Minim Sentimen Positif, Rupiah Terburuk Ketiga di Asia

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
30 October 2018 08:55
Minim Sentimen Positif, Rupiah Terburuk Ketiga di Asia
Foto: Infografis/Rupiah Loyo/Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia- Kurs rupiah dibuka melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pagi ini. Berbagai sentimen negatif dari global ditambah minimnya sokongan dari domestik menyebabkan rupiah tidak berdaya. 

Pada Selasa (30/10/2018) pukul 08:00 WIB, US$ 1 dibuka pada level Rp 15.220 di pasar spot. Rupiah melemah 0,03% dibandingkan dengan penutupan perdagangan kemarin. Seiring berjalannya waktu, pelemahan rupiah terus berlanjut. Pada pukul 08:19 WIB, kurs rupiah berada di level Rp 15.225/US$ atau melemah 0,07%. 



Sementara itu, pergerakan mata uang di negara kawasan terhadap dolar AS bergerak variatif. Terhitung hanya yuan China, Yen Jepang, Dolar Singapura dan Baht Thailand yang mengalami depresiasi.  Berikut data perdagangan sejumlah mata uang Asia hingga pukul 08:26 WIB : 

Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang112.50(0,12)
Yuan China6.96(0,26)
Won Korsel1,140.800,17
Dolar Taiwan30.980,03
Rupee India73.390,08
Dolar Singapura1.38(0,01)
Ringgit Malaysia4.170,00
Baht Thailand33.31(0,12)
Peso Filipina53.600,00
 
Pagi ini, dolar AS sebenarnya sedang galak. Pergerakan dollar index ( menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata utama) pada pukul 08:28 WIB menguat 0,11% di level 96,68 atau tertinggi sejak bulan Agustus 2018.
 
 
Penguatan tersebut setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, potensi memanasnya perang dagang. Tersiar kabar bahwa AS siap menerapkan bea masuk baru kepada produk-produk China apabila pertemuan Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping tidak membuahkan hasil. Keduanya dikabarkan akan melakukan pembicaraan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina), bulan depan.
 
Mengutip Reuters, sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan Washington sudah menyiapkan bea masuk baru sebagai skenario terburuk. Kemungkinan bea masuk itu adalah untuk importasi produk-produk made in China bernilai US$ 257 miliar seperti yang sering dikemukakan Trump.
 
Kedua, Problem Anggaran Italia. Pelaku pasar mengkhawatirkan fiskal Negeri Pizza tahun anggaran 2019 yang dinilai terlalu agresif dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 
 
Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) yang menurunkan proyeksi (outlook) Italia dari stabil menjadi negatif. Menurut S&P, rencana anggaran ini akan membebani pertumbuhan ekonomi dan upaya menurunkan utang pemerintah. 
 
Ketiga, rilis terbaru data Core Personal Comsumption Expenditure (Core PCE). Data tersebut menjadi preferensi The Federal Reserve/The Fed dalam mengukur inflasi. Pada September 2018, Core PCE tercatat 2% YoY atau sejalan dengan target The Fed.
 
Ke depan, ada potensi Core PCE akan terus meningkat dan berada sedikit di atas target 2% yang dipatok The Fed. Pasalnya walau pertumbuhan ekonomi AS melambat, tetapi konsumsi rumah tangga tetap tumbuh impresif. Pada kuartal III-2018, pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai 4%, tercepat sejak kuartal IV-2014. 
 
Dengan laju inflasi AS yang kemungkinan terakselerasi, maka bisa menjadi alasan bagi The Fed untuk kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate 25 basis poin pada 19 Desember adalah 69,7%, naik dari posisi kemarin yaitu 66,9%.
 
Keempat, perkembangan politik di Eropa. tersiar kabar bahwa Angela Merkel tidak akan lagi mencalonkan diri sebagai Kanselir Jerman setelah menjabat selama 13 tahun. Merkel adalah sosok yang berhasil mengantar Uni Eropa selamat dari terjangan krisis fiskal pada 2009-2010.
 
"Pasar melihat Merkel sebagai Iron Lady of Europe. Kabar ini tentu bukan berita baik bagi euro," ujar Karl Schamotta, Chief Market Strategist di Cambridge Global Payment yang berbasis di Toronto, mengutip Reuters.
 
Keempat faktor ini setidaknya jadi pertimbangan investor untuk memburu dolar AS sebagai salah satu instrumen minim resiko (safe haven asset). Permintaan yang meningkat, jadi bensin utama untuk dolar tancap gas saat ini.
Dari dalam negeri, pasar menanti rilis data realisasi investasi di periode kuartal III-2018. Pada kuartal sebelumnya, investasi hanya tumbuh 3,1% YoY, bahkan Penanaman Modal Asing (PMA) terkontraksi alias minus 12,9%. Selama era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), baru kali ini PMA tercatat menurun secara tahunan. 
 
Peluang turunnya realisasi investasi di periode tersebut cukup besar. Salah satu yang menjadi dasar penilaian adalah pelemahan rupiah. Selama kuartal III-2018, rupiah terdepresiasi hingga 4,01% dan sempat menyentuh level Rp 14.930/US$.
 
Pelemahan rupiah jadi pertimbangan investor khususnya asing untuk cenderung wait and see. Menurut Kepala Badan Kebijakan Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, pelemahan rupiah memiliki andil mempengaruhi pergerakan investasi khususnya investasi asing di Indonesia.
 
"Sikap wait and see, toh akan terjadi pasti memasuki tahun politik, gejolak rupiah, dan gejolak pasar modal," ungkapnya.
 
Jika benar realisasi investasi kembali anjlok pada kuartal III, tentu jadi sentimen negatif bagi pasar keuangan Indonesia. Akibatnya, investor cenderung keluar dan berimbas kepada pelemahan rupiah saat ini.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular