Ekonomi AS Solid, Bagaimana Nasib Rupiah Pekan Depan?

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
26 October 2018 22:37
Ekonomi AS Solid, Bagaimana Nasib Rupiah Pekan Depan?
Foto: REUTERS/Carlos Barria
Jakarta CNBC Indonesia- Kementerian Perdagangan Amerika Serikat (AS) merilis data pertumbuhan ekonomi di kuartal III mencapai 3,5%. Pencapaian itu lebih tinggi dibandingkan kuartal III-2017 yang hanya 2,8%.  



Pencapaian kuartal ini memang masih lebih rendah dibandingkan kuartal II-2018, di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 4,2%. Namun, pencapaian yang masih di atas 3% memperlihatkan kondisi ekonomi negara tersebut masih kencang.  

Salah satu hal yang mendorong solidnya pertumbuhan ekonomi, di antaranya tingkat konsumsi masyarakat yang masih baik. Seperti yang diketahui, tingkat konsumsi menyumbang 70% pertumbuhan ekonomi di Negeri Paman Sam.  

Dalam mengukur perkembangan konsumsi masyarakat, variabel yang diamati, yaitu Core Personal Consumption Expenditure (Core-PCE) index Year-on-Year (YoY).  



Sejak Februari 2018, pertumbuhan Core PCE selalu tumbuh di atas 2%. Bahkan pada Juni dan Juli 2018, pertumbuhan variabel tersebut mencapai 2,3% atau tertinggi sejak Maret 2012 yang mencapai 2,4%.  

Tingginya angka konsumsi masyarakat tidak lepas dari meningkatnya pendapatan rata-rata masyarakat ( Average Earning) Year-on-Year (YoY). 



Sejak Desember 2017, pertumbuhan pendapatan rata-rata selalu di atas 2,5% YoY. Bahkan pada Agustus 2018, pertumbuhan rata-rata mencapai 2,9% atau tertinggi sejak Juni 2009.  

Pertumbuhan ekonomi yang solid tentu jadi bensin penguatan bagi dolar AS, karena aliran valas yang kemungkinan balik kampung. Dolar Index yang menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama pada pukul 19:00 WIB bergerak menguat 0,18%. 

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi AS yang masih ciamik semakin memperkuat keyakinan pasar jika The Fed masih akan mempertahankan sikap hawkish-nya.  Pada rilis minutes of meeting edisi september 2018, The Fed telah memberikan sinyal akan menaikkan suku bunga acuan sekali lagi pada desember 2018.  

Konsensus yang dihimpun Fed Watch memperkirakan kenaikan tersebut akan terjadi dengan probabilitas mencapai 70,3%. Sinyal yang cenderung menguat tentu akan berdampak buruk bagi mata uang global, termasuk rupiah.  
Dengan melihat kondisi ekonomi AS saat ini, tentu wajar jika Bank Indonesia (BI) dan pemerintah perlu mengkhawatirkan nasib rupiah pekan depan. Terlebih peluang dolar AS untuk mengamuk cukup besar
 
 
Sejak awal tahun, rupiah telah terdepresiasi hingga 12,16% dan berada di level Rp 15.200. Pada penutupan Jumat (26/10/2018), US$ 1 ditutup pada posisi Rp 15.215 di pasar spot. Kurs rupiah melemah 0,20% dibandingkan penutupan kemarin.
 
Pekan depan, BI sepertinya harus lebih bekerja keras dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Apalagi pada Rapat Dewan Gubernur BI edisi Oktober memutuskan untuk menahan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo di level 5,75%.
 
Berbagai kebijakan mulai dari Domestik Non-Delivery Forward (DNDF) hingga penerbitan produk Special Deposit Account (SDA) sedang dipersiapkan secara matang. Tujuannya agar peredaran valas di dalam negeri tetap terjaga guna menopang penguatan rupiah.
 
Sambil menunggu implementasi kebijakan tersebut, nampaknya BI masih harus bergerilya di pasar sekunder. Namun hal ini bukan tanpa risiko, karena mempertaruhkan cadangan devisa yang ada
 
 
Per September 2018, cadangan devisa Indonesia berada di posisi US$ 114,8 miliar atau anjlok US$ 3,12 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Semakin rendahnya devisa, maka menimbulkan persepsi jika ekonomi Indonesia akan rentan terhadap gejolak eksternal.
 
Hal tersebut akan mengkhawatirkan para investor, sehingga bukan tidak mungkin mereka akan mengalihkan dananya keluar dari Indonesia. Jika ini terjadi, maka nasib rupiah semakin tidak menentu. 

Oleh karena itu, BI perlu mempercepat implementasi kebijakan DNDF dan SDA agar mampu menolong rupiah keluar dari keterpurukan yang ada saat ini.
 
TIM RISET CNBC INDONESIA
 
 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular