
Pekan Lalu Amblas 2%, Harga Minyak Stabil di Awal Pekan Ini
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 October 2018 11:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam sepekan terakhir, harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 turun 2,71% secara point-to-point ke level US$ 77,62/barel. Di periode yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desemeber 2018 juga melemah 2,21% ke level US$ 67,59/barel.
Berbagai sentimen negatif memang datang menghujani harga sang emas hitam. Harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa malah sempat terjerumus ke level terendahnya dalam 2 bulan terakhir, pada pertengahan pekan lalu.
Meski demikian, sentimen makin seretnya pasokan dari Iran jelang berlakunya sanksi dari Amerika Serikat (AS) pada awal November mendatang, plus sejumlah bursa Asia yang dibuka menguat pagi ini, mampu menopang harga minyak pada hari ini.
Sayang kuatnya produksi di AS serta adanya sinyal perlambatan perdagangan dunia masih membatasi pergerakan harga di pagi ini.
Pekan lalu memang harga minyak dihantam oleh "hancurnya" bursa saham global. Dari Asia, indeks Strait Times terkoreksi 2,95%, KLCI (Malaysia) turun 2,83%, SET (Thailand) melemah 2,34%, Hang Seng minus 3,3%, Nikkei anjlok 5,98%, dan Kospi amblas 5,99%, dalam kurun waktu seminggu terakhir,
Nasib Wall Stret pun tidak jauh berbeda. Sepanjang pekan lalu, Dow Jones terkoreksi 2,97%, S&P 500 anjlok 3,94%, dan Nasdaq amblas 3,78%.
Investor nampaknya mulai mengendus perlambatan ekonomi global. Belum lama ini, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas pertumbuhan ekonomi global untuk 2018 dan 2019 menjadi 3,7%, dari proyeksi sebelumnya 3,9%. Alasannya adalah tensi perang dagang serta pengenaan bea impor yang menghambat perdagangan.
Kemudian, dalam jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap lebih dari 500 ekonom, juga menyatakan bahwa aura pesimisme kini semakin nyata. Dari 44 negara yang dicakup dalam survei, perlambatan ekonomi diperkirakan terjadi di 18 negara. Sementara proyeksi untuk 23 negara lainnya tidak berubah dan hanya tiga negara yang diramal mengalami perbaikan ekonomi.
Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia masih datang dari perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China. Kedua adalah keketatan likuiditas global, dan ketiga adalah kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam.
Risiko-risiko tersebut juga diperparah dengan adanya tensi AS-Arab Saudi (terkait dengan tewasnya kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi), plus drama fiskal antara Italia dan Uni Eropa.
Koreksi tajam di bursa saham dunia akhirnya menjadi persepsi yang dapat mengancam keyakinan bisnis dan investasi secara global. Akibatnya, permintaan energi dunia pun diekspektasikan melambat. Harga minyak pun tak bisa lepas dari koreksi pada pekan lalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA)
Berbagai sentimen negatif memang datang menghujani harga sang emas hitam. Harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa malah sempat terjerumus ke level terendahnya dalam 2 bulan terakhir, pada pertengahan pekan lalu.
Meski demikian, sentimen makin seretnya pasokan dari Iran jelang berlakunya sanksi dari Amerika Serikat (AS) pada awal November mendatang, plus sejumlah bursa Asia yang dibuka menguat pagi ini, mampu menopang harga minyak pada hari ini.
Pekan lalu memang harga minyak dihantam oleh "hancurnya" bursa saham global. Dari Asia, indeks Strait Times terkoreksi 2,95%, KLCI (Malaysia) turun 2,83%, SET (Thailand) melemah 2,34%, Hang Seng minus 3,3%, Nikkei anjlok 5,98%, dan Kospi amblas 5,99%, dalam kurun waktu seminggu terakhir,
Nasib Wall Stret pun tidak jauh berbeda. Sepanjang pekan lalu, Dow Jones terkoreksi 2,97%, S&P 500 anjlok 3,94%, dan Nasdaq amblas 3,78%.
Investor nampaknya mulai mengendus perlambatan ekonomi global. Belum lama ini, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas pertumbuhan ekonomi global untuk 2018 dan 2019 menjadi 3,7%, dari proyeksi sebelumnya 3,9%. Alasannya adalah tensi perang dagang serta pengenaan bea impor yang menghambat perdagangan.
Kemudian, dalam jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap lebih dari 500 ekonom, juga menyatakan bahwa aura pesimisme kini semakin nyata. Dari 44 negara yang dicakup dalam survei, perlambatan ekonomi diperkirakan terjadi di 18 negara. Sementara proyeksi untuk 23 negara lainnya tidak berubah dan hanya tiga negara yang diramal mengalami perbaikan ekonomi.
Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia masih datang dari perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China. Kedua adalah keketatan likuiditas global, dan ketiga adalah kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam.
Risiko-risiko tersebut juga diperparah dengan adanya tensi AS-Arab Saudi (terkait dengan tewasnya kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi), plus drama fiskal antara Italia dan Uni Eropa.
Koreksi tajam di bursa saham dunia akhirnya menjadi persepsi yang dapat mengancam keyakinan bisnis dan investasi secara global. Akibatnya, permintaan energi dunia pun diekspektasikan melambat. Harga minyak pun tak bisa lepas dari koreksi pada pekan lalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular