
Dolar AS Terlalu Perkasa, Pekan Ini Rupiah Melemah 0,2%
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 October 2018 08:50

Pada hari Selasa (23/10/2018), BI memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 5,75% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Oktober 2018.
Menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, ada beberapa hal yang jadi pertimbangan keputusan tersebut.
Pertama, pelemahan rupiah yang masih stabil. Menurut BI, pelemahan rupiah rata-rata sebesar 2,7%. Sementara sejak awal tahun, depresiasi rupiah mencapai 10,65% lebih rendah dibandingkan negara emerging market lain seperti Brasil, India, Afrika Selatan dan Turki.
Kedua, inflasi masih terkendali. Selama dua bulan berturut-turut yaitu Agustus dan September, Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi.
Bersamaan dengan kondisi tersebut, inflasi bulan September tumbuh 2,88% secara tahunan (year-on-year/YoY) lebih rendah dibandingkan Agustus yang mencapai 3,20% YoY. BI sendiri memperkirakan inflasi akan tetap terjaga sesuai sasaran di level 3,5% plus minus satu.
Ketiga, stabilitas sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang terjaga. Transaksi tunai dan non tunai tetap tumbuh positif.
Pertumbuhan nominal nilai besar yang diselesaikan melalui RTGS meningkat 0,70% YoY. Sementara, pertumbuhan non-tunai melalui sistem kliring tercatat 6,9% YoY. Di sisi lain, transaksi ritel debet kartu kredit dan uang elektronik tumbuh 9,4% pada Agustus 2018-10-23.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, BI pun memutuskan untuk menahan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Kenaikan suku bunga acuan sejatinya menjadi amunisi bagi rupiah untuk bisa menguat, apalagi dalam menghadapi sikap The Fed yang cenderung masih hawkish di tahun ini.
Namun, dengan ditahannya suku bunga acuan, akhirnya rupiah pun tidak punya tenaga untuk bisa bergerak menguat. Akhirnya, di tengah terpaan dolar AS yang begitu kencang, rupiah pun harus bertekuk lutut di hadapan greenback pada pekan ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA) (RHG/hps)
Menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, ada beberapa hal yang jadi pertimbangan keputusan tersebut.
Pertama, pelemahan rupiah yang masih stabil. Menurut BI, pelemahan rupiah rata-rata sebesar 2,7%. Sementara sejak awal tahun, depresiasi rupiah mencapai 10,65% lebih rendah dibandingkan negara emerging market lain seperti Brasil, India, Afrika Selatan dan Turki.
Bersamaan dengan kondisi tersebut, inflasi bulan September tumbuh 2,88% secara tahunan (year-on-year/YoY) lebih rendah dibandingkan Agustus yang mencapai 3,20% YoY. BI sendiri memperkirakan inflasi akan tetap terjaga sesuai sasaran di level 3,5% plus minus satu.
Ketiga, stabilitas sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang terjaga. Transaksi tunai dan non tunai tetap tumbuh positif.
Pertumbuhan nominal nilai besar yang diselesaikan melalui RTGS meningkat 0,70% YoY. Sementara, pertumbuhan non-tunai melalui sistem kliring tercatat 6,9% YoY. Di sisi lain, transaksi ritel debet kartu kredit dan uang elektronik tumbuh 9,4% pada Agustus 2018-10-23.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, BI pun memutuskan untuk menahan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Kenaikan suku bunga acuan sejatinya menjadi amunisi bagi rupiah untuk bisa menguat, apalagi dalam menghadapi sikap The Fed yang cenderung masih hawkish di tahun ini.
Namun, dengan ditahannya suku bunga acuan, akhirnya rupiah pun tidak punya tenaga untuk bisa bergerak menguat. Akhirnya, di tengah terpaan dolar AS yang begitu kencang, rupiah pun harus bertekuk lutut di hadapan greenback pada pekan ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA) (RHG/hps)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular