Dolar AS Terlalu Perkasa, Pekan Ini Rupiah Melemah 0,2%

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 October 2018 08:50
Dolar AS Terlalu Perkasa, Pekan Ini Rupiah Melemah 0,2%
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC IndonesiaNilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di sepanjang pekan ini. Perkasanya dolar Amerika Serikat (AS) membuat mata uang tanah air tak mampu berbuat banyak. Terlebih, dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan.

Sepanjang pekan ini, rupiah terdepresiasi 0,2% secara point-to-point. Mengawali pekan di posisi Rp 15.185/US$, rupiah finis di Rp 15.215/US$.



Rupiah sebenarnya tak sendirian, laju dolar AS yang begitu kencang juga menekan pergerakan mata uang Benua Kuning lainnya. Dalam sepekan ini, beberapa mata uang utama Asia malah melemah lebih dalam dibandingkan Indonesia, seperti Baht Thailand (-1,44%), Won Korea Selatan (-0,72%), Ringgit Malaysia (-0,41%), dan Dolar Taiwan (-0,25%).

Praktis hanya ada 3 mata uang yang mampu bertahan dari "serangan" dolar AS, di antaranya Yen Jepang (+0,58%), Peso Filpina (+0,39%), dan Dolar Hong Kong (+0,01%).



(BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA)

Keperkasaan dolar AS ditunjukkan oleh Dollar Index (mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang dunia) yang menguat 0,67% dalam sepekan terakhir. Mengawali pekan di level 95,713, indeks ini finis di level 96,359.

Pada penutupan perdagangan hari Kamis (25/10/2018), indeks ini malah mencapai level tertingginya dalam 2 bulan terakhir, atau sejak 15 Agustus 2018.



Situasi perekonomian dunia yang kurang kondusif membuat dolar AS yang merupakan safe haven masih dicintai investor. Tak pelak, greenback pun menjadi primadona di sepanjang pekan ini.

Pertama, jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap lebih dari 500 ekonom menyatakan aura pesimisme kini semakin nyata.

Dari 44 negara yang dicakup dalam survei, perlambatan ekonomi diperkirakan terjadi di 18 negara. Sementara proyeksi untuk 23 negara lainnya tidak berubah dan hanya tiga negara yang diramal mengalami perbaikan ekonomi. Kondisi ini cukup jauh dibandingkan survei serupa pada awal tahun di mana 70% negara yang disurvei diperkirakan mengalami perbaikan ekonomi.

Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia adalah perang dagang AS vs China. Kedua adalah keketatan likuiditas global dan ketiga adalah kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam.

Kedua, potensi ribut-ribut antar AS dengan sekutunya Arab Saudi terkait dengan tewasnya kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi.

Pada hari Selasa (23/10/2018), Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan pernyataan keras mengenai masalah ini. Erdogan menyebut bahwa intel dan lembaga penegak hukum memiliki bukti bahwa pembunuhan Khashoggi merupakan sesuatu yang terencana.

Presiden AS Donald Trump pun sepertinya semakin menunjukkan kekecewaan dan kemarahan kepada Arab Saudi. Setelah pidato Erdogan, Trump menyatakan bahwa Arab Saudi mencoba menutupi kasus Khasshogi dengan buruk.

"Konsep awalnya sangat jelek, pelaksanaannya buruk, dan cara menutupinya juga salah satu yang paling payah sepanjang sejarah," tegas Trump kepada para jurnalis di Oval Office, dikutip dari Reuters.

Perkembangan teranyar, jaksa penuntut umum Arab Saudi bahkan sudah menyatakan pembunuhan Khashoggi telah direncanakan. Dalam laporan TV al-Ekhbariya, jaksa penuntut kini tengah menginterogasi para tersangka atas dasar informasi yang diberikan oleh pasukan gabungan Saudi-Turki.

Pernyataan itu bertolak belakang dari pengumuman Saudi sebelumnya bahwa kematian sang jurnalis tidaklah disengaja. Khasoggi ditanyakan tewas setelah terlibat perkelahian yang tidak seimbang, 1 lawan 15 orang.

