Dolar AS Menggila, Ini Penyebabnya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 October 2018 10:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak kemarin, dolar Amerika Serikat (AS) menggila dan menguat terhadap berbagai mata uang dunia. Penguatan greenback masih berlanjut hingga pagi ini. Apa penyebabnya?
Kemarin malam waktu Indonesia, The Federal Reserve/The Fed merilis notulensi rapat (minutes of meeting) edisi September 2018. Rapat ini digelar pada 25-26 September dengan hasil kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% atau median 2,125%.
Investor menantikan rilis ini karena ingin mendalami 'suasana kebatinan' dalam rapat tersebut. Pelaku pasar hendak mencari petunjuk bagaimana kebijakan moneter AS ke depan.
The Fed diperkirakan semakin mempertegas sikapnya yang hawkish. Kenaikan suku bunga acuan secara gradual sepertinya masih akan ditempuh.
Hasilnya sesuai perkiraan. Jerome 'Jay' Powell dan kolega memandang kenaikan suku bunga adalah kebijakan yang memang pantas ditempuh.
"Dengan perkiraan ekonomi ke depan, peserta rapat mengantisipasi akan ada kenaikan suku bunga lebih lanjut dalam target yang ditetapkan sehingga konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah," sebut notulensi itu.
Saat ini suku bunga acuan AS berada di median 2,125%. FOMC menargetkan suku bunga akan naik menjadi median 3,1% pada akhir 2019 dan 3,4 pada akhir 2020. Dalam jangka panjang, suku bunga baru berangsur turun ke arah 3%.
"Pendekatan (kenaikan suku bunga acuan) secara bertahap akan menyeimbangkan risiko akibat pengetatan moneter yang terlalu cepat yang bisa menyebabkan perlambatan ekonomi dan inflasi di bawah target Komite. Namun bila (kenaikan suku bunga acuan) dilakukan terlalu lambat, maka akan menyebabkan inflasi bergerak di atas target dan menyebabkan ketidakseimbangan di sistem keuangan," tulis notulensi rapat tersebut.
Terkonfirmasi, The Fed tetap dan masih akan hawkish setidaknya sampai 2020. Tren kenaikan suku bunga di Negeri Paman Sam tidak bisa dihindari lagi, ucapkan selamat tinggal kepada era suku bunga rendah.
Sebab kalau tidak, pertumbuhan ekonomi dan inflasi Negeri Paman Sam akan melesat tanpa kendali. Hasilnya adalah overheating dalam perekonomian, hal yang coba dicegah oleh Powell sejak dirinya disumpah menggantikan Janet Yellen.
Cara mengendalikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah meredam permintaan. Saat permintaan terkendali, maka inflasi dan pertumbuhan ekonomi bisa melaju dengan nyaman tanpa khawatir risiko overheating.
Namun meski bertujuan mengontrol permintaan, dampak kenaikan Federal Funds Rate adalah ikut menaikkan imbalan investasi di AS. Jika suku bunga diperkirakan terus naik sampai 2020, maka berinvestasi di AS akan sangat menggiurkan sampai 2 tahun ke depan.
Oleh karena itu, dolar AS akan terus kebanjiran permintaan. Tingginya permintaan terhadap dolar AS membuat mata uang ini perkasa seng ada lawan.
Kemarin malam waktu Indonesia, The Federal Reserve/The Fed merilis notulensi rapat (minutes of meeting) edisi September 2018. Rapat ini digelar pada 25-26 September dengan hasil kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% atau median 2,125%.
Investor menantikan rilis ini karena ingin mendalami 'suasana kebatinan' dalam rapat tersebut. Pelaku pasar hendak mencari petunjuk bagaimana kebijakan moneter AS ke depan.
Hasilnya sesuai perkiraan. Jerome 'Jay' Powell dan kolega memandang kenaikan suku bunga adalah kebijakan yang memang pantas ditempuh.
"Dengan perkiraan ekonomi ke depan, peserta rapat mengantisipasi akan ada kenaikan suku bunga lebih lanjut dalam target yang ditetapkan sehingga konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah," sebut notulensi itu.
Saat ini suku bunga acuan AS berada di median 2,125%. FOMC menargetkan suku bunga akan naik menjadi median 3,1% pada akhir 2019 dan 3,4 pada akhir 2020. Dalam jangka panjang, suku bunga baru berangsur turun ke arah 3%.
"Pendekatan (kenaikan suku bunga acuan) secara bertahap akan menyeimbangkan risiko akibat pengetatan moneter yang terlalu cepat yang bisa menyebabkan perlambatan ekonomi dan inflasi di bawah target Komite. Namun bila (kenaikan suku bunga acuan) dilakukan terlalu lambat, maka akan menyebabkan inflasi bergerak di atas target dan menyebabkan ketidakseimbangan di sistem keuangan," tulis notulensi rapat tersebut.
Terkonfirmasi, The Fed tetap dan masih akan hawkish setidaknya sampai 2020. Tren kenaikan suku bunga di Negeri Paman Sam tidak bisa dihindari lagi, ucapkan selamat tinggal kepada era suku bunga rendah.
Sebab kalau tidak, pertumbuhan ekonomi dan inflasi Negeri Paman Sam akan melesat tanpa kendali. Hasilnya adalah overheating dalam perekonomian, hal yang coba dicegah oleh Powell sejak dirinya disumpah menggantikan Janet Yellen.
Cara mengendalikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah meredam permintaan. Saat permintaan terkendali, maka inflasi dan pertumbuhan ekonomi bisa melaju dengan nyaman tanpa khawatir risiko overheating.
Namun meski bertujuan mengontrol permintaan, dampak kenaikan Federal Funds Rate adalah ikut menaikkan imbalan investasi di AS. Jika suku bunga diperkirakan terus naik sampai 2020, maka berinvestasi di AS akan sangat menggiurkan sampai 2 tahun ke depan.
Oleh karena itu, dolar AS akan terus kebanjiran permintaan. Tingginya permintaan terhadap dolar AS membuat mata uang ini perkasa seng ada lawan.
Next Page
Dolar Jadi Raja Mata Uang
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular