
Rasio Utang Terhadap PDB Tertinggi sejak 2016, Apa Bahayanya?
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
17 October 2018 19:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Rasio utang pemerintah pusat terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per September 2018 mencapai 30,47%. Peningkatan ini seiring bertambahnya utang pemerintah sekitar Rp 549,92 dibandingkan September 2017. Akibatnya, total utang pemerintah pusat per September 2018 mencapai Rp 4.416,37 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa rasio utang masih dalam kategori aman. Hal ini mengacu kepada Undang-Undang (UU) Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003, dimana rasio utang maksimum yang diperbolehkan hingga 60%. Meskipun masih jauh dari batas maksimum yang diperbolehkan, namun rasio utang pemerintah per September merupakan yang tertinggi di tahun ini.
Bahkan nilai rasio saat ini merupakan yang tertinggi sejak tahun 2016, dimana rasio utang sempat menyentuh level 34,75% terhadap PDB. Tingginya utang memiliki resiko tersendiri terutama porsi utang yang didominasi dari asing.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde menyebut naiknya kerentanan utang global menjadi salah satu risiko besar bagi perekonomian dunia saat ini.
"Kami mencatat bahwa utang publik dan swasta telah menyentuh rekor US$182 triliun - 224% dari PDB [produk domestik bruto] global, sekitar 60% lebih tinggi dibandingkan posisi di 2007,"
Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki pos utang luar negeri cukup tinggi, utamanya yang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Data pemerintah per September 2018, jumlah outstanding SBN mencapai Rp 3.593,26 triliun. Sementara dari sisi porsi kepemilikan, asing masih mendominasi.
Tingginya porsi asing dibandingkan investor domestik yang menjadikan utang pemerintah beresiko. Sebab, aliran modal asing begitu rentan sehingga mengancam stabilitas nilai tukar di dalam negeri.
Sejak awal tahun, kurs rupiah telah melemah di hadapan dolar AS hingga 11,68%. Bahkan di Oktober ini, kurs rupiah telah menembus level Rp 15.200/US$
Akibat pelemahan tersebut, mau tidak mau Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi diantaranya kenaikan suku bunga acuan.
Sejak April hingga September 2018, BI telah menaikkan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate hingga 150 basis poin (bps). Kenaikan ini bukan tanpa risiko. Saat suku bunga acuan naik, biasanya suku bunga kredit perbankan akan naik
Kenaikan suku bunga kredit tentu bukan kabar baik bagi masyarakat, terutama dunia usaha. Rilis data survei dunia usaha triwulan III yang diterbitkan Bank Indonesia memperlihatkan terjadi perlambatan.
Perlambatan yang dimaksud tergambar dari realisasi nilai Saldo Bersih Tertimbang di kuartal III-2018 yang menurun dibandingkan periode kuartal II-2018. Saat SBT turun, mengindikasikan terjadi perlambatan ekspansi dunia usaha. Kondisi ini tentu bukan kabar baik bagi perekonomian Indonesia.
(NEXT)
(alf/dru) Next Article Waskita Klaim Rasio Utang Perusahaan Masih Aman
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa rasio utang masih dalam kategori aman. Hal ini mengacu kepada Undang-Undang (UU) Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003, dimana rasio utang maksimum yang diperbolehkan hingga 60%. Meskipun masih jauh dari batas maksimum yang diperbolehkan, namun rasio utang pemerintah per September merupakan yang tertinggi di tahun ini.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde menyebut naiknya kerentanan utang global menjadi salah satu risiko besar bagi perekonomian dunia saat ini.
"Kami mencatat bahwa utang publik dan swasta telah menyentuh rekor US$182 triliun - 224% dari PDB [produk domestik bruto] global, sekitar 60% lebih tinggi dibandingkan posisi di 2007,"
Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki pos utang luar negeri cukup tinggi, utamanya yang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Data pemerintah per September 2018, jumlah outstanding SBN mencapai Rp 3.593,26 triliun. Sementara dari sisi porsi kepemilikan, asing masih mendominasi.
Tingginya porsi asing dibandingkan investor domestik yang menjadikan utang pemerintah beresiko. Sebab, aliran modal asing begitu rentan sehingga mengancam stabilitas nilai tukar di dalam negeri.
Sejak awal tahun, kurs rupiah telah melemah di hadapan dolar AS hingga 11,68%. Bahkan di Oktober ini, kurs rupiah telah menembus level Rp 15.200/US$
Akibat pelemahan tersebut, mau tidak mau Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi diantaranya kenaikan suku bunga acuan.
Sejak April hingga September 2018, BI telah menaikkan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate hingga 150 basis poin (bps). Kenaikan ini bukan tanpa risiko. Saat suku bunga acuan naik, biasanya suku bunga kredit perbankan akan naik
Kenaikan suku bunga kredit tentu bukan kabar baik bagi masyarakat, terutama dunia usaha. Rilis data survei dunia usaha triwulan III yang diterbitkan Bank Indonesia memperlihatkan terjadi perlambatan.
Perlambatan yang dimaksud tergambar dari realisasi nilai Saldo Bersih Tertimbang di kuartal III-2018 yang menurun dibandingkan periode kuartal II-2018. Saat SBT turun, mengindikasikan terjadi perlambatan ekspansi dunia usaha. Kondisi ini tentu bukan kabar baik bagi perekonomian Indonesia.
(NEXT)
Dengan merujuk kepada kondisi di atas, pemerintah harus lebih hati-hati. Jika suatu waktu banyak investor asing melepas kepemilikannya di SBN, tentu pelemahan rupiah bisa lebih dalam.
Pelemahan rupiah yang semakin dalam bisa mendorong BI semakin agresif menaikkan suku bunga acuannya. Suku bunga acuan yang naik mengakibatkan suku bunga kredit akan semakin tinggi. Akibatnya, kelangsungan dunia usaha semakin terancam.
Untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan keberadaan investor domestik. Ketika SBN lebih banyak dipegang oleh investor domestik, maka kerentanan akibat pergerakan modal asing akan terhindarkan.
Contohnya Jepang. Meskipun rasio utang terhadap PDB negara tersebut sekitar 200%, namun sebagian besar kepemilikannya dipegang investor ritel. Artinya, jika investor melepas kepemilikannya maka tidak terlalu mengancam stabilitas nilai tukarnya.
Sejak awal tahun, kurs yen terhadap dolar AS berhasil cenderung stabil dibandingkan negara-negara emerging market lain di kawasan Asia.
Merujuk pada kondisi ini, mungkin pemerintah bisa mengikuti jejak langkah yang dilakukan Jepang. Sejauh ini pemerintah telah aktif menerbitkan surat utang ritel, baik Obligasi Ritel (ORI) maupun Sukuk Ritel (Sukri).
Selain perluasan produk, pemerintah juga disarankan memberikan insentif tambahan berupa keringanan pajak. Berdasarkan regulasi yang dilansir dari Direktorat Jenderal Pajak, besaran pajak yang dibebankan terhadap imbal hasil investor sekitar 20%.
Tingginya pajak tersebut, mungkin jadi pertimbangan bagi investor domestik untuk masuk. Oleh sebab itu, pemerintah dapat merevisi kembali aturan tersebut dengan menurunkan besaran pajak guna menarik minat masyarakat.
Jika semakin banyak investor ritel yang memegang SBN, tentu kerentanan utang pemerintah bisa diminimalisir. Meskipun rasio utang tinggi, namun perekonomian tetap terjaga kedepannya.
(alf/dru) Next Article Waskita Klaim Rasio Utang Perusahaan Masih Aman
Most Popular