Kenapa IHSG Naik-Turun Walau Neraca Dagang Surplus?
15 October 2018 14:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Data yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data perdagangan internasional Indonesia periode September menjelang sesi 1 berakhir.
Pasar saham terlihat bingung menentukan arah pergerakannya. Sempat melemah menyusul rilis data tersebut, IHSG berbalik menguat sebelum kini melemah kembali sebesar 0,31% ke level 5.738,39.
Sepanjang September, ekspor Indonesia tercatat tumbuh 1,7% secara tahunan (YoY), sementara impor melesat 14,18% YoY. Kedua data tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia, masing-masing sebesar 7,44% YoY dan 25,85% YoY. Lantas, neraca dagang Indonesia membukukan surplus US$ 230 juta sepanjang bulan lalu, jauh lebih baik dari perkiraan yakni defisit sebesar US$ 600 juta.
Menilik lebih lanjut data yang disajikan BPS, tercatat bahwa impor minyak dan gas (migas) yang menjadi momok pelemahan rupiah belakangan ini turun hingga 25% (MoM) menjadi US$ 2,28 miliar, dari yang sebelumnya US$ 3,05 miliar pada bulan Agustus.
Hal ini tentu menjadi sentimen positif bagi mata uang Garuda dan IHSG, lantaran ada ekspektasi bahwa defisit neraca berjalan/current account deficit (CAD) bisa diredam ke depannya.
Apalagi, harga minyak terus merangkak naik. Sepanjang kuartal-II 2018, rata-rata harga minyak WTI adalah sebesar US$ 68/barel, sementara brent diperdagangkan di kisaran US$ 75/barel. Pada kuartal-III, rata-rata harga minyak WTI adalah sebesar US$ 69/barel, sementara brent adalah US$ 76/barel.
Memasuki kuartal-IV, harga minyak mentah kian menggila: WTI diperdagangkan di kisaran US$ 74/barel, sementara brent di level US$ 84/barel. Jika konsumsi migas tak diredam dari saat ini, rupiah dan IHSG bisa makin terkapar.
Namun, di sisi lain data neraca dagang Indonesia juga menimbulkan suatu kekhawatiran: apakah penurunan impor migas sebesar 25% bulan lalu mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia, yang utamanya disumbang konsumsi rumah tangga dengan kontribusi lebih dari 50%, sedang tertekan?
Jika perekonomian Indonesia tertekan signifikan, tentulah instrumen berisiko seperti saham menjadi kurang menarik. Terlebih, imbal hasil (yield) obligasi terus merangkak naik.
Pada perdagangan hari ini, yield obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun naik menjadi 8,823% dari posisi akhir minggu lalu yang sebesar 8,736%. Potensi switching dari pasar saham ke pasar obligasi sangat mungkin terjadi.
Kini, respons investor terkait dengan rilis data perdagangan internasional Indonesia periode September perlu terus diamati. Jika investor terus mengartikannya sebagai sesuatu yang negatif, IHSG bakal menjalani periode-periode yang sulit.
Namun yang pasti sejauh ini, masyarakat masih terlihat memiliki daya beli kuat, sehingga penjualan ritel (sampai dengan Agustus) tercatat masih menguat 6,1% secara bulanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy)
Pasar saham terlihat bingung menentukan arah pergerakannya. Sempat melemah menyusul rilis data tersebut, IHSG berbalik menguat sebelum kini melemah kembali sebesar 0,31% ke level 5.738,39.
Sepanjang September, ekspor Indonesia tercatat tumbuh 1,7% secara tahunan (YoY), sementara impor melesat 14,18% YoY. Kedua data tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia, masing-masing sebesar 7,44% YoY dan 25,85% YoY. Lantas, neraca dagang Indonesia membukukan surplus US$ 230 juta sepanjang bulan lalu, jauh lebih baik dari perkiraan yakni defisit sebesar US$ 600 juta.
Menilik lebih lanjut data yang disajikan BPS, tercatat bahwa impor minyak dan gas (migas) yang menjadi momok pelemahan rupiah belakangan ini turun hingga 25% (MoM) menjadi US$ 2,28 miliar, dari yang sebelumnya US$ 3,05 miliar pada bulan Agustus.
Hal ini tentu menjadi sentimen positif bagi mata uang Garuda dan IHSG, lantaran ada ekspektasi bahwa defisit neraca berjalan/current account deficit (CAD) bisa diredam ke depannya.
Apalagi, harga minyak terus merangkak naik. Sepanjang kuartal-II 2018, rata-rata harga minyak WTI adalah sebesar US$ 68/barel, sementara brent diperdagangkan di kisaran US$ 75/barel. Pada kuartal-III, rata-rata harga minyak WTI adalah sebesar US$ 69/barel, sementara brent adalah US$ 76/barel.
Memasuki kuartal-IV, harga minyak mentah kian menggila: WTI diperdagangkan di kisaran US$ 74/barel, sementara brent di level US$ 84/barel. Jika konsumsi migas tak diredam dari saat ini, rupiah dan IHSG bisa makin terkapar.
Namun, di sisi lain data neraca dagang Indonesia juga menimbulkan suatu kekhawatiran: apakah penurunan impor migas sebesar 25% bulan lalu mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia, yang utamanya disumbang konsumsi rumah tangga dengan kontribusi lebih dari 50%, sedang tertekan?
Jika perekonomian Indonesia tertekan signifikan, tentulah instrumen berisiko seperti saham menjadi kurang menarik. Terlebih, imbal hasil (yield) obligasi terus merangkak naik.
Pada perdagangan hari ini, yield obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun naik menjadi 8,823% dari posisi akhir minggu lalu yang sebesar 8,736%. Potensi switching dari pasar saham ke pasar obligasi sangat mungkin terjadi.
Kini, respons investor terkait dengan rilis data perdagangan internasional Indonesia periode September perlu terus diamati. Jika investor terus mengartikannya sebagai sesuatu yang negatif, IHSG bakal menjalani periode-periode yang sulit.
Namun yang pasti sejauh ini, masyarakat masih terlihat memiliki daya beli kuat, sehingga penjualan ritel (sampai dengan Agustus) tercatat masih menguat 6,1% secara bulanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Artikel Selanjutnya
Analis: Surplus Neraca Dagang Berhasil Angkat IHSG
(ank/roy)