Memang sejauh ini belum ada sanksi nyata bagi Saudi, namun apabila Negeri Padang Pasir terbukti terlibat, atau bahkan sengaja menyembunyikan fakta di balik kematian Khashoggi, bukan tidak mungkin AS dan negara-negara barat akhitnya menjatuhkan hukuman bagi Riyadh.

Ketiga, Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk menolak rancangan anggaran negara Italia tahun fiskal 2019. Brussel menilai defisit anggaran yang mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) terlalu besar.

Namun Italia sepertinya malah menjadi semakin keras. Teranyar, dalam sebuah wawancara radio RTL 102,5, Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Salvini berkeras menggunakan anggaran ekspansif, yang meningkatkan defisit tahun depan menjadi 2,4% dari PDB (dari target semula 1,8%), adalah satu-satunya cara untuk menurunkan utang publik.

Pemerintah Italia memang memiliki utang yang sangat besar, mencapai 131,2% PDB pada 2017, tetapi cara untuk mengatasi masalah itu bukan dengan berhemat melainkan meningkatkan PDB. Caranya adalah memberikan bantuan kepada rakyat akan bisa meningkatkan konsumsi yang membuat dunia usaha bergeliat, ekonomi berputar, dan pada akhirnya PDB akan tumbuh lebih cepat sehingga rasionya terhadap utang pun mengecil.

Perkembangan ini lagi-lagi menciptakan ketidakpastian di pasar. Sebab, investor tentu tidak mau Italia kembali terjebak dalam krisis fiskal seperti pada 2009-2010. Apa yang dilakukan pemerintah Italia saat ini membuat memori investor kembali ke masa-masa gelap itu.

Keempat, Mario Draghi, Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB), menyatakan ekonomi Benua Biru terancam terganggu karena tiga risiko besar yaitu Brexit, fiskal Italia, dan perang dagang.

"Risiko terhadap pertumbuhan ekonomi Zona Euro masih cukup seimbang. Namun pada saat yang sama, ada risiko akibat proteksionisme dan volatilitas pasar yang tetap besar," kata Draghi dalam konferensi pers usai pengumuman suku bunga acuan, dikutip dari Reuters.

Untuk kuartal III-2018, ECB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Zona Euro di angka 2,2%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,4%. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali melambat ke 2% pada kuartal IV-2018.

(BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA) Pada hari Selasa (23/10/2018), BI memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 5,75% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Oktober 2018.

Menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, ada beberapa hal yang jadi pertimbangan keputusan tersebut.

Pertama, pelemahan rupiah yang masih stabil. Menurut BI, pelemahan rupiah rata-rata sebesar 2,7%. Sementara sejak awal tahun, depresiasi rupiah mencapai 10,65% lebih rendah dibandingkan negara emerging market lain seperti Brasil, India, Afrika Selatan dan Turki.

Kedua, inflasi masih terkendali. Selama dua bulan berturut-turut yaitu Agustus dan September, Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi.

Bersamaan dengan kondisi tersebut, inflasi bulan September tumbuh 2,88% secara tahunan (year-on-year/YoY) lebih rendah dibandingkan Agustus yang mencapai 3,20% YoY. BI sendiri memperkirakan inflasi akan tetap terjaga sesuai sasaran di level 3,5% plus minus satu.

Ketiga, stabilitas sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang terjaga. Transaksi tunai dan non tunai tetap tumbuh positif.

Pertumbuhan nominal nilai besar yang diselesaikan melalui RTGS meningkat 0,70% YoY. Sementara, pertumbuhan non-tunai melalui sistem kliring tercatat 6,9% YoY. Di sisi lain, transaksi ritel debet kartu kredit dan uang elektronik tumbuh 9,4% pada Agustus 2018-10-23.

Berdasarkan ketiga hal tersebut, BI pun memutuskan untuk menahan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Kenaikan suku bunga acuan sejatinya menjadi amunisi bagi rupiah untuk bisa menguat, apalagi dalam menghadapi sikap The Fed yang cenderung masih hawkish di tahun ini.

Namun, dengan ditahannya suku bunga acuan, akhirnya rupiah pun tidak punya tenaga untuk bisa bergerak menguat. Akhirnya, di tengah terpaan dolar AS yang begitu kencang, rupiah pun harus bertekuk lutut di hadapan greenback pada pekan ini.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular