik pada 2019 sebesar 2,6% dari PDB.
Indonesia sendiri, menurut Morgan Stanley, tengah mengalami lonjakan alias kenaikan dari sisi impor. Adapun permintaan domestik memegang peranan penting dari kenaikan impor tersebut.
"Meskipun harga minyak dunia yang lebih tinggi dan turunnya harga minyak sawit mentah, peningkatan permintaan domestik menjadi pendorong melebarnya defisit transaksi berjalan dibandingkan harga komoditas," tulis Morgan Stanley.
Lantas, sejauh ini kebijakan apa yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi tekanan yang besar pada CAD?
Morgan Stanley menyatakan bahwa tekanan eksternal yang besar sebenarnya sudah direspon pemerintah dengan kombinasi kenaikan suku bunga acuan dengan kebijakan non-moneter untuk mengendalikan Neraca Pembayaran Indonesia.
Apabila ditelusuri lebih jauh, Tim Riset CNBC Indonesia menemukan bahwa kenaikan suku bunga acuan di Indonesia merupakan salah satu yang paling agresif di Benua Asia. Di tahun ini, saja Bank Indonesia (BI) sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 150 basis poin (bps).
Dibandingkan India yang baru menaikkan suku bunga sebesar 50 bps, jelas langkah BI memang sangat hawkish. Bahkan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam belum menaikkan suku bunganya sama sekali pada tahun ini. Sementara, kenaikan di Malaysia juga hanya berkisar 25 bps.
Sementara itu, dari sisi non-moneter, pemerintah mengambil kebijakan untuk membatasi impor. Melansir riset Morgan Stanley, beberapa detail kebijakan yang berhasil dirangkum adalah:
1. Kenaikan pajak impor untuk 1.147 barang konsumsi;
2. Program pencampuran biofuel ke dalam bahan bakar diesel (B20);
3. Adanya prioritas untuk menggunakan produksi minyak mentah domestik. Muncul mandat bagi produsen migas dalam negeri untuk menjual produknya ke Pertamina terlebih dahulu, sebelum melakukan ekspor;
4. Pemerintah mendorong sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk meninjau kembali komponen impor, serta menunda proyek infrastruktur yang belum mencapai tahap financial close;
5. Rencana penurunan pajak pembelian surat utang pemerintah, demi menarik lebih banyak investor asing. Regulasi baru diekspektasikan akan keluar pada akhir tahun ini.
Apa yang bisa diimplementasikan jika tekanan masih belanjut?
Jika penguatan dolar Amerika Serikat (AS) berlanjut, plus kondisi likuiditas global semakin ketat, apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia?
Morgan Stanley berpendapat bahwa kenaikan suku bunga riil, serta kebijakan lainnya untuk menarik lebih banyak aliran modal, akan sangat diperlukan. Gap pembiayaan eksternal pun perlu dipersempit, dengan cara mengelola permintaan domestik, mengelola impor, dan meningkatkan produktivitas.
Khusus di Indonesia, opsi-opsi yang masih bisa diambil pemerintah adalah melonggarkan kebijakan fiskal, pengendalian impor lebih lanjut, penyesuaian harga jual bahan bakar minyak (BBM) untuk mengendalikan permintaan, dan kenaikan Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio).
Bicara mengenai kenaikan harga BBM, defisit perdagangan migas memang menjadi biang kerok "hancurnya" neraca perdagangan di tahun ini. Untuk periode Januari-September 2018 saja defisitnya sudah mencapai US$ 9,37 miliar (Rp 142 triliun). Nilai itu jauh lebih besar dari defisit neraca perdagangan secara total sebesar US$ 3,81 miliar (Rp 58 triliun).
Dalam jangka panjang, reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas amat diperlukan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan secara bersamaan mempersempit gap pembiayaan eksternal.
Untuk kasus Indonesia, Morgan Stanley menyoroti usaha pemerintah untuk meningkatkan pendapatan dari pariwisata di jangka menengah, yang mana akan mendukung perbaikan CAD secara struktural.
Secara spesifik, kebijakan yang bisa diambil antara lain perluasan pembebasan biaya visa untuk lebih banyak negara, pengembangan destinasi wisata baru, dan pembangunan bandara baru.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Duh, Ada Ramalan Mengejutkan dari Morgan Stanley soal CAD RI
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular